apakabar.co.id, JAKARTA – Dalam beberapa waktu terakhir China mengalami krisis properti. Kondisi tersebut membuat sejumlah properti milik investor dalam kondisi tidak laku.
Direktur Riset Makroekonomi CORE Indonesia Akbar Susamto menerangkan kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan permintaan baja di China. Di sisi lain, sebagian sektor ekonomi terhenti karena laju pertumbuhan ekonomi yang tidak maksimal.
“Meskipun sudah lebih tinggi dari situasi sebelumnya. Tapi belum situasi normal. Kita tahu dulu China pernah laju pertumbuhan ekonomi 8-9 persen. Saat ini masih menyentuh 5,3 persen di triwulan 2024,” katanya dalam diskusi Tantangan Ekonomi di Tengah Transisi Pemerintahan yang dipantau secara virtual di Jakarta, Kamis (25/4).
Rendahnya permintaan baja akibatnya krisis properti di China, kata Akbar, juga berimbas pada nilai ekspor bahan baja dari Indonesi ke China.
Akibatnya, kelebihan baja yang tidak laku dari produsen baja di China kemudian mengalihkan penjualan baja ke pasar internasional. Situasi tersebut akan memicu turunnya harga baja dari China.
“Ketika harga suatu barang meningkat maka suplainya akan meningkat. Sebaliknya kalau harga turun maka suplainya menurun. Itulah yang terjadi,” paparnya.