News  

Nelayan Muara Badak Minta Perlindungan Menteri, Kasus Pertamina Diselidiki

Beberapa nelayan melakukan protes ke Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) karena diduga melakukan pencemaran limbah di Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

apakabar.co.id, JAKARTA – Empat nelayan Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, meminta perlindungan hukum kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Hanif Faisol Nurofiq.

Hal itu terjadi setelah dipanggil polisi usai memprotes dugaan pencemaran limbah oleh PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS).

Nelayan atas nama Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre resmi meminta perlindungan hukum kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq.

Permohonan dikirim melalui Koalisi Peduli Nelayan Kerang Dara Muara Badak, didampingi lembaga Pusaka Kaltim.

“Kami mohon perlindungan dari segala bentuk kriminalisasi. Kami hanya menuntut hak atas lingkungan yang bersih dan sehat,” ujar Koordinator Koalisi, Mohammad Taufik, Rabu (2/7).

Permintaan perlindungan itu merujuk Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Anti-SLAPP, yang menegaskan bahwa masyarakat tidak bisa dipidana saat memperjuangkan hak atas lingkungan. Bahkan Permen tersebut melarang bentuk pembalasan seperti kriminalisasi dan intimidasi.

Masalah bermula dari kematian massal kerang darah (Anadara sp) pada Desember 2024 yang terjadi serentak di enam desa di Muara Badak. Lebih dari 299 petambak kerang mengalami gagal panen. Total kerugian ditaksir mencapai Rp69 miliar.

Warga menduga pencemaran berasal dari aktivitas pengeboran minyak oleh PHSS, satu-satunya operator migas di sekitar lokasi.

Dugaan menguat setelah tim dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman (FPIK Unmul) melakukan pengambilan sampel air, sedimen, plankton, dan jaringan kerang pada Januari 2025.

Hasilnya? Ada lonjakan bahan organik, lumpur yang mengganggu pernapasan kerang, serta indikasi infeksi bakteri dan parasit. Warga pun melayangkan protes lewat aksi unjuk rasa pada Januari dan Februari 2025 di depan kantor PHSS, Desa Gas Alam.

Namun, alih-alih mendapat jawaban, beberapa nelayan justru dipanggil polisi atas dugaan penghasutan dan memasuki area pengeboran tanpa izin.

Kapolres Bontang AKBP Alex Frestian Lumban Tobing menyatakan proses hukum masih berjalan. Meski pemeriksaan terhadap nelayan ditunda, kasus telah naik ke tahap penyidikan.

“Kami tidak bisa tergesa-gesa. Semua pihak akan dimintai keterangan. Kami menjunjung asas praduga tak bersalah,” kata Alex.

Ia mengakui bahwa peraturan terkait perlindungan pejuang lingkungan memang ada. Namun, menurutnya, penyidik tetap berpegang pada UU saat mengambil langkah hukum.

“Benar ada Permen Anti-SLAPP, tapi posisi kami di kepolisian tetap berdasarkan Undang-Undang. Semua akan kami pelajari,” ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian LHK melalui Menteri Hanif telah memerintahkan Deputi Penegakan Hukum KLHK, Irjen Pol Rizal Irawan, untuk berkoordinasi dengan kepolisian terkait kasus ini.

KLHK juga menyatakan akan menjatuhkan sanksi kepada perusahaan jika terbukti mencemari lingkungan.

Namun hingga berita ini diturunkan, pihak PHSS belum memberikan tanggapan. Pesan yang dikirim ke Manager Comrel & CID PHSS, Dony Indrawan, belum dijawab.

Sementara itu, Yusuf, salah satu nelayan yang dipanggil polisi, mengaku tertekan. “Kami masyarakat kecil yang dirugikan, tapi justru dicari-cari kesalahannya. Ini tidak manusiawi,” ungkapnya.

 

6 kali dilihat, 6 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *