Megawati, Politik tanpa Buzzer

Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Foto: Dok. PDIP

Oleh: Didik J. Rachbini*

Ada teori ekonomi politik, yang dapat menggambarkan kerusakan lingkungan sosial politik dan kehancuran ekosistem kita dalam berdemokrasi, yaitu teori “Tragedy of the common”. Jika ruang publik, yang bersifat fisik atau common property, dikonsumsi atau dipakai secara tidak terbatas, maka ruang publik tersebut akan rusak dan hancur.

Seperti ruang publik kita yang bersifat fisik (tangible) mengalami kerusakan karena banyak penduduk yang masuk memakai, memanfaatkannya secara berlebihan, sembarangan dan tidak ada aturan untuk menjanganya. Itu terlihat gamblang, seperti ruang publik perairan, pantai terbuka, ruang udara, padang rumput, dan sebagainya.

Di dalam ruang publik yang bersifat (intagible) pada saat ini mengalami degradasi akibat perkembangan informasi yang sangat cepat. Arus informasi yang super cepat masuk ke dalam sistem politik dan demokrasi mengakibatkan sistem demokrasi mengalami kelelahan yang hebat dan kerusakan yang kritis.

Fungsi check and balances menjadi rusak dan artificial karena aspirasi tidak lagi datang dari hati nurani, tetapi dibuat oleh mesin bot yang diciptakan gerombolan buzzer politik.

Baca juga: Kritik di Balik Kenaikan PBB-P2 di Pati 250 Persen

Pada masa pemerintahan Jokowi tatanan demokrasi rusak parah karena negara dipakai untuk kepentingan politik yang sempit. Relawan dan buzzer dihidupkan sebagai pemain gelap di luar sistem demokrasi formal (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Itulah sebabnya Megawati beberapa hari lalu meminta Prabowo untuk tidak memelihara buzzer dan relawan yang menimbulkan perpecahan.

“Saya sudah bilang melalui seseorang supaya Pak Prabowo membuang itu namanya buzzer-buzzer yang hanya membuat yang namanya perpecahan di antara kita sendiri, belum tentu faktanya aja,” demikian kata Megawati.

Ruang publik di dalam sistem sosial politik dan demokrasi kita menghadapi bencana karena tidak ada aturan dalam memakainya, tidak ada regulasi, yang membatasi tetapi mobilisasi arus informasi berlebihan dari mesin-mesin AI pencipta informasi. Seperti lapangan rumput hanya seluas lapangan bola dipakai sebagai padang gembala berlebihan, maka padang rumput tersebut akan rusak.

Perairan Laut Jawa sekarang sudah rusak karena eksploitasi berlebihan tanpa aturan main yang menjamin kesinambungannya. Demikian juga ruang demokrasi kita, yang sejatinya untuk menampung partisipasi warganya secara beradab kini digantikan mesin-mesin AI yang bahkan memasukkan informasi kebencian, seperti buzzer-buzzer dari para pelaku demokrasi.

Ruang publik, ekosistem demokrasi mengalami kehancuran karena badai dan banjir informasi. Secara kolektif negara dan rakyatnya serta kita semua tidak pernah mencoba mengantisipasinya dengan norma bersama dan aturan kolektif bersama. Ruang publik sekarang yang dijejali sosial media akan menyebabkan kerusakan tatanan sosial, yang sejatinya dan sudah lama berfungsi mengharmoniskan kehidupan manusia.

Baca juga: Di Balik Angka 5,12 Persen: Krisis Kredibilitas Statistik Nasional

Revolusi teknologi komunikasi membawa dampak sangat luas terhadap kehidupan manusia, kehidupan individu, sosial maupun bernegara. Tantangan sosial yang dulu dibatasi oleh norma-norma, pakem dan aturan sekarang dapat dengan mudah diterobos dan diintervensi oleh teknologi komunikasi ini dengan muatan-muatan baru, yang memperkuat maupun yang melemahkan, yang sesuai maupun yang bertentangan, serta yang memperbaiki maupun yang merusak.

Selama 10 tahun ini, teknologi AI ini secara sengaja dan sistematis dipakai oleh negara untuk kepentingan politik yang sempit untuk membungkam demokrasi melalui buzzer-buzzer dan relawan.

Media sosial yang dipakai secara liar dan tanpa aturan oleh negara adalah bencana bagi kehidupan politik. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi yang cepat tidak bisa dibiarkan melenggang tanpa norma, aturan main dan regulasi yang tepat menimbulkan degradasi demokrasi seperti telah terjadi satu dekade terakhir ini. Karena itu, anjuran Megawati sebagai politisi senior perlu diindahkan agar tidak ada lagi buzzer yang merusak demokrasi.

*) Rektor Universitas Paramadina

14 kali dilihat, 15 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *