apakabar.co.id, JAKARTA – Gelombang penolakan terhadap aktivitas pertambangan PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN) di wilayah Likupang, Minahasa Utara, mencapai puncaknya.
Minggu (14/9), bertempat di Desa Likupang Kampung Ambong, masyarakat dari berbagai elemen desa mendeklarasikan Gerakan Likupang Bersatu (GLB). Deklarasi ini menjadi simbol perlawanan terhadap aktivitas ekstraktif yang dinilai merusak wilayah adat Tonsea Likupang.
Melki Kaweke, warga Likupang Satu, menegaskan bahwa gerakan ini merupakan bentuk pembelaan terhadap tanah, air, dan kebudayaan sebagai warisan leluhur. Menurutnya, wilayah Likupang merupakan tanah adat yang selama ini dijaga masyarakat sebagai sumber penghidupan dan identitas kultural.
“Sejak awal kami sudah meminta agar perusahaan menghentikan aktivitasnya. Sungai Marawuwung yang selama ini menjadi sumber air bersih kini keruh,” ujarnya.
Melki mengaku masyarakat terasa terancam, baik sekarang maupun di masa depan. “Pemerintah seharusnya bekerja sama dengan masyarakat untuk mengatasi masalah ini, bahkan jika perlu menutup perusahaan,” tegas Melki, yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan bergantung pada air sungai untuk mengairi sawah.
Masyarakat mencatat sejumlah sungai, seperti Marawuwung, Araren, dan Rarandam, menunjukkan tanda-tanda pencemaran. Air menjadi keruh, biota sungai menghilang, dan warga mengalami gangguan kesehatan. Kondisi ini membuat sumber air bersih tak lagi aman untuk dikonsumsi. Selain merusak ekologi, tambang juga mengancam tatanan sosial dan budaya masyarakat adat Tonsea.
Ali Bakari, warga Likupang Kampung Ambong, menambahkan bahwa perlawanan terhadap perusahaan harus dilakukan secara kolektif. “Dulu kami bergerak sendiri-sendiri. Sekarang kami sepakat untuk menyatukan visi dan misi melalui Gerakan Likupang Bersatu. Ini peringatan bagi pemerintah daerah dan pusat untuk berpihak kepada rakyat,” paparnya.
Saat ini, terang Ali, kerusakan terumbu karang sudah merugikan nelayan. Bahkan ternak mereka banyak yang mati karena aktivitas tambang di sekitar Sungai Marawuwung.
Kepala Biro Advokasi AMAN Sulawesi Utara, Gabriel Watugigir, menegaskan dukungannya terhadap perjuangan masyarakat adat. Itu karena tanah, hutan, laut, dan sungai adalah satu kesatuan yang tak ternilai bagi masyarakat adat. Kerusakan akibat tambang bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga ancaman terhadap identitas dan keberlanjutan hidup masyarakat.
“Negara seharusnya melindungi hak masyarakat adat, bukan memberi karpet merah bagi investasi yang merampas ruang hidup rakyat. Kehilangan akses terhadap tanah, air, dan laut sama saja dengan pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Gabriel.
Deklarasi GLB diakhiri dengan pembacaan pernyataan sikap bersama. Masyarakat menyampaikan tuntutan kepada pemerintah daerah, provinsi, dan pusat, antara lain mencabut izin pertambangan PT MSM/TTN, menghentikan penerbitan izin baru di wilayah adat, menjamin hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam, menegakkan hukum lingkungan, serta mengakui wilayah adat Tonsea Likupang sebagai ruang hidup yang sah.
Selain itu, GLB juga menuntut perusahaan tambang untuk menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di hulu Sungai Marawuwung, memulihkan lingkungan yang rusak, memberikan ganti rugi yang layak, menghentikan intimidasi terhadap warga, serta bertanggung jawab secara hukum atas kerusakan ekologi dan sosial yang terjadi.
Gerakan ini menjadi momentum persatuan masyarakat adat dan lokal untuk memperjuangkan hak hidup mereka. Deklarasi GLB diharapkan menjadi sinyal kuat bagi pemerintah dan perusahaan bahwa rakyat Likupang siap berdiri bersama mempertahankan tanah, air, dan masa depan generasi mendatang.