Bupati Penajam Diperiksa KPK Lagi Usut Gratifikasi Rita

Untuk kedua kalinya, KPK kembali memeriksa Bupati Penajam Mudyat Noor.

Bupati Penajam Mudyat Noor kembali diperiksa KPK dalam kapasitasnya sebagai orang dekat Rita Widyasari. Foto: Antara

apakabar.co.id, JAKARTA – KPK kembali memanggil Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Mudyat Noor, sebagai saksi dalam kasus gratifikasi yang menyeret mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari (RW).

“KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi dugaan gratifikasi di lingkungan Kutai Kartanegara untuk tersangka RW,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Kamis (14/5) di Jakarta.

Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Ini merupakan bagian dari penyidikan lanjutan kasus korupsi yang menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Rita sejak 2017.

Sebelumnya, KPK juga telah memeriksa staf keuangan PT Alamjaya Barapratama berinisial YFG pada Jumat (9/5). Pemeriksaan ini mendalami pengelolaan keuangan perusahaan tambang yang berkaitan dengan dugaan gratifikasi Rita.

Sebagai bagian dari penyidikan, KPK telah menyita 91 unit kendaraan, lima bidang tanah seluas ribuan meter persegi, 30 jam tangan mewah, dan berbagai barang bernilai tinggi lainnya.

Rita sendiri dihukum membayar denda Rp600 juta subsider enam bulan kurungan karena terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp110,7 miliar, terkait perizinan proyek di lingkungan Pemkab Kutai Kartanegara.

Diperiksa di Samarinda, Mudyat Bungkam

Pemeriksaan terhadap Mudyat Noor bukan yang pertama. Pada Selasa (29/4), ia menjalani pemeriksaan oleh tim penyidik KPK di Kantor BPKP Wilayah Kalimantan Timur, Samarinda.

Mudyat tiba sekitar pukul 13.30 WITA dan langsung menuju Aula Maratua. Sekitar dua jam kemudian, pukul 16.20 WITA, ia keluar tanpa banyak komentar.

“Ndak lama, cuma diperiksa sebagai saksi. Kurang dari dua jam,” ujarnya singkat.

Saat ditanya lebih jauh soal substansi pemeriksaan, Mudyat hanya menjawab, “Ini cerita lama.”

Disebut Jadi Perantara

Namun keterangan berbeda disampaikan salah satu saksi lain, Sulasno, Direktur Operasional PT Sinar Kumala Naga. Ia menyebut Mudyat Noor sebagai sosok yang mempertemukannya dengan pihak perusahaan.

“Bupati PPU, Mudyat Noor, terkait karena beliau yang mempertemukan saya sehingga saya bisa menjadi investor di PT Sinar Kumala Naga. Maka dari itu, beliau juga dipanggil sebagai saksi,” ujar Sulasno.

Selain Mudyat dan Sulasno, KPK juga memeriksa sembilan saksi lainnya, di antaranya:

ADP – Direktur PT Petrona/Petro Naga Jaya

UMS – Komisaris PT Hayyu Bandar Berkah

MAS – Komisaris PT Hayyu Tirta Sejahtera

BBS – Pengelola teknis PT Sinar Kumala Naga

AH – Komisaris Utama PT Bara Kumala Group

ABY – Manajer Proyek PT Alam Jaya Pratama

RF – Komisaris PT Petro Naga Jaya

SLN – Direktur Utama PT Hayyu Pratama Kaltim (2011–sekarang), Dirut Operasional PT Sinar Kumala Naga (2019–sekarang)

Sulasno mengklaim bahwa ibu kandung Rita Widyasari merupakan salah satu pemegang saham PT Sinar Kumala Naga. Ia juga menyebut perusahaannya merugi hingga Rp54 miliar akibat pemblokiran rekening oleh KPK, yang membuat mereka gagal melunasi tagihan pajak sebesar Rp36 miliar.

“Saya sebagai investor tidak tahu-menahu. PT Sinar Kumala Naga sudah beroperasi sejak 2009, jauh sebelum Rita menjabat sebagai bupati pada 2010,” jelasnya.

Kenapa Baru Sekarang?

Delapan tahun setelah Rita ditangkap, publik bertanya-tanya, kenapa KPK baru sekarang memeriksa Mudyat Noor?

Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa pemeriksaan kali ini terkait perkara baru, meski masih beririsan dengan kasus Rita.

“Ada perkara lain, tapi masih terkait dengan perkara RW (Rita Widyasari),” ujarnya Selasa (29/4), kepada apakabar.co.id.

KPK kini menelisik aliran gratifikasi yang diterima Rita selama menjabat Bupati Kukar. Ia diduga mendapat fee sebesar 3,5–5 dolar AS per metrik ton batu bara dari lebih dari 100 izin tambang yang ia keluarkan.

Sejak 16 Januari 2018, Rita telah berstatus tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bersama Khairudin—mantan anggota DPRD Kukar yang juga dikenal sebagai orang kepercayaannya dalam kelompok bernama “Tim 11”.

Keduanya diduga menerima uang haram dari berbagai sumber, fee proyek, perizinan tambang, hingga pengadaan barang dan jasa dari APBD Kukar. Total korupsi yang dikantongi mereka ditaksir mencapai Rp436 miliar.

177 kali dilihat, 177 kunjungan hari ini
Editor: Fariz Fadillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *