Kriminalisasi Menguat di Gede-Pangrango

Pemanggilan berulang tak ubahnya alat intimidasi. Kriminalisasi merupakan pendekatan yang kuno bagi Polri yang presisi.

Cece Jaelani ketika menjalani pemeriksaan pertama oleh Polsek Pacet, September 2024 silam. Kini Cece kembali mendapat panggilan dari kepolisian. Foto: LBH Bandung

apakabar.co.id, CIANJUR – Ancaman pidana ke warga Gede-Pangrango yang menolak geotermal kembali menguat. Cece Jaelani (30) salah satu petani penolak proyek strategis nasional (PSN) itu lagi-lagi mendapat panggilan polisi. Dua pakar yang media ini wawancarai melihatnya sebagai upaya kriminalisasi.

Sebenarnya, tak hanya Che -sapaan karib Che. Seorang warga lainnya bernama Soenarjo Sugiarto (60) juga tak luput dari panggilan kepolisian Pacet. Sejak tiga tahun terakhir keduanya bersama ribuan warga lainnya kukuh menolak proyek geotermal.

Belum lagi proyek ini dimulai, rencana geotermal di kaki Gunung Gede-Pangrango sudah dipandang hanya akan merampas ruang hidup dan kemandirian warga tani.

Warga geram dengan cara-cara sradak-sruduk bak kucing sumput PT Daya Mas Gede Pangrango anak usaha Sinarmas yang ditunjuk Kementerian ESDM menggarap proyek ini.

Catatan media ini setidaknya ada tiga pemicu utama penolakan. Pertama sosialisasi atau penjelasan ke warga yang tak pernah utuh.

Kedua cara-cara sosialisasi yang tertutup. Ketiga, intimidasi kepada warga dengan meminjam tangan aparat desa dan TNI untuk agar mau melepas lahan.

Demonstrasi demi demonstrasi terus dilakukan warga. Setelah aksi seribu warga menggeruduk DPRD Cianjur pada 2023, unjuk rasa juga menyasar aula kantor desa Cipendawa, 2 Agustus 2024.

Demonstrasi sebagai respons warga atas sosialisasi senyap terkait rencana pembukaan akses jalan geotermal di Cipendawa. Ketika itu, hanya warga pro-geotermal saja yang diundang. Sisanya, suara warga hanya diwakilkan oleh ketua RT/RW setempat.

Aksi demonstrasi warga justru dijawab dengan pemanggilan dari aparat kepolisian. Sebulan kemudian, bermodal rekaman suara seruan berdemo, polisi memanggil Che dan Aryo atas tuduhan penghasutan.

Tidak jelas siapa pelapor keduanya. 7 September memenuhi panggilan kepolisian, Che masih tak mengetahui siapa yang dirugikan atas demonstrasi di kantor desa Cipendawa itu. Penelusuran media ini, rupanya polisi bergerak lewat laporan model A alias atas inisiatif mereka sendiri.

Empat bulan berlalu, pemanggilan polisi terjadi lagi kepada Che dan Aryo. Sebuah surat pemanggilan dititipkan polisi berpangkat ajun inspektur dua kepada Aryo malam-malam pada Sabtu pekan kemarin (15/2).

“Saya kira persoalan ini sudah selesai karena hanya sebatas klarifikasi, ternyata tidak,” kata Aryo ditemui di kediamannya, Minggu (16/2).

Aryo makin terkejut. Sebab, tuduhan kepada dirinya dan Che bertambah. Sesuai surat bernomor 1.24/2025/Reskrim itu, penyidik menambahkan pasal 28 atas dugaan pelanggaran UU ITE nomor 1/2024. Padahal sebelumnya para petani ini hanya dituduh melanggar pasal 160 terkait penghasutan.

Polisi menuduh Che dan Aryo menghasut warga berbuat pidana. Dasarnya adalah rekaman suara alias voice note Che di aplikasi percakapan Whatsapp.

Che yang menemani Aryo menemui media ini mengakui bahwa suara yang ada dalam voice note itu benar dirinya. Namun ia membantah jika itu merupakan seruan untuk mengajak warga berbuat onar.

