Oleh: Awalil Rizky*
Strategi kebijakan fiskal dengan sasaran defisit anggaran lebar dipertahankan Pemerintah pada dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2026. Sasaran rasio defisit tahun 2026 ditetapkan pada kisaran 2,48%-2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sasaran jangka menengah tahun 2027-2029 pun tidak jauh berbeda.
Narasi awal pidato Sri Mulyani yang disampaikan dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 20 Mei 2025 mengedepankan narasi dampak perubahan ekonomi global. Perekonomian dunia dinilai sedang penuh ketidakpastian dalam konotasi buruk, sehingga Indonesia pun terdampak. Kebijakan fiskal pun diakui sebagai bagian respon menghadapi tantangan tersebut.
Sri Mulyani sebagaimana biasa mengklaim kondisi Indonesia masih lebih baik dari kebanyakan negara lain. Kebijakan fiskal selama ini dianggap sudah tepat merespon tantangan itu, serta bisa mendukung program prioritas Prabowo. Nyaris tidak ada pengakuan kondisi fiskal yang sedang berat, atau tidak baik-baik saja.
Padahal, sasaran rasio defisit 2026-2029 yang dinyatakan dalam rentang masih tampak lebar. Rata-rata batas bawah sebesar 2,35%, dan batas atas sebesar 2,44% dari PDB. Sementara itu, rata-rata rasio defisit pada 2005-2014 hanya sebesar 1,19%.
Batas bawah target hampir setara era Jokowi pertama (2015-2019) yang sebesar 2,32%. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan rasio defisit pada 2020 dan 2021, karena dampak besar pandemi Covid. Postur makro fiskal KEM-PPKF bisa diartikan strategi pengelolaan defisit era Jokowi akan berlanjut.
Utang Pemerintah akan Terus Bertambah
Anggaran defisit atau pendapatan lebih sedikit dari belanja negara membutuhkan pembiayaan untuk mengatasinya. Sumber pembiayaan utama dan diprakirakan Pemerintah masih akan terus tersedia adalah utang.
Bahkan, nilai utang yang dibutuhkan tidak hanya untuk menutupi defisit, melainkan untuk keperluan lain. Salah satunya adalah untuk membayar pokok utang yang jatuh tempo. Defisit berarti hanya bisa membayarnya dengan menarik utang baru.
Meski demikian, Pemerintah masih merasa perlu menambah pengeluaran lain yang tidak termasuk belanja. Ada investasi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investasi kepada Badan Usaha Lainnya, memberi pinjaman kepada Pemerintah Daerah dan BUMN, dan lainnya.
Akibatnya, pembiayaan utang hampir selalu lebih besar dari defisit anggaran. Sebagai contoh, APBN 2025 yang berjalan ini merencanakan defisit sebesar Rp616,19 triliun, namun pembiayaan utang mencapai Rp775,87 triliun. Pembiayaan utang sendiri merupakan nilai bersih dari penarikan utang baru dikurangi pembayaran pokok utang lama.
Sayangnya, tabel postur makro fiskal KEM-PPKF hanya menyajikan rasio pembiayaan anggaran. Rasio pembiayaan utang tidak disajikan dalam tabel, hanya dinarasikan tanpa penyebutan besaran secara jelas. Berdasar realisasi selama satu dekade terakhir, pembiayaan utang diprakirakan akan tetap lebih besar dari defisit anggaran.
Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa nominal posisi utang pemerintah memang direncanakan terus bertambah hingga tahun 2029. Namun, secara rasio atas PDB dijanjikan akan dikendalikan pada besaran tertentu.
Target batas bawah rasio utang pemerintah sebagai berikut: 39,69% (2026), 39,43% (2027), 39,05% (2028) dan 38,55% (2029). Sedangkan batas atasnya sebagai berikut: 39,85% (2026), 39,62% (2027), 39,29% (2028) dan 38,64% (2029).
Pemerintah terkesan mengupayakan skenario agar tidak melampaui “batas psikologis” rasio sebesar 40%. Pada era Jokowi pertama, batas itu adalah 30% dan dinarasikan berulang dalam dokumen kebijakan. Namun, pada akhirnya dilewati juga pada tahun 2018 dan 2029 yang sebesar 30,31% dan 30,23%.
Batas psikologis berubah menjadi kisaran 40%, beralasan dampak pandemi covid, yang memaksa pemerintah berutang lebih banyak. Namun, skenario postur fiskal keseluruhan KEM-PPKF serta ada banyak program prioritas, maka ada risiko akan melampaunya.
Perlu diketahui bahwa realisasi rasio utang tahun 2024 telah mencapai 39,75%. Sedangkan target APBN 2025 menurunkannya menjadi 39,43%. Dari realisasi hingga April, ditambah glorifikasi program baru berbiaya besar, maka berpotensi akan melampai 40% pada akhir tahun 2025.
Sebagai pengingat, rasio utang era SBY berkurang 31,92% poin, dari 56,60%% (2004) menjadi 24,68% (2014). Sedangkan era Jokowi bertambah 15,07% poin, dari 24,68% (2014) menjadi 39,75% (2024).
Postur makro fiskal KEM-PPKF tidak menyajikan rasio utang atas pendapatan negara. Namun dari angka-angka terkait dapat dihitung pada 2026 kisaran 338,94%-340,31% dari PDB. Pada tahun-tahun selanjutnya ditargetkan menurun: 337,01%-338,63% (2027), 322,19%-324,17% (2028), 299,77%-300,47% (2029)
Perlu diketahui rasionya turun pada era SBY, dari 322,26% (2004) menjadi 168,27% (2014). Kemudian meningkat era Jokowi menjadi 309,42% (2024). Perhitungan dari asumsi APBN 2025, maka rasionya sebesar 319,01%.
Dari uraian di atas, seandainya skenario jangka menengah KEM-PPKF 2026 berjalan lancar pun, maka utang pemerintah akan terus bertambah besar. Besara rasionya atas PDB yang diklaim dikendalikan mengalami tantangan berat. Begitupula jika dilihat dari rasio utang atas pendapatan negara.
Tulisan ini belum membahas soalan yang lebih serius dari utang, yaitu pembayaran pokok utang dan bunga utang tiap tahunnya. Beban utang tersebut akan sangat membatasi kemampuan fiskal untuk mendukung program prioritas Prabowo. Bahkan, berpotensi besar mengurangi kemampuan negara memberi layanan kepada rakyatnya.
*) Ekonom Bright Institute