Aliansi Masyarakat Sipil Bali: Pulau Dewata Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Delegasi World Water Forum Ke-10 saat menyaksikan Bali Street Carnival di Badung, Bali, Senin (20/5/2024). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Aliansi Masyarakat Sipil Bali dalam siaran persnya, Selasa 21 Mei 2024, menjelaskan forum internasional World Water Forum (WWF) bertajuk Water for Shared Prosperity telah membawa permasalahan air melalui pendekatan ekonomi, yakni  komodifikasi, di mana uang menjadi kursnya.

Hal itu terlihat ketika para pengambil kebijakan membicarakan tentang permasalahan air yang sering kali dinilai sebagai emas masa depan, ternyata diperebutkan oleh banyak kepentingan.

Sementara di Bali yang merupakan lokasi WWF ke 10 sedang mengalami permasalahan air. Hal itu kontradiktif dengan slogan dan ritus tanpa makna semacam nangun sad kertih loka Bali atau pun tri hita karana karena kenyataannya air di Bali tidak sedang baik-baik saja.

Banyak penelitian menunjukkan air di Bali mengalami penurunan drastis, mengarah pada krisis air di masa depan. Selain itu, air menjadi medium ketidakadilan lingkungan di mana terdapat kesenjangan distribusi dan konsumsi air antara masyarakat lokal dengan wisatawan. Konsumsi satu kamar hotel ternyata setara dengan kebutuhan air 15 orang penduduk lokal.

“Artinya, di tengah keterbatasan air sebagai akibat dari krisis iklim dan pencemaran, kita dihadapkan pada pilihan apakah air akan diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dasar penduduk atau diarahkan untuk sekedar melayani kepuasan pengalaman wisatawan dalam berwisata,” ungkap aliansi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/5).

Ironisnya, ketika masyarakat Bali bersama masyarakat sipil lainnya sedang berdiskusi tentang isu air yang kian mengkhawatirkan, justru intimidasi, pembungkaman dan pembubaran paksa oleh organisasi massa (ormas) yang mereka hadapi. Tindakan ormas itu tampak didiamkan atau bahkan terkesan difasilitasi aparat negara.

Pembubaran forum diskusi merupakan bentuk tindakan yang semakin meneguhkan bahwa rezim saat ini cenderung anti-intelektual. “Dalam kondisi ini, seperti yang dilakukan sejak era kolonial, nalar kritis masyarakat Bali ditumpulkan dengan membuat kita sekedar bangga menjadi objek tontonan dalam industri pariwisata beserta turunannya, yakni industri Pertemuan, Konferensi dan Eksibisi (MICE),” ujarnya.

Bahkan pada pertemuan internasional yang sebenarnya berdampak pada kehidupan sehari-hari, salah satunya air, masyarakat tidak diberikan ruang untuk menyampaikan dan berkeluh kesah atas kekhawatiran tersebut. Forum mandiri bernama People’s Water Forum 2024 yang bertujuan sebagai ruang diskusi warga justru di-delegitimasi dengan tuduhan sebagai antek asing.

“Kalau kita tengok lebih dalam, sebenarnya yang justru antek asing adalah WWF yang mendatangkan pemodal internasional dan multinasional untuk bermain di sektor air yang merupakan kebutuhan dasar yang semakin diperebutkan di masa depan,” tulis siaran pers terebut.

Forum diskusi seharusnya tidak dilihat sebagai bentuk ekspresi hak atas kebebasan berpendapat namun juga merupakan bentuk pelaksanaan atas kewajiban dalam mempertahankan kehidupan. Itu karena air merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar dan tidak tergantikan. Mempertahankan air dan mewujudkan keadilan atas air merupakan tanggung jawab setiap orang.

Represi pada kegiatan People’s Water Forum 2024, menurut Aliansi Masyarakat Sipil Bali harus dilihat dalam konteks politik nasional. Pertama, represi dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo yang akan mengakhiri pemerintahannya pada akhir tahun ini.

“Sebagai perhelatan internasional terakhir, rezim Jokowi ingin memastikan perhelatan ini berjalan lancar dan tidak ada gangguan sehingga rezim dapat lengser dengan mulus,” tulis Aliansi Masyarakat Sipil Bali.

Kedua, represi ini menjadi peletakan pondasi bagi rezim berikutnya dalam merespons suara-suara yang dianggap sumbang oleh rezim. Apabila hal ini dibiarkan, represi akan menjadi norma di bawah rezim Prabowo-Gibran dan membawa Indonesia kembali pada otoritarianisme.

Oleh sebab itu, mencermati perkembangan di Bali, Aliansi Masyarakat Sipil Bali, menyatakan sikap mengutuk keras pembungkaman, intimidasi, kekerasan dan pembubaran yang dilakukan oleh pihak manapun atas pelaksanaan People’s Water Forum 2024.

Aliansi mengajak kaum terdidik di Bali untuk bangkit, bersikap tegas dan mengambil langkah di depan dalam membangun kesadaran kritis masyarakat Bali dalam melawan segala bentuk pembungkaman dan peminggiran hak masyarakat atas ruang hidup dan hak atas air.

Aliansi juga menyerukan masyarakat Bali harus berani bersuara untuk melawan pembodohan yang telah menyejarah ini dan berjuang untuk merebut ruang dan mempertahankan apa yang dimiliki dari upaya eksploitasi dan pencaplokan dari pihak mana pun.

Terakhir, aliansi mendorong masyarakat Bali untuk mengaktifkan kembali banjar dan forum-forum lokal sebagai medium pabligbagan tentang permasalahan air dan tanah, hak asasi manusia, dan pencaplokan ruang hidup di Bali.

“Oleh karena itu, mari bangkit dari romantisme Bali yang telah menidurkan kita atas kenyataan Bali sebenarnya. Saatnya bergerak bersama mempertahankan ruang hidup dan kehidupan di Bali,” tandasnya.

3,228 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *