Jaga Stabilitas Fiskal dengan Pendanaan Energi Bersih

Jaga Stabilitas Fiskal dengan Pendanaan Energi Bersih

Ilustrasi energi baru terbarukan untuk mendukung transisi energi. Foto: Pixabay

apakabar.co.id, JAKARTA – Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah (CERAH) Dwi Wulan menilai penguatan porsi pendanaan untuk energi bersih diharapkan mampu berdampak pada stabilitas fiskal hingga menuju misi ketahanan energi nasional.

“Dengan memperkuat porsi pendanaan untuk energi bersih, pembangunan ekonomi melalui industrialisasi bisa didukung secara stabil dan berbiaya kompetitif, sehingga Indonesia bukan hanya menjaga stabilitas fiskal, tapi juga membangun ketahanan energi dan mempertegas komitmen iklim nasional,” kata Dwi dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Sabtu (13/9).

Adapun hal ini mengacu pada langkah pemerintah yang diinisiasi oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk mengalihkan dana kas negara sebesar Rp200 triliun yang selama ini disimpan di Bank Indonesia ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Baca juga: DPR: Pendanaan Hijau Perkuat Komitmen Transisi Energi RI

Dwi mengatakan, berdasarkan laporan “#BersihkanBankmu-Mendanai Krisis Iklim: Bagaimana Perbankan di Indonesia Mendukung Pembiayaan Batu Bara”, peningkatan pendanaan ke batu bara yang cukup signifikan pada 2021-2024 oleh Himbara.

Tercatat, lima bank domestik Indonesia termasuk Mandiri, BRI, BNI mengucurkan pinjaman hingga 5,6 miliar dolar Amerika Serikat (AS) kepada perusahaan batu bara terbesar di Indonesia.

Oleh karena itu, Dwi menilai, aliran dana dari langkah baru pemerintah ini perlu dipastikan tidak dikucurkan besar-besaran ke proyek energi fosil untuk menghindari menjadi batu sandungan transisi energi dan risiko kredit macet bagi perbankan.

Baca juga: Otorita dan Singapura Kolaborasi Kembangkan Energi Hijau di IKN

Lebih lanjut, ia menyatakan pemanfaatan kas tersebut juga perlu diarahkan untuk proyek-proyek berkelanjutan, yakni energi terbarukan.

Apalagi, dari potensi energi terbarukan Indonesia yang menyentuh 3.687 gigawatt (GW), pemanfaatannya baru sekitar 13 GW atau kurang dari 1 persen.

Dwi memproyeksikan, proses industrialisasi termasuk hilirisasi nikel, tembaga, dan bauksit, membutuhkan tambahan energi listrik hingga 50-60 GW pada 2040. Jika kebutuhan tersebut masih bergantung pada energi fosil, risiko stranded asset sangat besar.

Baca juga: ESDM Siapkan Direktorat Baru, Percepat Transisi Energi

Karena itu, Dwi menyarankan pemerintah dan Himbara perlu mengadopsi dan penguatan kerangka Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (Environmental, Social, Governance/ESG) sebagai panduan penyaluran dana.

“Prinsip ini memastikan arus pembiayaan tidak menyuburkan sektor fosil, melainkan mendorong transformasi menuju ekonomi hijau yang lebih resilien, inklusif, dan berkeadilan,” ujar Dwi.

“Dengan memperkuat instrumen ESG, Indonesia dapat menunjukkan kepemimpinan dalam mengarahkan kebijakan fiskal dan moneter yang selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan,” katanya pula.

17 kali dilihat, 17 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *