Disinformasi Tembakau Marak di Media, Pemerintah Jangan Diam

Aksi damai memberikan dukungan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan cukai rokok di depan Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (20/9/2019). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) kembali meluncurkan temuan disinformasi seputar produk tembakau dan industrinya, berdasarkan penyisiran berita di media arus utama. Disinformasi yang beredar di media bukan hanya terkait isu kesehatan, tetapi juga isu ekonomi dan sosial yang berpotensi mempengaruhi kebijakan.

Bersama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Komnas PT meluncurkan modul ‘Menangkal Disinformasi Produk Tembakau dan Industrinya’.

Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Prof. Hasbullah Thabrany mengungkapkan temuan disinformasi industri tembakau bagian pertama fokus pada kumpulan data disinformasi yang sudah ada dari berbagai organisasi, termasuk memantau disinformasi yang tersebar di media sosial.

“Komnas PT melakukan pengumpulan disinformasi yang ditemukan di berita media melalui media monitoring dalam jangka waktu setahun terakhir dengan dukungan eBdesk Media Monitoring Division,” ujar Prof. Hasbullah dalam keterangannya yang diterima apakabar.co.id, Minggu (28/7).

Dalam temuan bagian pertama, disinformasi muncul sebagian besar tentang topik bidang kesehatan (61%), ekonomi (20%), dan hukum (4%) yang meragukan regulasi Kawasan Tanpa Rokok.

Disinformasi juga muncul tentang topik bidang pertanian (2%) berpotensi menciptakan kesalahan informasi dalam hal kesejahteraan masyarakat.

“Dilihat dari penyebarannya di media sosial, beberapa akun medsos secara khusus meng-endorse industri dengan menciptakan narasi-narasi yang mengandung disinformasi, dan terlihat adanya afiliasi para komunikator dengan industri rokok, baik secara perorangan
maupun lembaga/komunitas,” paparya.

Pada bagian kedua, kata Prof. Hasbullah, penyisiran berita-berita resmi dilakukan untuk mengetahui apakah disinformasi juga ditemukan di media, bahkan di media terverifikasi Dewan Pers, dan siapa saja komunikator disinformasi tersebut yang kemudian dapat ditarik hipotesa mengenai tendensi penyebaran disinformasi tersebut di media.

Tahapan penyisiran dimulai dengan 56.000 artikel media (cetak dan online), yang kemudian didapatkan sebanyak 2.495 artikel berdasarkan judul artikel, lalu sebanyak 53.505 artikel dikeluarkan karena tidak sesuai dengan kriteria eksklusi. Berikutnya, sebanyak 1.968 artikel berdasarkan pembacaan isi artikel yang 527 artikel di antaranya dieksklusi karena link artikel media tidak dapat dibuka atau tidak ditemukan disinformasi dalam artikel, serta akses link berbayar atau berlangganan.

“Dari kumpulan disinformasi pada artikel/berita di media, ditemukan kata kunci yang sering muncul yang tidak hanya terkait kesehatan, tetapi juga aspek politik dan kebijakan,” terang Prof. Hasbullah.

Disinformasi juga dikaitkan dengan kondisi ekonomi, pekerja, dan petani, serta ditemukannya disinformasi tentang kerugian dari upaya pengendalian tembakau. Isu lain yang paling mengemuka adalah terkait kebijakan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang sejak awal 2024 penyusunannya berproses di pemerintah.

Disinformasi yang ditemukan, ujar Prof. Hasbullah, sebagian besar berasal dari pihak yang pro terhadap industri, dan pihak-pihak lain yang berafiliasi dengan industri rokok. Kelompok produsen disinformasi juga datang dari institusi-institusi yang seharusnya bisa dipercaya, seperti oleh anggota DPR, pemerintah (pusat dan daerah), peneliti, profesor, dokter, hingga komika.

“Klaim pernyataan yang kurang tepat dan beredar di media arus utama banyak terkait dengan RPP Kesehatan yang sebenarnya memuat upaya pengendalian produk tembakau untuk meningkatkan kesehatan publik dan tidak merugikan kondisi ekonomi, melainkan meningkatkan produktivitas masyarakat karena akan dituntut hidup lebih sehat,” paparnya.

Senada, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia Risky Hartono membeberkan pemberitaan disinformasi banyak dilakukan oleh media terverifikasi tier 1 yang selama ini dijadikan rujukan oleh banyak institusi penting.

“Oleh karena itu, pemerintah diharapkan tidak terpengaruh disinformasi yang banyak beredar di media,” katanya.

Menanggapi temuan tersebut, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengakui informasi yang benar terkait industri tembakau merupakan bagian dari kepentingan publik. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang benar.

Oleh karena itu, jurnalis harus menggali informasi lebih dalam sekaligus melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran, sesuai UU Pers Pasal 6, dan tidak hanya mengandalkan pendapat dari narasumber.

“Dalam konteks tembakau, hal ini berpengaruh pada kecepatan pengendalian konsumsi tembakau yang berdampak pada kesehatan masyarakat,” kata Ninik.

Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Irsyan Hasyim berharap Dewan Pers segera mengesahkan panduan peliputan zat adiktif, sehingga intervensi industri rokok ke ruang redaksi melalui investasi dan iklan bisa dicegah.

“Karena tugas dari pers adalah mengedukasi publik pada isu kesehatan publik,” tegasnya.

Sebagai bekal bagi masyarakat dalam menyangkal disinformasi, Komnas Pengendalian Tembakau akan menerbitkan modul Penyangkalan Disinformasi Industri Tembakau bekerja sama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).

Anggota Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Syifaul Arifin menjelaskan, modul tersebut menjadi modal awal untuk mengidentifikasi dan memahami narasi-narasi disinformasi yang disebar di masyarakat.

“Dari sinilah, kita akan belajar sedikit demi sedikit untuk mencegah penggiringan opini yang bertujuan mengintervensi pengambilan keputusan dalam skala kecil oleh masyarakat yang masih percaya rokok, maupun skala besar oleh pemerintah yang masih percaya pada industri rokok,” paparnya.

Saat ini, kata Syifaul, disinformasi ditemukan di media sosial dan media mainstream. Pendukung bisnis tembakau telah memanfaatkan berbagai platform untuk menyampaikan disinformasi tersebut.

“Maka perlu ada kebijakan kuat untuk mencegah disinformasi, melibatkan pemerintah, dewan pers, dan publik,” pungkas Syifaul Arifin.

816 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *