Indonesia 80 Tahun: Merdeka dari Penjajah, Terjajah oleh Ketimpangan?

Foto ilustrasi kemiskinan. Foto: Antara

Oleh: Syafruddin Karimi*

Indonesia telah memasuki usia 80 tahun kemerdekaan. Sebuah capaian monumental yang menutup babak panjang penjajahan dan membuka ruang bagi demokrasi serta pembangunan ekonomi. Namun di balik kebanggaan itu, pertanyaan mendasar muncul: apakah bangsa ini sudah benar-benar merdeka, atau justru masih terbelenggu oleh ketimpangan dan ketidakadilan?

Kemerdekaan: Awal dari Tanggung Jawab

Proklamasi 1945 bukan garis akhir, melainkan pintu awal menuju tanggung jawab besar: menghadirkan keadilan, persatuan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Delapan puluh tahun setelahnya, tugas itu masih menyisakan pekerjaan rumah besar.

Indonesia berhasil menjaga persatuan dalam keragaman ribuan pulau dan ratusan etnis. Demokrasi tetap bertahan, meski penuh dinamika. Ekonomi tumbuh, infrastruktur berkembang, pendidikan semakin meluas, dan peran internasional kian kuat. Semua ini menandakan kemerdekaan telah membawa kemajuan nyata.

Ketimpangan: Penjajahan Gaya Baru

Di balik capaian itu, ketimpangan tetap menghantui. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), rasio Gini nasional pada Maret 2025 tercatat 0,375, turun dari 0,381 (September 2024) dan 0,379 (Maret 2024). Angka ini merupakan yang terendah sejak 2019.

Namun jika dilihat lebih dalam, ketimpangan perkotaan masih tinggi dengan Gini 0,395, sementara di perdesaan lebih rendah, 0,299. Bahkan secara provinsi, disparitas semakin tampak: DKI Jakarta mencatat 0,409, disusul DI Yogyakarta (0,401) dan Papua (0,399).

Baca juga: Spiritualisme Kemerdekaan

Sebaliknya, Bangka Belitung (0,286), Sulawesi Barat (0,296), dan Gorontalo (0,298) menjadi yang terendah. Data ini menunjukkan jurang yang nyata antarwilayah meski tren nasional membaik.

Ketimpangan ekonomi ini berkelindan dengan ketimpangan politik. Demokrasi sering kali dikuasai oleh segelintir elite, sementara suara rakyat tereduksi oleh dominasi uang. Inilah bentuk baru dari “penjajahan” yang menggerogoti kualitas kemerdekaan.

Momentum untuk Melompat Lebih Jauh

Usia 80 tahun harus dijadikan titik balik, bukan sekadar seremoni. Indonesia punya modal kuat: bonus demografi yang masih tersisa, transformasi digital, hilirisasi industri, energi terbarukan, dan posisi strategis di Asia Pasifik.

Namun peluang itu akan terbuang jika bangsa ini tidak berani melakukan reformasi mendasar. Tiga langkah krusial harus ditempuh. Pertama, memperkuat institusi agar demokrasi kembali menjadi alat rakyat, bukan permainan elite.

Kedua, membangun ekonomi berbasis inovasi dengan riset, teknologi, dan industrialisasi agar tidak terus terjebak pada komoditas mentah. Ketiga, memastikan pembangunan berkelanjutan, menyeimbangkan pertumbuhan dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial.

Penutup: Refleksi Kritis

Merayakan 80 tahun kemerdekaan tidak boleh berhenti pada parade dan pesta kembang api. Refleksi jauh lebih penting. Apa arti merdeka jika jutaan rakyat masih bekerja tanpa kepastian penghasilan? Apa arti berdaulat jika pangan dan energi tetap bergantung pada impor? Apa arti demokrasi jika kepercayaan rakyat terus terkikis oleh dominasi oligarki?

“Merdeka 80 tahun, tapi jurang ketimpangan masih menganga.” Tren nasional Rasio Gini memang turun ke 0,375 pada Maret 2025, level terendah dalam enam tahun terakhir.

Baca juga: Megawati, Politik tanpa Buzzer

Namun data provinsi menunjukkan kenyataan pahit: Jakarta, Yogyakarta, dan Papua menanggung ketimpangan tertinggi, sementara Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Gorontalo relatif lebih merata. Angka-angka ini menegaskan bahwa kemerdekaan politik belum sepenuhnya berbuah keadilan sosial.

Delapan dekade merdeka adalah bukti ketangguhan bangsa ini. Tantangan berikutnya adalah membebaskan diri dari penjajahan gaya baru: ketimpangan ekonomi, politik, dan sosial. Pertanyaannya kini jelas: apakah Indonesia hanya merdeka dari penjajah, atau juga benar-benar merdeka dari ketidakadilan?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah bangsa pada dekade mendatang—apakah kita mampu melompat lebih jauh, atau sekadar terjebak dalam perayaan tanpa makna.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas

11 kali dilihat, 11 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *