Amnesty International Desak DPR Tuntaskan Kasus Pekerja Sirkus OCI

Rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) hingga pihak Taman Safari Indonesia di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/4/2025). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Kasus dugaan penyiksaan dan eksploitasi terhadap mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke publik. Dalam audiensi dengan Komisi III DPR RI pada 21 April 2025, sejumlah korban menyampaikan kesaksian memilukan tentang perlakuan tidak manusiawi yang mereka alami selama bekerja di sirkus tersebut.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut audiensi itu sebagai momen penting dalam upaya para korban mencari keadilan. Ia menegaskan bahwa Komisi III DPR RI tidak boleh berhenti hanya pada mendengar kesaksian, melainkan harus menindaklanjutinya dengan serius.

Menurut Usman, langkah pertama yang harus dilakukan Komisi III adalah memanggil Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menjelaskan alasan penghentian penyidikan atau SP3 atas kasus ini di tahun 1999. Saat itu, Polri berdalih kekurangan alat bukti untuk melanjutkan proses hukum. Padahal, Komnas HAM pada 1997 sudah menyatakan bahwa OCI telah melakukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia terhadap anak-anak pemain sirkus.

Amnesty International mendesak agar Kapolri membuka kembali penyidikan atas kasus ini. Hal ini penting agar kegagalan negara dalam menghadirkan keadilan di masa lalu tidak terulang kembali.

Usman Hamid juga mendorong Komisi III DPR RI untuk membentuk tim pencari fakta independen. Tim ini diharapkan dapat menggali informasi lebih dalam mengenai bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi, serta peran negara dalam pembiaran selama bertahun-tahun.

Selain itu, Komnas HAM juga diminta segera membentuk tim penyelidikan pro-justisia, agar proses hukum bisa berjalan secara objektif, independen, dan berpihak kepada korban.

Usman menekankan pentingnya negara memberikan akses pemulihan yang layak bagi para korban. Pemulihan tersebut bisa berbentuk bantuan hukum, pemulihan psikologis, maupun reintegrasi sosial.

“Negara tidak boleh lepas tangan terhadap luka yang masih dirasakan korban hingga hari ini,” tegasnya di Jakarta, Senin (21/4).

Lebih jauh, Amnesty menilai kasus ini sebagai bukti bahwa selama ini negara belum sepenuhnya menjamin perlindungan warga negara dari praktik eksploitasi dan penyiksaan, terutama di dunia kerja. Untuk itu, pemerintah didorong melakukan audit rutin terhadap perusahaan-perusahaan terkait kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku.

“Audit ini bertujuan memastikan mereka mematuhi aturan hukum dan hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia,” katanya.

Hak untuk bebas dari penyiksaan, papar Usman, merupakan hak yang tidak bisa dikurangi dalam situasi apa pun. Pelanggaran terhadap hak ini adalah bentuk pelanggaran HAM berat yang wajib mendapat perhatian serius dari Komisi III DPR, Polri, Komnas HAM, serta kementerian dan lembaga lainnya.

Sebelumnya, para korban telah melapor ke Kementerian Hukum dan HAM pada 15 April. Salah satu korban mengaku dipaksa berlatih sirkus sejak usia lima tahun. Ia dan rekan-rekannya mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti pemukulan, disetrum, bekerja dalam kondisi sakit, hingga dipaksa makan kotoran hewan. Bahkan ada korban yang dipisahkan dari anaknya setelah melahirkan.

Pihak pengelola OCI sempat memberikan klarifikasi kepada media pada 17 April lalu. Mereka mengakui adanya pemukulan menggunakan rotan sebagai bagian dari ‘pendisiplinan’. Namun, mereka membantah tuduhan penyiksaan dan mengklaim para pemain dianggap sebagai bagian dari keluarga.

Meskipun begitu, pengakuan ini justru menguatkan dugaan adanya kekerasan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Kasus ini membuka mata banyak pihak bahwa perlindungan terhadap anak dan pekerja masih menjadi PR besar negara.

Kini bola ada di tangan DPR dan institusi negara lainnya. Akankah mereka benar-benar berpihak pada korban dan keadilan, atau justru kembali membiarkan luka lama ini mengering tanpa penyelesaian?

228 kali dilihat, 245 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *