apakabar.co.id, JAKARTA – Presiden RI Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan kenaikan gaji guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) dan guru honorer non-ASN pada peringatan Hari Guru Nasional di Velodrome, Jakarta Timur, Kamis (28/11).
Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan gaji guru ASN sebesar 1 kali gaji pokok dan tunjangan profesi guru non-ASN sebesar Rp2 juta.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menilai kebijakan itu belum menyelesaikan masalah utama terkait kesenjangan kesejahteraan guru. Menurutnya, guru non-ASN yang belum tersertifikasi masih menghadapi kesulitan ekonomi yang signifikan.
“Hanya sebatas bedak dan gincu. Sekilas seakan-akan wow, tapi nyatanya tidak menyelesaikan persoalan,” ujar Ubaid di Jakarta, Jumat (29/11).
Menurut Ubaid, guru ASN apalagi yang sudah tersertifikasi, kesejahteraannya sudah baik. “Rata-rata mereka sudah punya rumah, punya mobil. Mengapa ditambah lagi gajinya?” ujarnya.
Sementara guru non-ASN yang belum tersertifikasi ternyata nasibnya berbanding terbalik. “Gaji mereka untuk makan saja tidak cukup. Ini mestinya diperioritaskan, bukan sebaliknya,” terang Ubaid.
Jika kebijakan terbaru itu benar-benar diaplikasikan pada tahun 2025, maka kesenjangan kesejahteraan guru kian melebar. Kondisi tersebut tentunya tidak baik bagi sektor pendidikan Indonesia.
Ubaid mengkritik kebijakan tersebut karena lebih bernuansa politis daripada benar-benar mendukung kesejahteraan guru non-sertifikat. Menurutnya, janji-janji pemerintah tentang kesejahteraan guru honorer sering kali berujung harapan palsu yang sulit terealisasi. Hingga kini, nasib mereka masih belum berubah.
“Jika ingin menyelesaikan problem guru, maka mereka yang paling rentan dan terdiskriminasi lah yang harusnya didahulukan,” tegasnya.
Ubaid menyoroti kelompok guru yang paling rentan adalah mereka yang berstatus non-ASN dan belum tersertifikasi. Mereka sering kali menghadapi tantangan ekonomi yang lebih besar ketimbang rekan-rekan mereka yang sudah tersertifikasi atau berstatus ASN.
“Ini mendesak untuk diperioritaskan, bukan malah ditinggalkan,” ujarnya.
Pasalnya, di lingkungan madrasah, guru yang masuk kategori ini jumlahnya cukup besar. Angkanya mencapai 94 persen.
“Dimana tanggung jawab pemerintah? Padahal UU guru dan dosen disebutan negara menjamin perlindungan profesi dan kesejahteraan semua guru, tanpa terkecuali,” papar Ubaid.
Ubaid mengusulkan agar pemerintah lebih fokus pada peningkatan kualitas hidup para guru non-ASN yang belum tersertifikasi, daripada menambah kesejahteraan guru ASN dan sudah tersertifikasi. Hal ini karena mereka adalah kelompok guru yang paling rentan dan sering kali mengalami kesulitan ekonomi.
Selain itu, meski para guru ASN sudah tersertifikasi, ternyata banyak dari mereka yang memiliki kualitas mendidik yang rendah. Untuk itu, pemerintah harus juga fokus pada peningkatan kualitas mereka.
“Mestinya yang belum sejahtera, disejahterakan. Yang sudah sejahtera tapi tidak bermutu, ya kualitasnya harus ditingkatkan,” tandasnya.