Wajah Ketimpangan Moralitas G7

Serangan militer Israel ke Taheran Iran pada Jumat (13/6) menewaskan sejumlah tokoh militer dan Ilmuan senior nuklir Iran. Hal ini menjadi pukulan berat bagi Iran. Foto: Unsplash

Oleh: Syafruddin Karimi*

Kelompok negara-negara maju G7 kembali menunjukkan wajah sebenarnya dari diplomasi internasional: berpihak tanpa malu, dan menegaskan ketimpangan moralitas global. Dalam pernyataan resminya pada 16 Juni 2025, G7 menyatakan dukungan penuh terhadap Israel dan secara terbuka menyebut Iran sebagai sumber utama ketidakstabilan dan terorisme di Timur Tengah (Singh, 2025).

Pernyataan ini muncul meskipun dunia menyaksikan bahwa serangan udara dimulai oleh Israel pada Jumat sebelumnya, yang menewaskan lebih dari 220 warga Iran—sebagian besar dari mereka adalah warga sipil.

G7 menegaskan bahwa Israel berhak membela diri, tetapi mereka tidak mengatakan sepatah kata pun tentang hak Iran untuk merespons agresi. Mereka tidak mengecam serangan awal Israel, tidak menyebut korban sipil di Iran, dan tidak menuntut pertanggungjawaban atas kehancuran infrastruktur sipil yang terjadi.

Justru sebaliknya, mereka menyuarakan peringatan keras kepada Iran agar tidak memiliki senjata nuklir—padahal Iran adalah anggota sah Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT) dan berkali-kali menegaskan bahwa program nuklirnya bertujuan damai. Israel, yang didukung penuh oleh G7, justru bukan anggota NPT dan secara luas dipercaya memiliki persenjataan nuklir. G7 memilih bungkam.

Baca juga: Kontribusi Pekerja Asing Berpotensi Imbangi Pekerja RI

Amerika Serikat bahkan menyebut serangan Israel sebagai langkah “excellent” dan mengakui mengetahui serangan tersebut sebelum terjadi (Singh, 2025). Pernyataan ini memperkuat kesan bahwa AS bukan hanya pengamat pasif, melainkan bagian dari orkestrasi konflik.

Trump bahkan menyarankan warga segera meninggalkan Tehran, sementara serangan lanjutan Israel menghantam stasiun penyiaran nasional Iran. Ini bukan tindakan defensif, ini strategi penaklukan informasi dan penggiringan opini global.

Sikap G7 yang menyerukan deeskalasi di Gaza dan kawasan, sembari menyokong serangan Israel, terdengar seperti paradoks moral. Mereka meminta perdamaian sambil memihak dalam perang. Mereka mengaku menjaga stabilitas, padahal mereka menyulut api konflik demi kepentingan energi dan geopolitik mereka.

Di balik retorika diplomasi, G7 telah memperlihatkan bahwa hukum internasional hanya berlaku bila sesuai dengan peta kepentingan mereka. Ketika yang menyerang adalah sekutu, mereka menyebutnya “hak membela diri.” Tapi ketika pihak lain membalas, mereka mencapnya “teror.”

Baca juga: Ironi Pembangunan: Kala Negara Maju Menjadi Eksportir Kerusakan

Dunia tidak boleh diam melihat kemunafikan ini. Negara-negara Global South harus bersatu menolak dominasi narasi Barat yang terus mereproduksi ketidakadilan. Konflik Israel–Iran bukan sekadar pertarungan dua negara, tetapi ujian bagi moralitas global.

Apakah kita masih memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan secara setara, atau kita tunduk pada sistem yang menghalalkan pembantaian asalkan pelakunya adalah sekutu kuat?

G7 telah menunjukkan pilihannya. Mereka sepakat memperlihatkan ketimpangan moralitas. Kini giliran kita menentukan sikap: akankah kita ikut membenarkan kejahatan, atau kita berdiri di pihak yang menolak kekerasan, siapa pun pelakunya?

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas

13 kali dilihat, 13 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *