apakabar.co.id, JAKARTA – Nilai tukar rupiah kembali melemah cukup tajam pada pembukaan perdagangan hari Senin (7/4) pagi di Jakarta. Rupiah turun sebesar 251 poin atau 1,51 persen, dari sebelumnya Rp16.653 menjadi Rp16.904 per dolar Amerika Serikat (AS).
Pelemahan ini tentu menjadi perhatian banyak pihak, terutama pelaku pasar dan masyarakat yang berkaitan langsung dengan aktivitas perdagangan internasional.
Menurut pengamat pasar uang yang juga Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, ada beberapa faktor utama yang memengaruhi pelemahan rupiah kali ini. Faktor utama yang menyebabkan rupiah melemah adalah pengumuman kebijakan tarif resiprokal dari pemerintah Amerika Serikat.
Kebijakan ini dianggap memicu sentimen negatif di pasar global, terutama karena negara-negara yang terdampak kebijakan tersebut memberikan respons yang juga negatif.
“Sentimen negatif dari pengumuman kebijakan tarif Trump yang direspons negatif oleh negara-negara yang dinaikkan tarifnya menjadi pemicu utama pelemahan rupiah,” ujar Ariston dikutip ANTARA di Jakarta, Senin (7/4).
Pasar khawatir kebijakan tersebut akan memperburuk kondisi perekonomian global. Kekhawatiran ini memicu pelaku pasar untuk menarik dananya dari aset berisiko, termasuk mata uang negara berkembang seperti rupiah. “Mereka lebih memilih mengamankan dana di aset yang dianggap lebih stabil, seperti dolar AS dan emas,” ujarnya.
Selain faktor kebijakan tarif, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh rilis data tenaga kerja Amerika Serikat, khususnya data nonfarm payrolls, yang hasilnya lebih baik dari proyeksi sebelumnya.
Data ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di AS masih cukup kuat, sehingga meningkatkan ekspektasi bahwa Bank Sentral AS (The Fed) akan tetap mempertahankan suku bunga tinggi dalam waktu lebih lama.
“Hal ini membuat dolar AS semakin menarik bagi investor, sehingga permintaan terhadap mata uang ini meningkat, sementara rupiah justru tertekan,” katanya.
Faktor lain yang turut menambah tekanan terhadap rupiah adalah kondisi geopolitik dunia yang masih memanas. Ariston menyebutkan bahwa perang di beberapa wilayah, terutama di Timur Tengah dan Eropa Timur, turut memicu ketidakpastian global.
“Perang di Timur Tengah, di mana Israel meningkatkan serangan di Jalur Gaza dan AS menyerang Yaman, serta perang di Ukraina yang belakangan ini juga meningkat tensinya, menjadi tambahan sentimen negatif,” jelasnya.
Situasi ini membuat investor semakin menghindari risiko dan menahan diri untuk berinvestasi di pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Belum ada intervensi
Pelemahan rupiah kali ini juga tidak mendapat dukungan dari operasi moneter yang biasanya dilakukan oleh Bank Indonesia. Pada hari ini, operasi moneter rupiah dan valuta asing masih libur, sehingga tidak ada intervensi langsung dari otoritas moneter untuk menahan pelemahan rupiah.
Namun, Ariston menyebut masih ada peluang pemulihan jika terjadi perubahan sikap dari pemerintah AS dalam negosiasi dagang.
“Kita masih menunggu respons pasar terhadap hasil negosiasi. Bisa saja Trump melunak, dan ini akan menjadi sentimen positif bagi harga aset berisiko,” paparnya.
Pelemahan rupiah kali ini bukan terjadi tanpa sebab. Kombinasi dari kebijakan ekonomi AS, data ketenagakerjaan yang kuat, konflik geopolitik, serta absennya intervensi moneter, menjadi faktor utama yang menekan mata uang rupiah.
Namun, harapan masih ada. Jika ketegangan global mereda dan AS mengambil langkah yang lebih moderat, rupiah berpotensi kembali menguat. Untuk saat ini, pelaku pasar dan masyarakat diimbau tetap waspada terhadap dinamika global yang terus berubah.