Oleh: Made Saihu*
Ditinjau dari akar sejarahnya, istilah halal bihalal berasal dari KH Abdul Wahab Chasbullah yang merupakan seorang ulama pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama (NU). KH Wahab Chasbullah memperkenalkan istilah halal bihalal pada Bung Karno sebagai bentuk cara silaturrahim antar pemimpin politik yang pada saat itu sedang berkonflik.
Atas saran KH Wahab, pada Hari Raya Idulfitri 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana negara menghadiri silaturrahim yang diberi judul halal bihalal.
Para tokoh politik akhirnya duduk satu meja. Mereka mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depan. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halal bihalal yang kemudian diikuti masyarakat Indonesia secara luas dan halalbihalal menjadi salah satu tradisi unik di Indonesia hingga sekarang.
Jika dilihat dari sudut pandang budaya dan tradisi dapat dimaknai sebagai acara maaf-maafan pada hari Lebaran yang di dalamnya mengandung unsur silaturrahim.
Dalam Bahasa Arab, Halal berasal dari kata halla atau halala yang mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya, antara lain penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
Mengacu pada beberapa makna ini, maka berhalal bihalal merupakan suatau aktivitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang yang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghadang terjalinnya hubungan harmonis dan darinya maka akan terlahir cinta kasih.
Belum lagi, jika makna ini dilihat dari sudut pandang fiqih (hukum Islam). Halal yang dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal maka ia akan memberikan pesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.
Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi dan tentu saja baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi, yaitu cinta pada sesama dengan senantiasa berlapang dada untuk saling memaafkan.
Lalu apa manfaat atau kegunaan dari halal bihalal yang sudah membudaya ini. Di antara manfaat atau kelebihan yang didapatkan dari budaya halal bihalal masyarakat Indonesia adalah:
1. Menjadi Seorang Pemaaf
Halal bihalal yang menjadi ajang silaturrahim antarsesama di harl lebaran umumnya diawali dengan saling bermaafan atas segala kesalahan, boleh jadi melalui tradisi sungkeman atau salaman. Ini merupakan implementasi dari Firman Allah:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
“Jadilah pemaaf dan anjurkanlah orang berbuat baik, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A`raf: 199).
2. Terbebas dari Dosa Sesama
Ketika tradisi ini dilakukan dengan saling meminta dan memberi maaf atas segala dosa dan kesalahan yang terjadi di antara masyarakat, dengan sendirinya masyarakat sudah tidak memiliki dosa di antara mereka.
Artinya bahwa mereka sudah terbebas dari dosa sesama manusaia melalui budaya saling memaafkan. Hal ini penting dalam kehidupan beragama dan juga bermasyarakat sebagai upaya untuk membangun cinta antar sesama. Rasulullah bersabda:
عَنْ سَلْمَانِ الْفَارِسِيِّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:”إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا لَقِيَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَّتْ عَنْهُمَا ذُنُوبُهُمَا، كَمَا تَتَحَاتُ الْوَرَقُ مِنَ الشَّجَرَةِ الْيَابِسَةِ فِي يَوْمِ رِيحٍ عَاصِفٍ، وَإِلا غُفِرَ لَهُمَا، وَلَوْ كَانَتْ ذُنُوبُهُمَا مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ” – رواه الطبراني
’’Dari Salman Al-Farisy RA, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya sesama muslim kemudian keduanya berjabat tangan, maka akan gugurlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun kering di hari angin bertiup kencang. Ataupun jika tidak, maka dosa-dosa keduanya akan diampuni walaupun seumpama sebanyak buih di lautan.” (HR Turmudzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
3. Perekat Persaudaraan
Dalam setiap halal bihalal tentu saja kita akan bertemu dengan sesama Muslim, saling memaafkan dan saling mendoakan. Semua cair dan lebih siap untuk saling memafkan dan mendoakan sesama yang bertemu baik sengaja maupun tidak sengaja, sehingga halal bihalal dapat membuat hubungan dengan orang lain semakin dekat. Ini merupakan anjuran agama sebagaimana dituliskan dalam Al-Qur’an:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat: 10)
4. Membangun Nilai Sosial bagi Masyarakat
Penting untuk dipahami bahwa tradisi halal bihalal tidak hanya sekadar bermaaf-maafan dan menyambung tali silaturrahim. Lebih dari itu. Tradisi halal bihalal dapat menghidupkan nilai-nilai sosial di tengah kehidupan bermasyarakat.
Dalam ilmu sosiologi agama dielaskan bahwa sudah sepatutnya agama dapat menangani masalah-masalah yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Problematika yang paling dominan adalah aspek psikologis yang bukan hanya bersifat pribadi (private), tetapi lebih dari itu bersifat publik (public).
Oleh karena itu, ketika wilayah (domain) teknologi dan teknik institusi tidak dapat menyelesaikan problematika manusia, maka agama dengan kekuatan supernaturalnya yang dijadikan alternatif mengatasi keterbatasan tersebut. ’
’Diriwayatkan dari Abi Musa ra. di berkata, “Rasulullah pernah bersabda, ‘Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan.’’ (HR Bukhari – 481)
Itulah makna dan hakikat dari halal bihalal. Semakin banyak dan semakin sering kita mengulurkan tangan dan melapangkan dada, semakin luka hati kita obati dengan saling memaafkan, maka semakin dalam pula penghayatan dan upaya kita untuk membangun komunikasi dan relasi berbasis cinta.
*) Guru Besar Pendidikan Islam Universitas PTIQ Jakarta