“Kata ‘rusuh’ kalau menurut kita orang Sunda itu ngarusuhken (bikin masalah). Ini bahasa yang dipakai sehari-hari,” jelas Che.

Yang membuat masalah, sambung Che, sebenarnya adalah pemerintah. Sebab, membuat sosialisasi mengenai dampak geotermal secara diam-diam.

“Jadi masyarakat berpikir bikin rusuh saja pemerintah ini (karena tanpa melibatkan masyarakat),” begitu kata Che.

Che mengakui memang ada aksi membawa sampah dan membakar ban di aula desa. Namun kata dia itu hanya reflek sebagai bentuk kekecewaan saja. Sampai akhir demonstrasi, ia memastikan juga tidak ada fasilitas kantor yang rusak. Apalagi sampai ada yang terluka.

“Kami hanya kecewa. Kenapa kami yang juga akan terdampak tidak dilibatkan,” kata Che.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso yang menyambangi langsung dan ikut mendengar kesaksian Cece, menduga kuat pemanggilan demi pemanggilan ini sebagai upaya kriminalisasi.

Mekanisme hukum, kata Sugeng, selama ini sudah jamak digunakan sebagai penyelesaian kepada warga yang menolak proyek pemerintah.

“Ini sudah menjadi semacam pola,” kata Sugeng pada Minggu malam (16/2) di kediaman Aryo.

Sugeng lantas teringat kasus Rempang. Di mana tak kurang 17 ribu ha lahan yang semula ditempati warga diberikan begitu saja oleh pemerintah kepada investor untuk menggarap proyek.

Nyaris serupa, aparat juga seperti menjadi alat peredam menghadapi suara kritis warga. Apalagi ketika target penyelesaian proyek perihal pembebasan lahan mendekati deadline. Kata Sugeng, polisi yang harusnya merangkul justru menjadi alat pemukul perlawanan warga.

“Penggunaan kekuatan polisi secara eksesif membawa dampak pelanggaran HAM,” kata Sugeng.

Polri yang sejatinya merupakan pengayom, dalam konteks PSN tak ubahnya menjadi alat yang ampuh untuk menekan warga. Di kasus Gede Pangrango Sugeng melihat potensi konflik agraria kian terbuka lebar jika pemerintah terus menutup mata dan telinga.

Kepada Polri, Sugeng pun meminta pemanggilan demi pemanggilan kepada warga dihentikan. Ia melihat kriminalisasi adalah pendekatan yang sudah kuno bagi Polri yang presisi. Jika ini terus dilakukan hanya akan semakin menggerus kepercayaan publik ke Polri.

“Warga jangan ditindas dengan mekanisme hukum. Itu bisa dikatakan bahwa aparat menjadi alat kriminalisasi,” jelasnya.

IPW pun mendesak Polda Jabar mengatensi dugaan kriminalisasi melalui laporan tipe a yang dibuat Polres Cianjur melalui Polsek Pacet. Sebab, apa yang dilakukan Che mengajak warga lainnya berunjuk rasa tidak perlu sampai ada akibat hukumnya.

“Setiap konflik agraria seperti ini harus direspons dengan musyawarah bukan dengan proses hukum,” jelas Sugeng.

Kepada Sugeng, Cece dan Aryo kembali menyampaikan sejumlah poin keresahan mereka. Jika proyek ini berjalan mereka kuatir lahan pertanian mereka akan berganti menjadi pertambangan uap panas. Lahan pertanian tentu menyusut sebab tak sembarangan orang nantinya bisa memasuki objek vital nasional. Tak hanya akan kehilangan lahan tinggal dan bertani, tentu saja banyak warga akan beralih profesi di luar keahlian.

“Lagian yang akan ditambang juga kawasan konservasi taman nasional yang seharusnya sama-sama kita jaga,” ujar Aryo.

Aryo masih heran mengapa niat pemerintah menguatkan ketahanan energi nasional justru merampas ruang hidup mereka.

Aryo yang ikut dipanggil polisi ini kemudian membantah bahwa penolakan geotermal sebenarnya hanya muncul dari segelintir warga saja. Ia menunjukkan sejumlah dokumen bukti penolakan warga yang dibubuhi paraf warga serta nomor induk kependudukan.

“Lihat saja, ada lebih dari 500 warga yang menolak geotermal,” jelasnya. “Ini baru di Cipendawa saja,” jelasnya.

Jumlah itu tentu lebih besar jika penggalangan dukungan di Sukatani selesai. Desa di kaki Gede-Pangrango ini mencapai 14 ribu jiwa. Mayoritas saat ini aktif menentang geotermal.

Sayur mayur dari desa inilah yang ikut menopang kebutuhan warga hingga DKI Jakarta dan sekitarnya. Sukatani juga dikenal sebagai surganya pendaki mengingat keberadaan ratusan basecamp atau jasa rumah pendakian di sini.

Kriminalisasi adalah upaya penindakan hukum pada seseorang secara unprosedural dan mengada-ada. Mempertahankan hak hidup tentu bukan perbuatan pidana apalagi kriminal.

Analis kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menilai seharusnya polisi tak usah terus menerus memanggil warga. Sebab penyelidikan juga dilakukan melalui mengumpulkan informasi di lapangan.

Alih-alih sebagai upaya melindungi, dan mengayomi masyarakat, panggilan demi panggilan justru hanya akan dilihat sebagai alat intimidasi oleh publik. “Dalam kasus-kasus sosial, harusnya kepolisian juga menggunakan informasi dari Intelkam Polri. Entah kalau Intelkam juga tak mampu memberikan informasi yang objektif,” jelas Rukminto dihubungi terpisah, Senin (17/2).

Rukminto melihat apa yang terjadi pada Cece dan Aryo lebih pada upaya intimidasi pada warga. Penyelidikan terkait pasal UU ITE terlalu rumit untuk dilakukan selevel Polsek.

“Harus ada saksi-saksi ahli terkait ITE sebelum menaikan menjadi penyidikan,” jelasnya.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung melihat upaya pemanggilan Che juga sebagai upaya kriminalisasi. Ini bertentangan dengan Pasal 66 UU nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal ini juga yang mengatur ketentuan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (anti-SLAPP).

LBH pun meminta Polsek Pacet dan Polres Cianjur harus menghentikan segala upaya kriminalisasi kepada warga penolak geotermal.

Sugeng Teguh Santoso ketika mendengar langsung cerita Cece Jaelani. apakabar.co.id/Fariz

Media ini sudah tiga kali mendatangi Polsek Pacet. Dua kali, kapolsek tidak berada di tempat. Dan yang ketiga, Kompol Hima yang tengah di ruangan, tak meladeni permohonan wawancara media ini. Juga sudah berkali-kali menghubungi kontak yang terhubung dengan Kapolres Cianjur, AKBP Rochman Yonky. Teranyar, nomor penyidik yang tertera di surat pemanggilan juga sudah dihubungi. Sama sekali tak ada respons.

Tak hanya kriminalisasi, penelusuran media ini menemukan sejumlah petani mendapat intimidasi dari aparat TNI dan seseorang yang dikenal warga sebagai wartawan agar mau melepaskan lahan mereka.

Media ini sudah mendatangi dan mengirimkan surat permohonan wawancara kepada PT Daya Mas Geopatra Gede-Pangrango, kepolisian hingga Mabes TNI Angkatan Darat. Tak ada respons sampai berita ini tayang.

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Kabarin Lah! (@kabarinlahh)

Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2024 sejatinya sudah memandatkan perlindungan warga yang mempertahankan ruang dan lingkungan hidupnya dari ancaman kerusakan. Permen satu ini merupakan turunan dari Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

apakabar.co.id kemudian mengontak Deputi Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan, Irjen (Pol) Rizal Irawan. Mantan direktur reserse kriminal khusus Polda Kalsel ini lalu merespons dan berterima kasih atas informasi yang diberikan terkait adanya dugaan kriminalisasi yang dilakukan polisi kepada warga Gede-Pangrango. Namun ia tidak merespons lebih jauh.

Sebagai pengingat, pemerintah berencana menggarap potensi panas bumi sebagai energi pembangkit listrik terbarukan di Gede-Pangrango. Direncanakan sejak tiga tahun lalu, proyek ini berjalan di luar target pemerintah. Gelombang penolakan terus mengalir.

180 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Fahriadi Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *