Presiden Jokowi Diputuskan Sudah Tidak Layak Mengurus Negara

Presiden Indonesia Joko Widodo. Foto: antara

apakabar.co.id, JAKARTA Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinyatakan bersalah dan sudah tidak layak memimpin Indonesia.

Hal itu diputuskan oleh sembilan hakim rakyat pada mahkamah rakyat luar biasa yang digelar di Wisma Makara Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (25/6).

Sidang mahkamah dihadiri oleh ratusan masyarakat sipil dari berbagai provinsi di Indonesia. Yang disaksikan oleh ribuan orang secara daring melalui siaran langsung YouTube selama 8 jam.

Masyarakat sebelumnya melakukan gugatan ke Jokowi dengan mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaint).

Aduan itu atas sederet kasus yang disampaikan oleh 9 pengadu, didukung dengan keterangan dari 6 saksi dan 4 ahli, serta ditimbang dan diadili oleh 9 Majelis Hakim Rakyat.

Selain Presiden Jokowi, masyarakat turut menggugat Puan Maharani selaku Ketua DPR RI dan La Nyalla Mahmud Mattalitti Ketua DPD. Keduanya dinilai memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi demokrasi dan hak asasi manusia.

Adapula sepuluh partai politik yang lolos parlemen dari tahun 2014 juga menjadi tergugat. Di antaranya PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, Hanura, PPP, Demokrat, dan PKS.

Walau sudah melayangkan undangan jelang sidang pada Senin (24/5), namun tidak ada satu pun tergugat termasuk Presiden Jokowi hadir.

Sejumlah masalah yang diadukan dan kemudian dicatat sebagai “Nawadosa” atau sembilan dosa. Meliputi masalah sosial, politik, lingkungan, keamanan, budaya maupun ekonomi.

Alasannya, masyarakat resah dan marah atas tindakan aktif pemerintah dalam pelanggaran hak konstitusional masyarakat. Seperti halnya normalisasi terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pembangunan Rempang Eco City, PLTP Ulumbu 5-6 Poco Leok, Bandara Kulon Progo, reklamasi Teluk Jakarta.

Kemudian sengkarut eksplorasi nikel sejumlah daerah termasuk di pulau kecil Pulau Wawonii, deforestasi Papua yang mengancam Masyarakat Adat Suku Awyu dan Moi, penggusuran Taman Sari dan Dago Elos, maupun berbagai proyek dan kebijakan lainnya yang justru merugikan masyarakat dan menguntungkan pihak segelintir.

Selain itu, masih banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum tuntas diselesaikan. Di antaranya Pembantaian Tahun 1965-1966, Peristiwa Talangsari 1989, Tragedi Rumah Geudong, Pembantaian Dukun Santet Banyuwangi, Penembakan Misterius, kasus Munir dan Marsinah.

Kemudian, Penghilangan Orang Secara Paksa, Kerusuhan Mei 98, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Timor Timur, Simpang KKA, Kasus Abepura, Wasior Papua, Wamena, Jambo Keupok Aceh, Timang Gajah di Bener Meriah, Paniai, hingga Tragedi Stadion Kanjuruhan dan kejahatan kemanusian lainnya.

Putusan

Berdasarkan kasus-kasus yang disebutkan, sidang Mahkamah Rakyat akhirnya ditutup dengan putusan majelis hakim yang terbagi ke dalam dua bagian, yakni:

A. Berdasarkan sektoral

1. Menyatakan tergugat telah melakukan pelanggaran hak hidup dan indikasi kuata adanya kejahatan kemanusiaan dengan cara memanipulasi kebijakan untuk mengusir secara paksa masyarakat/petani.

2. Tergugat terbukti melembagakan dan menormalisasi kekerasan, kekerasan berbasis rasisme, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi yang menyebabkan penyempitan ruang sipil.

3. Tergugat terbukti melanggar ham dan merusak demokrasi dengan cara memberi ruang bagi pelanggar ham berat dan melanggengkan impunitas.

4. Menyatakan tergugat terbukti telah gagal melaksanakan tugas konstitusi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tidak melaksanakan tugas pemenuhan hak atas pendidikan warga negara, terlibat secara cara aktif melakukan komersialisasi pendidikan dan pendudukan atas kebebasan akademik.

5. Menyatakan tergugat telah melanggar seluruh tabu reformasi dengan menghidupkan kembali korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bahkan jauh lebih vulgar daripada masa Orde Baru. Dengan demikian, tergugat telah melakukan impeachable offense sebagaimana tertuang pada pasal 7a UUD RI 1945.

6. Menyatakan tergugat telah terbukti secara sistematis melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan segelintir orang dengan mengorbankan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan baik.

7. Menyatakan tergugat telah melakukan secara sistematis memiskinkan hidup buruh dengan cara menghadirkan kebijakan mendukung praktik politik upah murah yang mengorbankan buruh.

8. Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dan konstitusi melalui pembajakan regulasi yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum yang ditujukan untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan;

9. Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dengan cara menghidupkan kembali dwi fungsi abri, melanggengkan impunitas, operasi militer ilegal.

B. Secara Umum

1. Tergugat terbukti menyebabkan adanya pelanggaran HAM lintas generasi.

2. Tergugat terbukti memundurkan demokrasi antara lain mengembalikan dwi fungsi TNI/POLRI, melemahkan lembaga dan gerakan pemberantasan korupsi serta memberlakukan kembali azas Domein Verklaring dalam pertanahan dari masa kolonial.

3. Tergugat gagal memenuhi sumpah dan kewajiban Presiden Republik Indonesia yaitu dengan sebaik­-baiknya dan seadil-­adilnya, memegang teguh Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-­undang dan peraturannya dengan selurus lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa”.

4. Tergugat terbukti melakukan setidaknya pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan dan pendirian negara yang ada dalam pembukaan UUD 1945, korupsi dalam arti luas, adan/atau terbukti melakukan perbuatan tercela.

Sunarno, Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), selaku Penggugat Sistem Kerja yang Memiskinkan dan Menindas Pekerja mewakili buruh merasa dirugikan oleh kebijakan Presiden Jokowi selama 10 tahun terakhir.

Pada tahun 2015, PP 78 menyebabkan upah buruh semakin murah. Pada 2019, kebijakan UU Cipta Kerja, terutama klaster ketenagakerjaan, semakin merugikan buruh.

“Bukannya memperbaiki upah, justru banyak buruh yang di-PHK dan upah semakin rendah. Sistem kerja kontrak, outsourcing, harian lepas, borongan, dan magang membuat buruh tidak punya kepastian kerja. Ini juga berdampak pada teman-teman mahasiswa yang akan menjadi pekerja,” jelasnya.

Sisi lain, warga Rempang selaku saksi perampasan ruang hidup dan penyingkiran masyarakat yang selama ini hidup bergantung pada hasil laut dan hasil tani merasa sangat dirugikan dengan ugal-ugalannya praktik investasi saat ini.

“Hingga saat ini kami menolak investasi yang tidak ramah lingkungan. Kami tidak anti-investasi, tapi kami punya masa depan, kalau laut kami hancur, kebun kami hancur, kami mau makan apa? Kami hanya masyarakat kecil, orang Melayu punya prinsip: Lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut. Kami menolak relokasi, kami menolak digusur,” jelasnya dalam keterangan tertulis YLBHI,

Dari Morowali, Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) IMIP, Henry turut memberi kesaksiannya mengenai praktik ekspolitasi sumber daya alam dan solusi palsu menghadapi krisis iklim.

“Apa yang hari ini disampaikan oleh pemerintahan Jokowi atas berbagai keuntungan yang diperoleh negara dalam bentuk pertambahan nilai dan seluruh keistimewaan dari hilirisasi tersebut ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi, khususnya di Morowali, dan dialami langsung oleh buruh yang ada di hubungan kerja dalam IMIP itu sendiri,” jelasnya.

Sekadar tahu, Mahkamah Rakyat atau People’s Tribunal merupakan mekanisme alternatif dalam sistem demokrasi untuk menyelesaikan masalah hukum.

Pertama kali diselenggarakan oleh Bertrand Russell dan Jean-Paul Sartre pada 1967, gerakan ini muncul karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan dan penegakan hukum, karena ketidakberpihakannya pada kepentingan rakyat.

Lembaga masyarakat sipil yang terlibat dalam penyelenggaraan Mahkamah Rakyat Luar Biasa, antara lain Aliansi Jurnalis Independen, Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, BEM FH UI, Enter Nusantara, Greenpeace Indonesia, ICW, Imparsial, JATAM, Jakartanicus, Kanopi Hijau Indonesia, KASBI, KontraS, LBH Bandung, LBH Jakarta, LBH Lampung, LBH Makassar, LBH Masyarakat, LBH Padang, LBH Palembang, LBH Semar, ya, LBH Yogyakarta, Purple Code, Satya Bum, Social Movement institute, Tim, Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), Transmen Indonesia, Trend Asia, Watchdoc dan YLBHI.

57 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *