apakabar.co.id, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pilkada Kota Banjarbaru harus diulang dengan mekanisme pasangan calon tunggal melawan kotak kosong.
Amar putusan dibacakan Ketua MK, Suhartoyo, nomor perkara 05/PHPU.WAKO-XXIII/2025 pada Senin (24/2/2025) siang, mengabulkan sebagian permohonan Koordinator Lembaga Studi Visi Nusantara, Muhamad Arifin.
Masih dalam amar putusan, KPU Kota Banjarbaru diberi waktu 60 hari pasca-putusan untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh tempat pemungutan suara (TPS).
Hakim MK, Enny Nurbaningsih, saat menyampaikan pertimbangan hukum menjelaskan bahwa Pilkada 2024 di Banjarbaru telah melanggar konstitusi dan mengabaikan hak pemilih yang menjadi esensi dalam demokrasi.
Duduk Masalah
Berawal KPU Banjarbaru mendiskualifikasi Paslon nomor urut 2 Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah atas rekomendasi Bawaslu Kalsel, pada 31 Oktober 2024.
Sehingga, yang tersisa hanya Paslon nomor urut 1 yakni Erna Lisa Halaby – Wartono.
Saat pencoblosan, gambar paslon nomor 2 masih terpampang di kertas surat suara. Pemilih yang mencoblos paslon nomor 2 dianggap tidak sah, dengan alasan sudah didiskualifikasi.
Hasil akhir, KPU Banjarbaru menetapkan Lisa-Wartono meraih 100 persen kemenangan dengan 36.135 suara sah.
Sementara itu, Paslon Aditya-Said Abdullah yang meraih 78.736 suara dinyatakan 0 (nol) suara, lantaran sudah didiskualifikasi.
Perolehan 100 persen suara untuk Lisa-Wartono menjadi sorotan publik lantaran dianggap janggal hingga digugat ke MK.
Pertimbangan MK
Hakim MK, Enny Nurbaningsih, menyampaikan telah terjadi kejadian khusus di Pilwali Kota Banjarbaru yang menimbulkan ketidakpastian bentuk pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara.
Hal tersebut dipandang Mahkamah sebagai pemilihan tanpa pilihan yang merenggut hak pemilih untuk memberikan suaranya secara bermakna.
Padahal hak untuk memberikan suara atau memilih merupakan penerapan langsung hak konstitusional, sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945.
“Sedangkan Pilwalkot Kota Banjarbaru sesungguhnya bukanlah pemilihan sebagaimana yang diamanatkan konstitusi,” ucap Enny Nurbaningsih, membacakan pertimbangan mahkamah didampingi delapan hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK, Jakarta.
Ia melanjutkan, pemilihan kepala daerah di Kota Banjarbaru tersebut tidak dilaksanakan secara demokratis, sehingga nyata bertentangan dengan amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa ‘Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
“Dengan demikian, tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa Pemilukada Kota Banjarbaru tahun 2024 telah melanggar Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dan melanggar asas Pemilu. Khususnya asas adil dan asas bebas, dikarenakan tidak adanya keadilan bagi para pemilih, serta tidak adanya kebebasan para pemilih untuk memberikan pilihan lain selain kepada pasangan calon nomor urut 1,” sambungnya.
Semestinya, kata Enny, KPU Banjarbaru menghadirkan kolom kosong pasca-didiskualifikasinya Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 54C ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada). Namun diabaikan.
Lebih jauh, jika KPU Banjarbaru (Termohon) mengambil pilihan mencetak ulang surat suara dan menunda penyelenggaraan pemilihan hingga tersedianya surat suara karena telah kejadian khusus, hal itu telah memenuhi syarat “gangguan lainnya” sebagaimana diatur Pasal 120 UU Nomor 1 Tahun 2015.
“Sebaliknya, pemilih yang mencoblos kolom gambar pasangan calon nomor urut 2 yang sudah didiskualifikasi dianggap sebagai suara tidak sah. Mahkamah berpandangan bahwa KPU Kota Banjarbaru telah abai dalam menerapkan diskresi yang mengedepankan hak konstitusional dan kepentingan para pemilih,” papar Enny.
Mekanisme kolom kosong, jelas Enny, menjamin adanya pemilihan dan kontestasi dalam penyelenggaraan pemilihan dengan satu pasangan calon. Sehingga hak pemilih untuk memberikan suara dalam penerapan prinsip “one man, one vote, one value” dapat terwujud ketika pemilih dapat memilih, meskipun hanya terdapat satu pasangan calon.
“Pemilukada dengan satu pasangan calon tanpa adanya pilihan untuk mencoblos kolom kosong sebagai pernyataan tidak setuju dengan keterpilihan pasangan calon tersebut, menyebabkan dalam pemilihan tersebut sesungguhnya tidak terdapat ‘pilihan yang bermakna’,” ujar Enny.
Di sisi lain, adanya kejadian khusus dan ketidakpastian tersebut, Mahkamah mengesampingkan kedudukan hukum Lembaga Studi Visi Nusantara sebagai pemantau Pilwalkot Kota Banjarbaru yang diatur Pasal 157 dan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Sebab awalnya Lembaga Studi Visi Nusantara tidaklah bisa mengajukan permohonan, karena awalnya Pilwalkot Kota Banjarbaru akan diikuti dua pasangan calon.
“Mahkamah pada prinsipnya tidak dapat membiarkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional pemilih yang diakibatkan kesalahan prosedur pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilukada,” kata Enny.
“Dengan demikian, persoalan formal berkenaan kedudukan hukum Pemohon dalam kasus ini dapat dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan yang berkenaan dengan hak konstitusional pemilih,” kata Enny.