Penggugat Pilkada Banjarbaru Jadi Tersangka, Aroma Kriminalisasi Menguat

Penetapan tersangka ini hanya berselang beberapa hari sebelum sidang sengketa Pilkada Banjarbaru kembali digulirkan di MK.

Polisi menetapkan Ketua LPRI Kalsel sebagai tersangka. Foto via Poros Kalimantan

apakabar.co.id, JAKARTA – Syarifah Hayana, salah satu penggugat dugaan kecurangan dalam Pilkada Banjarbaru, resmi menjadi tersangka. Sebagai Ketua Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Syarifah terjerat dalam dugaan pelanggaran terkait pemantauan Pilkada.

“Iya betul, sudah ditetapkan tersangka,” kata Kasat Reskrim Polres Banjarbaru, AKP Haris Wicaksono, yang dihubungi apakabar.co.id pada Senin malam (12/5).

Namun, Haris tidak menjelaskan secara rinci pelanggaran yang dimaksud. “Sesuai pasal yang dicantumkan,” ujar Haris singkat.

Penyelidikan ini mengarah pada dugaan pelanggaran ketentuan yang tercantum dalam Pasal 128 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yang mengatur Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Syarifah dianggap melanggar ketentuan tersebut, terkait tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus lembaga pemantau Pilkada di Banjarbaru.

Pada Jumat (9/5), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalsel mencabut akreditasi LPRI sebagai lembaga pemantau Pilkada, berdasarkan Keputusan KPU Nomor 74 Tahun 2025. Syarifah kini terancam pidana penjara antara 36 hingga 72 bulan dan denda antara Rp36 juta hingga Rp76 juta, meskipun dia belum langsung ditahan. Haris menyatakan bahwa pemeriksaan akan dilakukan terlebih dahulu.

Penyelidikan ini berawal dari laporan Bawaslu Kota Banjarbaru terhadap 20 orang yang diduga terlibat dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada 19 April. Pada 12 Mei 2025 saat hari raya Waisak, polisi melakukan gelar perkara sebelum menetapkan Syarifah sebagai tersangka, dengan rencana pemeriksaan pada 14 Mei.

Namun, penetapan ini dianggap sebagai bagian dari upaya kriminalisasi yang bertujuan untuk mengintimidasi agar gugatan sengketa hasil PSU di Mahkamah Konstitusi (MK) dicabut. Denny Indrayana, anggota tim hukum dari Banjarbaru Hanyar, menegaskan bahwa penetapan tersangka tidak akan mempengaruhi upaya mereka. “Kami berdiri bersama Bunda Syarifah, haram menyerah,” tegasnya.

Gugatan terhadap hasil PSU ini berkaitan dengan keputusan MK sebelumnya yang mencatat adanya pelanggaran serius dalam pelaksanaan Pilwalkot. MK mencatat empat pelanggaran utama: pertama, pasangan calon nomor urut 2, Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah, tetap tercantum meskipun sudah didiskualifikasi; kedua, tidak ada kolom kosong meskipun hanya ada satu pasangan calon; ketiga, pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 karena tidak memberikan pilihan yang berarti bagi pemilih; dan keempat, kelalaian KPU Kota Banjarbaru yang tidak mencetak ulang surat suara atau menunda pemungutan suara.

MK kemudian memerintahkan PSU dengan menambahkan kolom kosong sebagai opsi. Namun, hasil PSU kembali digugat, kali ini oleh LPRI Kalsel dan Profesor Udiansyah, yang menuding adanya praktik politik uang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) oleh pasangan calon nomor urut 1, Erna Lisa Halaby-Wartono, yang memenangkan PSU tersebut.

334 kali dilihat, 347 kunjungan hari ini
Editor: Fahriadi Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *