Oleh: Awalil Rizky*
Bank Indonesia merupakan otoritas yang menjalankan kebijakan moneter dan bersifat independen sejak tahun 1999. Tujuan utama kebijakan moneter dikatakan untuk mencapai stabilitas nilai Rupiah. Kadang ditambah memelihara stabilitas sistem pembayaran dan menjaga stabilitas sistem keuangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Stabilitas nilai Rupiah dijelaskan sebagai kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar Rupiah. Kestabilan harga barang dan jasa secara umum diukur dari inflasi yang rendah dan stabil. Sedangkan kestabilan nilai tukar diukur dari nilai rupiah terhadap mata uang negara lain.
Salah satu instrumen pokok kebijakan moneter Bank Indonesia adalah Operasi Moneter (OM). OM bertujuan mendukung pencapaian stabilitas moneter yang dilaksanakan di pasar uang dan pasar valas secara terintegrasi.
OM terutama dilakukan dengan mengendalikan suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) overnight. Pengendalian dimaksud agar bergerak di sekitar suku bunga kebijakan Bank Indonesia yaitu BI-Rate dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah agar bergerak stabil sejalan dengan nilai tukar fundamental.
Baca juga: Bank Indonesia Kecanduan Narasi ‘Beda dari 1998’
Pengelolaan likuiditas di pasar uang Rupiah dilakukan dengan cara absorpsi likuiditas dan injeksi likuiditas. Sedangkan untuk menjaga nilai tukar agar sejalan dengan nilai tukar fundamental, OM dilakukan melalui pelaksanaan intervensi dan atau transaksi valas lainnya di pasar valuta asing. OM terdiri dari Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities.
Operasi Moneter Bank Indonesia dilakukan secara konvensional dan ada yang berdasarkan prinsip syariah. Keduanya memiliki berbagai instrumen kebijakan, baik yang absorsi ataupun injeksi. Sejauh ini nilai yang konvensional jauh lebih besar, selalu mencapai kisaran lebih dari 90%.
Instrumen OM konvensional yang bersifat absorpsi atau menyerap likuditas perekonomian, terutama dari perbankan, antara lain: Serifikat Bank Indonesia (SBI), Term Deposit (TD), Reverse Repo SBN, Sertifikat Deposit Bank Indonesia (SDBI), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan Deposit Facility. Instrumen Syariah antara lain: Serifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Sukuk BI, Reverse Repo SBSN, dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS).
Sedangkan yang bersifat injeksi atau menggelontorkan likuditas secara konvesional, terutama melalui perbankan antara lain: Repo dan Lending Facility. Instrumen Syariah antara lain: Repo SBSN dan Financing Facility.
Arah Kebijakan Operasi Moneter yang Absorptif
Operasi moneter Bank Indonesia selama lebih dua dekade terakhir lebih bersifat absorpsi atas likuiditas perekonomian. Terlihat dari nilai neto operasi moneter bersifat absorpsi, dan didukung oleh lebih banyaknya instrumen dibanding yang bersifat injeksi.
Arah kebijakan demikian makin tampak selama lima tahun terakhir, dan melonjak pada tahun 2024. Posisi OM yang menyerap meningkat drastis dari Rp297,49 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp694,01 triliun pada akhir 2020 dan Rp881,27 triliun pada akhir 2021. Sempat sedikit menurun pada 2022 dan 2023, namun kembali melonjak menjadi Rp945,56 triliun pada akhir 2024.
Kondisi terkini pun masih berposisi absorpsi yang bernilai besar, mencapai Rp922,58 triliun per 31 Maret 2025. Sebagai tambahan informasi, beberapa instrumen tidak dipakai lagi atau sedang dalam posisi nihil. Instrumen bernilai besar antara lain: SRBI (Rp891,13 triliun), Repo (Rp165,31 triliun), Deposit facility (Rp103,49 triliun), dan Sukuk BI (64,48 triliun).
Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) adalah surat berharga berdenominasi rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan menggunakan underlying asset berupa surat berharga milik Bank Indonesia. SRBI yang kini masih beredar bertenor 6, 9, dan 12 bulan. Sekitar 25% nya dimiliki oleh pihak asing.
Dari berbagai narasi kebijakan Bank Indonesia, alasan utama operasi moneter adalah menjaga tingkat inflasi. Biasa pula ditekankan menjaga faktor stabilitas kondisi keuangan. Dengan demikian bisa ditafsirkan, kebijakan ini merupakan salah satu penyebab rendahnya inflasi selama beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Utang Luar Negeri Bank Indonesia Melonjak Pesat
Akan tetapi, ekonom bisa mengartikan sebagai kurangnya dorongan pada pertumbuhan ekonomi, termasuk penciptaan lapangan kerja. Ekonom pun dapat mengkritik kebijakan ini yang membuat bank menjadi “malas” menyalurkan ke sektor riil.
Menariknya, pada saat bersamaan, kepemilikan Bank Indonesia makin banyak atas SBN domestik, mencapai Rp1.547,41 triliun atau 24,62% dari total per 10 April 2025. Dengan demikian, BI memberi utang kepada Pemerintah, namun berutang pada Bank dan pihak asing.
Bisa saja ditafsirkan bahwa BI menilai uang lebih berguna disalurkan ke Pemerintah dibanding ke sektor riil melalui Bank. Secara teknis tampak pula bahwa BI mengeluarkan tambahan biaya operasi moneter, karena hasil dari SBN Pemerintah lebih rendah dari yang harus dibayar untuk SRBI.
Stabilitas keuangan sejauh ini bisa dijaga dengan pola kebijakan demikian. Antara lain diindikasikan oleh inflasi yang rendah, serta harga SBN yang masih “wajar” atau yield yang terkendali. Harga SBN terkait erat dengan solvabilitas Bank dan Dana Jaminan Sosial seperti BPJS, serta dana haji.
Bagaimanapun, kondisi yang demikian membuat ruang kebijakan moneter dan juga fiskal makin sempit. Pada saat ketidakpastian meningkat dan perekonomian cenderung melemah, mestinya otoritas ekonomi (Pemerintah dan Bank Indonesia) lebih bersikap “countercyclical”. Namun, daya untuk itu cenderung makin lemah.
Penulis berpandangan lebih jauh bahwa melemahnya daya beli masyarakat kelas bawah dan bahkan kelas menengah diperparah oleh arah kebijakan demikian. Pada saat bersamaan, kondisi keuangan kelas menengah atas dan kelas atas dapat saja lebih diuntungkan. Mereka lah yang memiliki uang untuk dialokasikan pada berbagai instumen investasi keuangan yang memberi hasil makin tinggi.
*) Ekonom Bright Institute