apakabar.co.id, JAKARTA – Kordinator nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyayangkan banyaknya anak menjadi korban Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang terpaksa harus mengubur mimpinya untuk bisa bersekolah. Hal itu terjadi karena sistem PPDB yang belum berkeadilan dan kerap diwarnai kecurangan.
Akibatnya bisa ditebak, hadirnya kekecewaaan mendalam dan melukai hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi, apalagi di momen peringatan hari anak nasional yang selalu diperingati pada tanggal 23 Juli.
Peringatan hari anak tahun ini, kata Ubaid, seharusnya dimeriahkan dan disambut senyum anak-anak Indonesia yang berhasil lulus PPDB 2024, sembari bergembira di hari pertama masuk sekolah. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
“Pecah tangis dialami oleh teman-teman sebaya. Nasib memilukan dialami anak karena mereka harus mengubur mimpi untuk bisa sekolah,” ujar Ubaid, Selasa (23/7).
Akibat sistem PPDB yang belum berkeadilan, kata Ubaid, terjadi rebutan bangku sekolah yang tidak fair memicu kecurangan terjadi merata di banyak daerah. Berdasarkan pemantauan JPPI, modus-modus kecurangan saat PPDB ternyata macam ragamnya.
“Di negeri ini, sekolah saja masih menjadi barang mewah. Padahal, sekolah adalah barang publik yang mestinya dinikmati oleh semua anak, tanpa terkecuali,” terang Ubaid.
Jika disederhanakan, terdapat 10 jenis kecurangan terbanyak yang terjadi di PPDB 2024.
Dari data di atas, 5 kecurangan terbesar yang terjadi di tahun ini adalah cuci rapor (19%), sertifikat palsu (16%), jual beli kursi (15%), permainan kuota bangku yang tersedia (11%), dan manipulasi KK (10%).
“Cuci rapor dan pemalsusan sertifikat ini, modus lama yang tambah marak di tahun ini. Kasus ini khusus terjadi di jalur prestasi,” terangnya.
Sedangkan manipulasi KK, hanya terjadi di jalur zonasi. Adapun kasus jual beli kursi yang diwarnai dengan suap hingga permainan kuota bangku bisa terjadi di semua jalur (prestasi, zonasi, dan afirmasi).
Berbagai kecurangan tersebut telah melukai harapan anak-anak untuk bisa lanjut bersekolah.
“Memang, sebagian anak-anak yang tidak lulus PPDB ini, ada yang berhasil melanjutkan pendidikan di sekolah swasta hingga lulus tuntas. Tapi, pada sisi lain, masih ada jutaan anak Indonesia yang harus gigit jari dan menelan pil pahit karena tidak bisa sekolah,” papar Ubaid.
Anak-anak yang tidak sekolah lantaran gagal PPDB ini ada dua model. Pertama, anak yang tidak lanjut ke jenjang lebih tinggi, atau diistilahkan ‘lulus tidak melanjutkan’.
“Misalnya mereka lulus SD, tapi kemudian tidak lanjut ke jenjang SMP,” kata Ubaid. Data tahun ajaran 2023/2024 menunjukkan jumlahnya mencapai 1.267.630 anak.
Kedua, mereka lanjut ke jenjang yang lebih tinggi, tapi kemudian putus sekolah atau tidak sampai lulus (drop out). Mereka ini jumlahnya mencapai 1.153.668 anak berdasarkan Pusdatin Kemendikbud 2023/2024.
Dari data di atas, Ubaid memperkirakan angka anak tidak sekolah (ATS) kian membengkak di tahun ajaran 2024/2025. Hal itu terlihat dari tiga indikaktor yakni: jumlah kasus kecurangan PPDB yang meningkat secara jumlah dan juga sebaran lokasi pelanggaran.
“Ini jelas, semakin banyak korban, potensi putus sekolah kian terbuka lebar,” terangnya.
Selain itu, banyak CPD (calon peserta didik) yang didiskualifikasi saat proses PPDB, tanpa ada pendampingan untuk mendapatkan sekolah. Kondisinya sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Mereka ini dibiarkan dan tidak dicarikan sekolah oleh pemerintah. Jadi, nasibnya tidak jelas, mereka lanjut sekolah di swasta, atau mereka memutuskan untuk tidak sekolah,” kata Ubaid.
Juga tidak adanya jaminan sekolah dari pemerintah soal nasib anak-anak pemegang KIP (Kartu Indonesia Pintar) yang gagal PPDB. Akibat kuota yang minim, tidak sebanding dengan jumlah penerima KIP, maka banyak penerima KIP hingga kini tidak mendapat jatah bangku di sekolah negeri.
“Jika mereka dipaksa masuk swasta, kemungkinan besar gagal bayar sejumlah tagihan, lalu putus sekolah,” paparnya.
Sementara itu, anak yang gagal PPDB karena kecurangan telah terjadi di berbagai daerah. “Ini menujukkan kegagalan sistemik dalam perlindungan hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali,” kata Ubaid.
Ubaid kemudian mempertanyakan, sampai kapan kecurangan dan pelanggaran hak anak ini akan terus berulang? Untuk itu, ia berharap pemerintah lebih serius memperhatikan dan menjamin pemenuhan hak pendidkan bagi semua anak-anak Indonesia, tanpa terkecuali.
“Kecurangan PPDB, anak putus sekolah akibat gagal PPDB merupakan kesalahan yang terus diulang tiap tahun,” ujarnya.
Ubaid mengingatkan agar fakta-fakta tersebut dimaknai sebagai evident based oleh pemerintah dalam membuat kebijakan dan juga sistem yang harus mampu melindungi anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.
“Selamat hari anak nasional, salam right to education for all, no one left behind,” tandas Ubaid.