1446
1446

BHR dan Apresiasi Pahit untuk Ojol

Ilustrasi ojek online (ojol). Foto: Antara

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

Kebijakan pemberian Bonus Hari Raya (BHR) bagi pengemudi ojek online (ojol) menjadi contoh nyata ketimpangan yang dialami pekerja informal dalam sistem ekonomi gig.

Perusahaan seperti Gojek menerapkan kebijakan BHR berdasarkan kategori kinerja, dengan nominal bervariasi dari Rp900.000 untuk kategori tertinggi (Mitra Juara Utama) hingga Rp50.000 untuk kategori terendah (Mitra Harapan).

Kriteria penilaian seperti jumlah hari aktif, jam online, dan tingkat penyelesaian trip dinilai tidak mempertimbangkan realitas lapangan, seperti fluktuasi permintaan atau kebijakan algoritma aplikasi yang kerap tidak transparan.

Data Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (2022) mengungkapkan bahwa mayoritas pengemudi ojol hanya memperoleh pendapatan harian Rp50.000–Rp100.000, dengan biaya operasional (bensin, perawatan kendaraan) yang hampir menyamai pemasukan.

Dalam konteks ini, BHR Rp50.000—hanya setara dengan pendapatan satu hari kerja—terasa seperti ironi. Apalagi, bagi pengemudi dengan pendapatan tahunan sekitar Rp33 juta, bonus ini hanya menyumbang 0,15% dari total penghasilan mereka.

Apa yang dilakukan perusahaan platform soal THR sebagai bentuk pengabaian terhadap kontribusi ojol yang menjadi tulang punggung layanan transportasi dan logistik perkotaan.

Ketika Mekanisme Bonus Jadi Alat Eksploitasi

Kategorisasi BHR berdasarkan kinerja sejatinya mencerminkan logika kapitalistik yang mengorbankan hak pekerja.

Platform menggunakan metrik seperti “tingkat penerimaan order” untuk menentukan besaran bonus, tanpa mempertimbangkan faktor eksternal seperti persaingan antarpengemudi atau kebijakan dynamic pricing yang membuat ojol kesulitan memenuhi target.

Akibatnya, banyak pengemudi—terutama yang berada di kategori bawah—terjebak dalam siklus kerja panjang dengan imbalan minim. Padahal, mereka telah berkontribusi pada keuntungan perusahaan yang mencapai triliunan rupiah.

Absennya regulasi pemerintah yang mengikat membuat perusahaan leluasa menetapkan kebijakan sepihak.

Di sisi lain, pemerintah terkesan abai mengintervensi. Alih-alih membuat aturan yang mewajibkan BHR proporsional—misalnya, setara dengan upah satu bulan—pemerintah justru membiarkan korporasi berdalih pada “mekanisme pasar”.

Mengapa Pemerintah Diam Seribu Bahasa?

Persoalan BHR ojol bukan sekadar urusan korporasi, melainkan cermin kegagalan negara dalam melindungi pekerja informal.

Pemerintah memiliki alat hukum seperti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) untuk memaksa perusahaan memberikan BHR yang layak, tetapi ini tidak dilakukan.

Sikap setengah hati ini konsisten dengan pola kebijakan sebelumnya: APBN difokuskan pada proyek infrastruktur megah, sementara anggaran perlindungan sosial dipangkas.

Jika pemerintah serius membela kepentingan ojol, langkah konkret seperti menetapkan upah minimum sektor transportasi online atau memastikan transparansi algoritma penetapan order bisa segera diwujudkan.

Namun, hingga kini, tidak ada gebrakan berarti. Bahkan, diskursus tentang BHR ojol hanya mengemuka saat menjelang Lebaran, lalu tenggelam hingga tahun berikutnya.

Ketiadaan perlindungan ini memperparah penurunan perputaran ekonomi mudik. Dengan pendapatan yang stagnan dan bonus minim, pengemudi ojol—yang sebagian juga merupakan pemudik—terpaksa menghemat budget mudik.

Mereka menjadi bagian dari 20 juta pekerja informal yang terancam tak bisa pulang kampung atau harus meminjam dana darurat. Di tengah gencarnya pembangunan IKN dan PSN, negara justru meninggalkan kelompok yang paling rentan—bukti bahwa pembangunan Indonesia masih timpang dan jauh dari prinsip keadilan sosial.

*) Ekonom dan Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

11 kali dilihat, 11 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *