Ekonom Sarankan Pemerintah Percepat Negosiasi dengan AS

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan keterangan persnya kepada awak media di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat, 6 Desember 2024. Foto: BPMI Setpres

apakabar.co.id, JAKARTA – Ekonom sekaligus dosen Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat (Sumbar), Endrizal Ridwan menyarankan agar pemerintah RI segera melakukan negosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) menyikapi tarif timbal balik (reciprocal tariff).

Endrizal sepakat dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan akan membuka jalur negosiasi dengan AS. Termasuk memperkuat koordinasi dengan negara-negara anggota ASEAN.

“Langkah Presiden sudah tepat, tapi harus disegerakan. Negara lain seperti Vietnam sudah bergerak cepat. Kita harus jadi pionir, bukan pengekor,” katanya dikutip, Rabu (9/4).

Kebijakan baru Presiden AS Donald Trump yang menetapkan tarif timbal balik (reciprocal tariff) terhadap negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia, dinilai berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional.

Baca juga: Menkeu Siapkan Deregulasi Pajak Hadapi Tarif Trump

Kebijakan yang berlaku mulai 9 April 2025 tersebut akan berdampak pada produk asal Indonesia dikenai bea masuk sebesar 32 persen, lebih tinggi dari Malaysia 24 persen dan Filipina 17 persen.

Menurutnya, Indonesia bersama negara lain yang dikenai tarif resiprokal akan berdampak besar. Apalagi AS merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia. Tahun 2024, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar sekitar 16,8 miliar dolar AS dari nilai ekspor 26,3 miliar dolar AS.

Kebijakan Trump dinilai bisa memukul kedua belah pihak. Sebab, konsumen AS harus membayar harga lebih mahal yang bisa menurunkan permintaan termasuk terhadap produk Indonesia.

Di tingkat regional, Endrizal menilai Indonesia akan terdampak dalam kategori moderat. Untuk komoditas pakaian dan sepatu yang merupakan ekspor utama Indonesia, posisi Indonesia sedikit lebih kompetitif dibandingkan Vietnam yang dikenakan tarif lebih tinggi.

Baca juga: Efek Tarif Trump, RI Segera Lakukan Diplomasi dengan AS

Namun, untuk komoditas seperti karet dan turunannya, Indonesia berpotensi kalah bersaing dengan Malaysia yang dikenai tarif lebih rendah. Artinya, semua negara dirugikan dengan tingkat yang berbeda-beda.

Meskipun demikian, ia melihat terdapat peluang strategis dalam pergeseran pendekatan ekonomi AS dari multilateral ke bilateral. Hal itu bisa terwujud apabila Indonesia segera bernegosiasi secara langsung dengan Presiden Trump.

Lebih lanjut, Endrizal menyebut sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan UMKM merupakan sektor yang paling rentan. Penurunan ekspor bisa memicu pemutusan hubungan kerja dan melemahkan daya beli.

“Yang perlu diselamatkan bukan hanya perusahaannya, tetapi manusianya. Pemerintah perlu fokus pada bantuan langsung tunai bagi pekerja terdampak,” pungkasnya.

Perlu Strategi Campuran

Akademisi Universitas Gajah Mada Yogyakarta Muhammad Edhie Purnawan menilai Pemerintah Indonesia perlu menerapkan strategi campuran antara diplomasi ekonomi, diversifikasi, dan dukungan domestik dalam menghadapi tarif impor 32 persen dari Amerika Serikat.

Edhie menerangkan Indonesia perlu memilih jalur diplomatik, menghindari retaliasi, dengan revitalisasi TIFA untuk membahas hambatan perdagangan (konsisten dengan pernyataan Presiden Prabowo saat panen padi di Majalengka, 7 April 2025), dan presiden menekankan pentingnya hubungan baik yang setara.

“Indonesia wajib mempersiapkan diri secermat mungkin, terutama melalui Bank Indonesia, untuk mengendalikan volatilitas mata uang dan mencari cara untuk menyelaraskan kepentingan bersama Indonesia-AS, seperti penyediaan bahan baku atau investasi, dan dalam rangka konsesi tarif dan menyelamatkan porsi perekonomian yang lebih besar,” katanya.

Baca juga: Mimpi Trump: Fair Trade atau Fear Trade?

Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM ini menilai deregulasi non-tariff measures (NTMs), seperti relaksasi persyaratan kandungan lokal untuk perusahaan ICT AS (GE, Apple, Oracle, Microsoft) berpotensi untuk menawarkan insentif fiskal seperti pemotongan bea masuk, pajak penghasilan, dan PPN, menjadi insentif bagi perusahaan-perusahaan AS.

Diversifikasi pasar ekspor ke ASEAN, Eropa, Timur Tengah, dan bergabung dalam CPTPP atau BRICS, mengurangi ketergantungan pada AS, sesuai strategi exit option dalam game theory. Kolaborasi dengan Malaysia sebagai ketua ASEAN 2025 untuk respons kolektif terhadap tantangan perdagangan global harapan besar dalam pendekatan multilateral.

“Dukungan ke industri terdampak melalui insentif pajak dan pelatihan ulang, serta stimulus fiskal untuk dorong konsumsi dalam negeri, stabilkan ekonomi domestik,” katanya.

Baca juga: Proteksionisme Trump Mengancam Stabilitas Ekonomi Global

Lebih lanjut, Muhammad Edhie Purnawan mengatakan, dengan pasar global unstable, Pemerintah Indonesia harus berkoordinasi dengan negara-negara lain, seperti dalam ASEAN, untuk respons kolektif dan mencari alternatif kerja sama ekonomi, mengingat penurunan indeks pasar global seperti FTSE 100 dan Nikkei 225.

Negara-negara dunia sebaiknya fokus pada peningkatan perdagangan di antara mereka, terutama di sektor layanan, yang relevan bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor barang ke AS.

“Indonesia dapat memanfaatkan peluang ini dengan memperkuat sektor digital dan layanan, yang kurang terkena dampak tarif AS, dan mencari perjanjian dagang baru seperti CPTPP untuk memperluas akses pasar,” katanya.

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *