Memahami Klakson Perlawanan Ojol

Pengemudi ojek online (Ojol) melakukan aksi unjuk rasa. Foto: Reuters

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

Akar masalah yang memicu demonstrasi ojek online (ojol) Selasa 20 Meil 2025 bukan baru muncul kemarin sore.

Pengemudi ojol merasa semakin terjepit oleh skema-skema platform yang kian eksploitatif.

Ketika Jalan Raya Menjadi Arena Protes

Apa jadinya jika ribuan pengemudi ojek online mematikan mesin motornya dan mematikan aplikasinya selama 24 jam penuh?

Pertanyaan ini bukan sekadar skenario fiksi, melainkan kenyataan yang terjadi pada 20 Mei 2025 di Jakarta dan beberapa kota lain.

Lebih dari 25.000 pengemudi ojol, baik roda dua maupun roda empat, memilih berhenti beroperasi.

Layanan transportasi, pemesanan makanan, hingga pengiriman barang lumpuh sementara. Mereka bukan mogok karena malas, tetapi karena lelah: lelah dihisap sistem yang memotong keringat mereka hingga tulang.

Di balik klakson dan jaket hijau, tersimpan cerita ketimpangan relasi antara aplikator digital raksasa dan pengemudi yang menjadi ujung tombak layanan.

Aksi ini adalah peringatan keras: jika negara terus menutup telinga terhadap ketidakadilan digital, maka jalan raya akan terus menjadi panggung perlawanan.

Ketika Algoritma Mengganti Aturan Sosial

Ojek online bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah denyut nadi ekonomi kota.

Seperti pembuluh darah yang menyambung jantung ke organ-organ vital, ojol mengantar makanan, dokumen, anak sekolah, bahkan kebutuhan darurat.

Namun, selama bertahun-tahun, para pengemudinya harus bekerja dalam struktur yang timpang. Potongan komisi hingga 20%, program “hemat”, “prioritas”, “slot” yang tidak transparan, hingga insentif yang datang dan pergi seperti ilusi.

Semua itu dilakukan tanpa ruang negosiasi yang adil. Analogi sederhananya begini: bayangkan Anda diminta membangun rumah, tapi arsitek, pemborong, dan pemilik tanah tidak pernah mengajak Anda bicara soal upah atau waktu kerja.

Bahkan lebih parah, Anda juga harus menyewa peralatannya dari mereka, dan ketika Anda bertanya kenapa pendapatan tak cukup untuk makan, mereka menyarankan Anda “kerja lebih keras lagi.”

Itulah realitas pengemudi ojol hari ini.

Kerugian Ekonomi: Ketika Kota Kehilangan Denyutnya

Dampak ekonomi dari aksi ini bukan kecil. Jakarta, sebagai pusat layanan ojol, bisa kehilangan hampir Rp 400 miliar dari nilai transaksi ojol dalam satu hari saja.

Ditambah lagi, potensi hilangnya Rp 158 miliar dari pengeluaran konsumen terhadap layanan ride-hailing.

Bukan hanya perusahaan besar yang merasakan dampaknya, tapi juga para pelaku UMKM, pemilik warung makan, kurir logistik, dan masyarakat urban yang mengandalkan mobilitas cepat.

Kota besar seperti Jakarta sangat bergantung pada efisiensi logistik mikro, dan ojol adalah tulang punggung tak kasatmata dari itu semua.

Namun di sisi lain, para driver yang ikut aksi juga merelakan rata-rata Rp 116.000 pendapatan harian mereka.

Jika 25.000 driver mogok, berarti lebih dari Rp 2,9 miliar pendapatan hilang dalam sehari.

Aksi ini, bagi mereka, adalah kerugian jangka pendek demi peluang masa depan yang lebih adil.

Negara, Regulasi, dan Ketegasan yang Absen

Ironisnya, pemerintah sudah punya regulasi untuk melindungi mereka. Permenhub PM No. 12 Tahun 2019 dan Kepmenhub KP No. 1001 Tahun 2022 seharusnya menjadi pagar keadilan.

Namun, apa arti regulasi jika tak ditegakkan? Para aplikator nyatanya terus melanggar batas potongan, menjalankan program tak adil tanpa keterlibatan pengemudi, dan menciptakan algoritma yang merugikan mitra mereka.

Ketika pemerintah pasif, maka regulasi hanya jadi hiasan di lemari dokumen. Negara justru terlihat lebih akrab dengan logika korporasi ketimbang denyut keadilan sosial.

Ini menjadi ironi dalam demokrasi: suara rakyat yang paling terdampak justru sulit masuk ke ruang-ruang kebijakan.

Wacana Baru: Ko-Regulasi untuk Keadilan Digital

Sudah saatnya pemerintah membalikkan logika kebijakan dari yang semula top-down menjadi partisipatif.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diminta driver bukan permintaan berlebihan. Itu adalah mekanisme demokratis yang seharusnya rutin dijalankan.

Tidak cukup hanya sekali dalam krisis; harus ada forum rutin setiap enam bulan yang melibatkan driver, aplikator, regulator, dan lembaga perlindungan konsumen seperti YLKI.

Kita membutuhkan model ko-regulasi (co-regulation), di mana kebijakan tidak hanya lahir dari negara atau pasar, tapi dari dialog antarpemangku kepentingan.

Dalam model ini, tarif, komisi, dan program digital ditentukan secara transparan dan adil. Potongan komisi maksimal 10% bukan hanya masuk akal, tapi juga moral.

Dengan pendapatan driver yang hanya sekitar Rp 3,5 juta per bulan, potongan 20% adalah bentuk eksploitasi gaya baru.

Membela yang Marginal, Menata Ulang Ekonomi Digital

Ojol bukan hanya tentang transportasi murah. Ia adalah ruang ekonomi bagi jutaan rakyat yang tak punya akses kerja formal, yang tak punya modal besar, tapi punya kemauan untuk bekerja.

Mereka adalah tulang punggung demokrasi ekonomi, sekaligus korban dari liberalisasi platform digital tanpa pengawasan.

Keadilan sosial menuntut agar negara hadir membela yang lemah, bukan justru tunduk pada kekuatan modal. Apalagi jika modal itu datang dengan wajah digital yang sulit dijangkau oleh hukum konvensional. Dalam dunia algoritma, relasi kuasa bisa disamarkan.

Namun, ketika ribuan driver turun ke jalan, relasi kuasa itu menjadi nyata.

Dari Jalan ke Kebijakan Publik

Aksi ojol pada 20 Mei 2025 adalah sinyal kuat bahwa ekonomi digital tidak netral. Ia bisa menjadi alat pemberdayaan, tapi juga alat penindasan.

Negara tak bisa terus berlindung di balik jargon inovasi dan disrupsi, sementara para pengemudi disuruh diam ketika dipotong pendapatannya.

Pemerintah harus segera menegakkan aturan, menetapkan batas komisi maksimal 10%, membentuk forum RDP reguler, dan melibatkan pengemudi dalam setiap kebijakan tarif dan insentif.

Jika tidak, aksi seperti ini akan terulang. Dan yang lebih bahaya, kepercayaan pada negara bisa benar-benar luntur.

Dalam demokrasi, tidak boleh ada suara yang terlalu kecil untuk didengar. Termasuk klakson para driver ojol yang hari ini memilih diam — agar negara akhirnya mendengar.

*) Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta

8 kali dilihat, 8 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *