apakabar.co.id, JAKARTA – Fakta mengejutkan terungkap dalam sidang perdana kasus pembunuhan jurnalis muda, Juwita (23), yang digelar di Pengadilan Militer (Dilmil) I-06 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada Senin (5/5).
Terdakwa, Kelasi Satu Jumran, prajurit aktif TNI Angkatan Laut dari Lanal Balikpapan, didakwa menyusun skenario matang untuk menghabisi nyawa Juwita dengan penuh tipu daya, bahkan terhadap komandannya sendiri.
Kepala Oditurat Militer III-15 Banjarmasin, Letkol CHK Sunandi, mengungkap sederet siasat yang digunakan terdakwa guna menutupi jejak dan mengelabui satuannya.
“Setelah merencanakan pembunuhan, terdakwa menggadaikan sepeda motor miliknya senilai Rp15 juta untuk membiayai operasional perjalanan dari Balikpapan ke Banjarbaru,” ujar Letkol Sunandi saat membacakan dakwaan di hadapan majelis hakim.
Skema terdakwa dimulai sejak 12 Maret 2025. Ia meminjam KTP adik letingnya untuk membeli tiket pesawat menggunakan identitas palsu. Identitas tersebut digunakan agar perjalanannya tak terlacak dan niat jahatnya tak diketahui pihak kesatuan.
Namun, keberangkatan pada 13 Maret urung dilakukan karena terdakwa mengaku sibuk. Tiket pesawat pun dibatalkan dan kemudian diganti dengan pembelian tiket baru menggunakan identitas temannya.
Agar lebih meyakinkan, terdakwa meminjam nama dan data temannya untuk keperluan tiket pulang-pergi Banjarbaru-Balikpapan. Ia bahkan menyuruh temannya membeli tiket, meski sempat ditolak. Terdakwa berjanji rekannya tak akan dilibatkan dalam kejahatan tersebut.
Tak berhenti di situ, terdakwa menitipkan Kartu Tanda Anggota (KTA) dan nomor ponselnya ke rekannya di markas agar seolah-olah ia tidak ke mana-mana. Sementara itu, ia berburu jasa rental mobil lewat media sosial, yang akan digunakannya saat tiba di Banjarbaru.
Pada Jumat (21/3), terdakwa akhirnya berangkat ke Banjarbaru menggunakan bus, menggunakan nama samaran “Andi” untuk tiket perjalanan.
Untuk mengelabui absennya dari markas Lanal Balikpapan, ia mengatur siasat seolah-olah sedang piket. Ia bahkan meminta rekan satu angkatan agar izin ke senior untuk piket bersama, padahal ia sedang menempuh perjalanan lintas provinsi.
Setiba di Banjarbaru pada Sabtu pagi (22/3), terdakwa sempat memantau grup WhatsApp Lanal Balikpapan untuk memastikan tidak ada kegiatan dinas yang bisa mencurigakan ketidakhadirannya.
Setelah itu, Jumran mulai mengeksekusi rencana. Ia menghubungi korban lewat pesan singkat dengan dalih meminta bantuan membeli sepatu di sebuah toko.
Sambil menunggu balasan, ia membeli masker untuk menutupi wajah, serta menyiapkan sarung tangan, air mineral, dan pakaian ganti.
Begitu korban merespons, terdakwa menjemput Juwita dengan mobil rental. Mereka bertemu, dan dengan alasan membeli sepatu, terdakwa membawa korban ke lokasi pembunuhan.
Di Jalan Trans Gunung Kupang, Kelurahan Cempaka, Kota Banjarbaru, rencana keji itu dijalankan. Juwita ditemukan tewas pada Sabtu sore sekitar pukul 15.00 WITA.
Jenazahnya tergeletak di tepi jalan bersama sepeda motornya, sempat memunculkan dugaan kecelakaan tunggal.
Namun, warga yang pertama kali menemukan jasad korban tidak melihat tanda-tanda kecelakaan.
Leher korban tampak penuh luka lebam, sementara ponsel miliknya raib dari lokasi kejadian—menguatkan dugaan bahwa ia adalah korban pembunuhan.
Dalam sidang tersebut, enam saksi dari sebelas yang diajukan telah diperiksa. Lima lainnya akan dipanggil Kamis mendatang (8/5), bersamaan dengan pemeriksaan barang bukti.
Juwita dikenal sebagai jurnalis berbakat yang aktif di media lokal dan telah lulus Uji Kompetensi Wartawa (UKW). Kepergiannya menyisakan luka mendalam, tak hanya bagi keluarga, tapi juga komunitas pers nasional yang kini menyoroti proses hukum dengan cermat.
Kasus ini menjadi peringatan keras bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak boleh ditoleransi, terlebih bila melibatkan aparat negara yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.