apakabar.co.id, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah untuk meningkatkan gizi anak sekolah kini menuai sorotan. Setidaknya ada dua kasus yang viral di media sosial, yaitu di SDN 17 Napo, Polewali Mandar, dan MTs Negeri 2 Brebes.
Kedua kasus itu mengungkap adanya surat pernyataan bermasalah yang harus ditandatangani orang tua. Surat tersebut berisi pernyataan bahwa mereka tidak akan menuntut jika anak sakit atau keracunan akibat makanan MBG, bahkan dilarang membicarakan kasus tersebut ke pihak luar, termasuk media.
Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), menyebut praktik ini sebagai bukti adanya masalah serius dalam program MBG. “Mekanisme program keliru, tidak transparan, penuh konflik kepentingan, dan berpotensi melanggar hak anak,” tegasnya.
JPPI menduga, surat pernyataan tidak hanya terjadi di dua sekolah tersebut, melainkan sudah tersebar di banyak sekolah dan madrasah. Namun, karena ada larangan untuk menceritakan kasus ke publik, masalah ini sulit terungkap.
Ubaid menilai fenomena tersebut bisa menjadi skandal besar karena negara seakan melepaskan tanggung jawab. Anak-anak dijadikan korban, sementara sekolah dan orang tua dipaksa menanggung risiko.
“Negara seperti berkata: kalau anakmu keracunan, itu risiko sendiri. Ini pelecehan terhadap hak anak dan orang tua,” tambahnya.
Sejauh ini ada beberapa masalah utama dalam program MBG. Pertama, sekolah dan madrasah dijadikan tameng. Pemerintah pusat melalui Badan Gizi Nasional (BGN) hanya membuat program di atas kertas, sementara risiko ditanggung sekolah dan orang tua.
Kedua, pengawasan pemerintah daerah lemah sehingga standar keamanan pangan tidak terjamin. Ketiga, kualitas makanan yang diberikan jauh dari standar gizi, porsi kecil, dan kualitas bahan rendah.
Keempat, BGN pusat gagal menjamin akuntabilitas dan justru membiarkan klausul yang menutup-nutupi kasus keracunan. Terakhir, hak anak terancam karena mereka dijadikan objek eksperimen kebijakan tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Karena itu, JPPI menuntut pemerintah mencabut semua surat pernyataan bermasalah, memperkuat pengawasan oleh Pemda, BPOM, dan Dinas Kesehatan, serta melibatkan masyarakat sipil dalam pengawasan distribusi makanan.
Selain itu, BGN pusat diminta bertanggung jawab penuh atas mutu dan keamanan makanan. Semua kasus keracunan harus diumumkan ke publik, bukan ditutup-tutupi.
“Jika pemerintah serius, MBG harus dievaluasi total agar benar-benar meningkatkan gizi anak, bukan sekadar proyek politik,” pungkas Ubaid. Program ini seharusnya menjadi perlindungan, bukan ancaman bagi anak-anak Indonesia.