Resmi! Ketua KPU Kalsel Di-DKPP-Kan, Dituding Kriminalisasi Lembaga Pemantau Pilkada

Keputusan KPU membuat LPRI kehilangan legal standing dalam gugatan sengketa hasil Pemilu Ulang Banjarbaru di MK. Terindikasi sebagai penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran kode etik.

Polisi menetapkan Ketua LPRI Kalsel sebagai tersangka. Foto via Poros Kalimantan

apakabar.co.id, JAKARTA – Tim Hukum Hanyar (Haram Manyarah) Banjarbaru resmi melaporkan Ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalimantan Selatan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Rabu (14/5). Laporan teregistrasi dengan Nomor 153/01-14/SET-02/V/2025, dan menuding KPU Kalsel melakukan pelanggaran etik berat hingga mengarah pada kriminalisasi lembaga pemantau pemilu, LPRI Kalsel.

Menurut Tim Hukum Hanyar, penyelenggaraan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Banjarbaru pada 19 April 2025 telah tercemar oleh tindakan KPU Kalsel yang dianggap melenceng dari prinsip dasar pemilu berintegritas.

KPU Kalsel disebut tidak hanya salah memahami peran lembaga pemantau dan metode quick count, namun juga melampaui kewenangannya dengan mencabut akreditasi LPRI Kalsel secara sepihak.

Pencabutan itu tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 74 Tahun 2025 yang ditetapkan pada 9 Mei 2025. Akibatnya, LPRI kehilangan legal standing dalam gugatan sengketa hasil PSU di Mahkamah Konstitusi (MK). Tim Hukum Hanyar menilai keputusan tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran kode etik sebagaimana diatur dalam Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017.

“Ini bentuk kesewenang-wenangan. KPU Kalsel tidak objektif dan tidak memberi ruang klarifikasi kepada LPRI,” tegas Tim Hukum Hanyar dalam keterangan tertulis.

Lebih jauh, tim hukum menyoroti indikasi konflik kepentingan di balik pencabutan akreditasi tersebut. Dinyatakan, keputusan KPU Kalsel berkaitan langsung dengan upaya untuk menggugurkan legal standing LPRI Kalsel dalam gugatan PSU di MK, demi mengamankan kepentingan tertentu.

Sikap Ketua KPU Kalsel yang disebut berharap tidak ada sengketa ke MK juga dinilai memperkuat dugaan itu. Padahal, LPRI telah menyerahkan laporan hasil pemantauan dari 403 TPS, yang semestinya diverifikasi secara terbuka dan profesional.

Ketua LPRI Jadi Tersangka

Di tengah polemik ini, Ketua LPRI Kalsel, Syarifah Hayana, justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Banjarbaru atas dugaan pelanggaran dalam pemantauan Pilkada. Hal itu dikonfirmasi oleh Kasat Reskrim Polres Banjarbaru, AKP Haris Wicaksono.

“Iya betul, sudah ditetapkan tersangka,” kata Haris saat dikonfirmasi apakabar.co.id, Senin malam (12/5).

Syarifah dijerat Pasal 128 UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Ancaman hukuman yang menantinya maksimal 72 bulan penjara dan denda hingga Rp76 juta. Meski begitu, penyidik belum melakukan penahanan dan akan memulai pemeriksaan pada Rabu (14/5).

Penetapan ini disebut berawal dari laporan Bawaslu Banjarbaru terhadap 20 orang yang diduga melanggar aturan saat PSU. Penetapan Syarifah sebagai tersangka diumumkan bertepatan dengan Hari Raya Waisak (12 Mei), setelah gelar perkara dilakukan polisi.

Namun, kubu Hanyar menilai penetapan ini bermuatan politik dan menjadi bagian dari upaya intimidasi agar gugatan LPRI Kalsel ke MK dicabut.

“Ini kriminalisasi! Kami berdiri bersama Bunda Syarifah. Haram menyerah!” tegas Denny Indrayana dari Tim Hukum Hanyar.

Sengketa PSU dan Dugaan Politik Uang

Sengketa PSU Banjarbaru sendiri bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pemungutan suara ulang dengan tambahan kolom kosong, setelah ditemukan empat pelanggaran fatal dalam Pilkada 2024. Salah satu pelanggaran krusial adalah tetap tercantumnya pasangan calon nomor 2, Aditya Mufti Ariffin–Said Abdullah, yang sebenarnya telah didiskualifikasi.

Namun, hasil PSU yang digelar 19 April lalu kembali digugat ke MK. LPRI Kalsel dan Prof. Udiansyah menuduh pasangan calon nomor 1, Erna Lisa Halaby–Wartono, yang keluar sebagai pemenang, melakukan praktik politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Laporan ke DKPP ini menjadi babak baru dalam polemik panjang Pilkada Banjarbaru. Tim Hukum Hanyar berharap DKPP tidak hanya terpaku pada aspek legalistik, tetapi mempertimbangkan esensi keadilan dan prinsip pemilu yang Luber dan Jurdil.

184 kali dilihat, 184 kunjungan hari ini
Editor: Fariz Fadillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *