apakabar.co.id, JAKARTA – Kelompok Masyarakat Sipil menggelar aksi simbolik menolak promosi dan implementasi Carbon Capture, and Storage/Carbon Capture, Utilisation and Storage (CCS/CCUS) di depan pintu masuk Jakarta Convention Centre, tempat pelaksanaan The International and Indonesia CCS Forum 2024.
Kelompok Masyarakat Sipil terdiri dari WALHI, JATAM, 350 Indonesia, dan Oil Change International menilai CCS/CCUS yang selalu dipromosikan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca ternyata gagal memenuhi ekspektasi, serta memberi dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan komunitas.
Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur WALHI Dwi Sawung mengungkapkan proyek CCS/CCUS memiliki sejarah kelam yang mengakibatkan proyek tersebut berakhir pada kegagalan. Tidak saja memiliki kinerja buruk, CCS/CCUS merupakan tantangan tersendiri karena mengakibatkan pembengkakan biaya.
“Ada banyak dokumentasi kegagalan proyek-proyek CCS/CCUS di dunia. Proyek Gorgon di Australia, misalnya. Target serapan karbonnya meleset sebesar 5,23 juta ton, dan harus menambah pembiayaan hingga US$184 juta,” papar Sawung.
Sementara itu, proyek CCS di Aljazair terpaksa dihentikan pada tahun 2011 karena menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan kebocoran. Hal serupa terjadi pada proyek CCS Sleipner di Norwegia, dimana CO2 yang disuntikkan ke dalam perut bumi, bermigrasi naik ke lapisan atas lebih cepat dari yang diperkirakan.
Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), kata Sawung, menunjukkan dari 13 proyek CCS/CCUS berskala besar di dunia bertanggungjawab terhadap lebih dari separuh operasi CCS/CCUS yang menghasilkan total 39 juta ton CO2 per tahun.
“Angka ini hanya sekitar 1/10.000 dari total 36 miliar ton emisi yang dibuang ke atmosfer pada tahun 2021,” terang Sawung.
Senada, Kepala Divisi Simpul dan Jaringan JATAM, Imam Shofwan menerangkan proyek CCS/CCUS berdampak buruk terhadap lingkungan, seperti meningkatkan tekanan air, pengasaman laut, dan kemungkinan memicu gempa Bumi akibat penginjeksian CO2 ke bawah tanah.
Tak hanya itu, proyek CCS/CCUS juga berisiko terhadap kesehatan akibat potensi kebocoran CO2.
“Proyek-proyek CCS ini umumnya dipakai juga untuk meningkatkan perolehan minyak dan gas, di mana CO2 yang ditangkap disuntikkan ke ladang minyak atau gas untuk meningkatkan jumlah minyak mentah atau gas yang diekstraksi,” ujarnya.
Sehingga alih-alih menurunkan emisi karbon, praktik tersebut justru mendorong peningkatan produksi bahan bakar fosil, yang pada akhirnya menyebabkan emisi karbon tambahan.
“Karena lebih dari 80% proyek CCS ternyata digunakan untuk EOR atau EGR, atau untuk produksi minyak dan gas,”ungkap Imam
Karena itu, Imam mengingatkan peristiwa kebocoran jaringan pipa transportasi CO2 dari proyek EOR di Mississippi, AS pada tahun 2020, telah mengakibatkan lebih dari 200 orang dievakuasi, dan 45 lainnya menjalani rawat inap karena keracunan karbon dioksida.
Ginanjar Ariyasuta dari 350 Indonesia menjelaskan proyek-proyek CCS/CCUS akan melanggengkan inefisiensi energi dan menghalangi upaya transisi energi sejati yang berasal dari komunitas.
Itu terjadi karena energi yang dibutuhkan pada fase penangkapan dan kompresi pada proyek CCS/CCUS mencapai 330–420 kWh per ton CO2, dan secara rata-rata proyek CCS mengakibatkan peningkatan permintaan energi hingga 15%–25%.
“Itu lah mengapa proyek-proyek CCS/CCUS ini adalah proyek yang boros energi,” ujarnya.
Ginanjar juga membeberkan pembiayaan investasi untuk proyek-proyek PLTU yang menerapkan CCS/CCUS bisa mencapai 3-4 kali lipat dari pembiayaan energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Karena itu, jika pemerintah memilih menerapkan CCS/CCUS sebagai bagian dari aksi iklim dan transisi energi, yang terjadi justru perlambatan transisi energi menuju energi terbarukan.
“Hasil studi 350 Indonesia menunjukkan energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar Rp10.529 triliun selama 25 tahun.” terangnya.
Dampak positif yang dihasilkan, kata Ginanjar, sejalan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih berkualitas. Ini lebih berdampak positif secara ekonomi ketimbang membiayai CCS/CCUS.
Sementara itu, perwakilan Oil Change International di Indonesia, Hikmat Soeriatanuwijaya mengingatkan problem jangka panjang yang bisa muncul dari operasi CCS/CCUS di Indonesia.
Menurut Hikmat, ketika proyek-proyek CCS/CCUS dijalankan, harus bisa dipastikan bahwa karbon dapat disimpan dalam
keadaan stabil secara permanen setidaknya hingga 200-300 tahun. Hanya saja, siapa yang akan bertanggungjawab terhadap CO2 yang diinjeksi jika berbagai permasalah muncul pada ratusan tahun kemudian.
“Kami khawatir, pada akhirnya, pemerintahan negara dimana CO2 itu diinjeksikan yang akan mengambil alih tanggung jawab untuk membiayai pengelolaan sejumlah besar upaya penyimpanan karbon dengan biaya publik hingga bergenerasi-generasi mendatang.” urai
Hikmat.
Karena itu, WALHI, JATAM, 350 Indonesia, dan Oil Change International menuntut pemerintah segera berhenti mempromosikan CCS/CCUS sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca, serta tidak menerapkan CCS/CCUS dalam kebijakan dan program transisi energi serta penanganan krisis iklim.
Kelompok masyarakat sipil meyakini, proyek CCS/CCUS tidak lebih dari solusi palsu untuk mencegah pemanasan global dan krisis iklim. Karena pada faktanya proyek tersebut dipakai sebagai dalih oleh para kongsi dagang dalam memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil yang terbukti memperburuk dampak pemanasan global dan krisis iklim.