JPPI Kritik SPMB 2025: Sekolah Negeri Penuh, Anak Miskin Terpinggirkan

Ilustrasi - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia (Kemendikdasmen) resmi mengganti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) pada 2025. Sumber: tangerangkota.go.id

apakabar.co.id, JAKARTA – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terus menggaungkan slogan ‘Pendidikan Bermutu untuk Semua‘. Namun, menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), semangat ini belum diwujudkan secara nyata dalam sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025.

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut SPMB 2025 masih menyisakan banyak persoalan mendasar yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak dasar anak atas pendidikan. “Sistem ini belum menjamin perlindungan terhadap hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,” ujar Ubaid.

Sejauh ini, JPPI menyoroti tiga masalah utama dalam pelaksanaan SPMB tahun ini yang tertuang dalam Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025. Pertama terkait masalah klasik dalam SPMB yakni perebutan kursi di sekolah negeri. Padahal, daya tampung sekolah negeri rata-rata hanya mencakup sekitar 30% dari jumlah siswa lulusan. Artinya, 70% anak tidak tertampung dan terancam putus sekolah jika tak mendapat solusi.

“Inilah celah terjadinya praktik jual beli kursi dan pungli,” jelas Ubaid. Ia mengibaratkan sekolah negeri sebagai bus yang kapasitasnya sudah penuh, tapi pemerintah justru sibuk mengatur siapa yang boleh naik, bukan menyediakan bus tambahan bagi penumpang lainnya.

Menurut JPPI, pemerintah seharusnya lebih fokus menyiapkan alternatif pendidikan berkualitas bagi 70% anak yang tidak tertampung, bukan hanya memfasilitasi persaingan di jalur negeri.

Masalah kedua terkait Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025 yang dinilai membingungkan karena tidak konsisten dalam menerapkan kriteria penerimaan. Misalnya, jalur domisili tingkat SMA malah menilai kemampuan akademik, bukan jarak tempat tinggal. Sementara jalur afirmasi justru mempertimbangkan jarak, bukan latar belakang sosial.

Kebingungan ini makin diperparah dengan aturan di daerah seperti Jakarta dan Yogyakarta. Di sana, semua jalur – domisili, afirmasi, mutasi, hingga prestasi – tetap mengutamakan nilai akademik.

“Ini ironis. Anak miskin yang tinggal dekat sekolah pun belum tentu diterima kalau nilainya tidak tinggi,” kritik Ubaid.

Terakhir,  JPPI mengkritik pemerintah yang hanya memberikan ‘bantuan pendidikan’ bagi siswa yang gagal masuk sekolah negeri dan harus ke swasta. Padahal, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan UUD 1945, negara wajib membiayai penuh pendidikan dasar, bukan sekadar memberikan bantuan parsial.

“Kalimat ‘dapat memberikan bantuan’ dalam Pasal 51 SPMB 2025 menunjukkan lemahnya komitmen politik pemerintah,” tegas Ubaid. Ia mengingatkan bahwa bantuan bersifat opsional, sementara kewajiban negara bersifat mutlak.

Dengan berbagai persoalan ini, JPPI menyimpulkan bahwa SPMB 2025 belum sepenuhnya mencerminkan semangat ‘pendidikan untuk semua’. Untuk itu, pemerintah didesak segera melakukan pembenahan serius, agar semua anak – tanpa kecuali – bisa mendapatkan hak pendidikan yang adil, merata, dan bermutu.

657 kali dilihat, 658 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *