EKBIS
Ekspor Biomassa RI Tersendat, APREBI Soroti Kampanye Hitam dan Standar Ganda Negara Maju
apakabar.co.id, JAKARTA - Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI) menyoroti indikasi kampanye hitam (black campaign) terhadap produk wood pellet asal Indonesia yang dituding sebagai penyebab deforestasi. Isu tersebut dikhawatirkan menghambat pasar ekspor, terutama ke Jepang, dan mengganggu pengembangan industri biomassa nasional.
Sekretaris Jenderal APREBI, Dikki Akhmar, mengungkapkan adanya tekanan dari sejumlah organisasi lingkungan (NGO) yang mendesak Jepang agar menghentikan impor wood pellet dari Indonesia. Kampanye ini bahkan disebut sudah sampai ke pembeli (buyer) dan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI).
“Mereka datang ke Jepang menemui buyer dan METI, mendesak agar impor biomassa dari Indonesia dihentikan dengan alasan deforestasi. Ini sudah mengarah pada intimidasi,” ujar Dikki dalam focus group discussion di Gedung Kementerian Kehutanan, Rabu (5/11/2025).
Menurut Dikki, tudingan tersebut tidak berdasar karena wood pellet Indonesia telah memenuhi standar Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan diproduksi dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan. Ia meminta pemerintah memperkuat diplomasi agar Jepang tetap mengakui sertifikasi nasional seperti SVLK dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
“Kalau sudah diterima, pengembangan industri biomassa ini akan lebih cepat. Kami tidak ingin Indonesia didiskriminasi sementara negara maju bicara soal energi hijau tapi menolak produk hijau dari negara berkembang,” tegasnya.
APREBI mencatat, Jepang menjadi pasar utama ekspor wood pellet Indonesia dengan porsi sekitar 80%, disusul Korea Selatan. Namun, tekanan sertifikasi asing seperti Green Gold Label (GGL) dan MSPO (Malaysia Sustainable Palm Oil) membuat eksportir lokal harus menyesuaikan diri agar produk diterima. Dampaknya, harga jual biomassa Indonesia turun hingga US$100 per ton.
Nilai ekspor wood pellet Indonesia tercatat melonjak dari US$14,74 juta pada 2023 menjadi US$40,3 juta pada 2024, dengan produksi meningkat dari 103.356 m³ (2020) menjadi 333.971 m³ (2024). Saat ini terdapat 35 industri dengan kapasitas total mencapai 3,18 juta m³ per tahun.
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan, Erwan Sudaryanto, menegaskan bahwa pemerintah sudah menerapkan pengawasan ketat dari hulu ke hilir melalui SVLK.
“SVLK wajib dipenuhi karena menjamin legalitas, keberlanjutan, dan kepastian berusaha,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Milton Pakpahan, menekankan perlunya kepastian kebijakan dan kontrak jangka panjang agar investasi biomassa lebih menarik.
“Kita perlu menegaskan bahwa Hutan Tanaman untuk Energi (HTE) bukan pendorong deforestasi. Justru menjadi solusi energi terbarukan,” ujarnya.
APREBI menilai tekanan dan kampanye hitam semacam ini mencerminkan adanya standar ganda dalam perdagangan hijau. Negara maju mendorong penggunaan energi bersih, namun justru menolak pasokan energi hijau dari negara berkembang.
“Kenapa green energy kami dilarang, sementara jutaan mobil Jepang beremisi karbon bebas masuk ke Indonesia? Kalau bicara emisi, siapa sebenarnya yang merusak lingkungan?” sindir Dikki.
Editor:
ANDREY MICKO
ANDREY MICKO