Oleh: Muhammad Akbar*
Dalam sepuluh tahun terakhir, wajah transportasi Indonesia berubah cepat. Kehadiran ojek online (ojol) yang relatif baru langsung mencuri perhatian publik. Mereka hadir di jalanan kota-kota besar, tampil di layar ponsel, bahkan diterima dalam pertemuan resmi di Istana Presiden dan kantor Wakil Presiden.
Nama ojol hampir setiap pekan muncul di media. Menjelang musim pemilu, para politisi pun kian rajin merangkul mereka—difoto bersama di basecamp, diajak berdialog, atau dijadikan simbol kedekatan dengan masyarakat perkotaan.
Sebaliknya, pengemudi konvensional berada dalam posisi yang jauh berbeda. Padahal mereka sudah jauh lebih lama hadir: truk yang mengangkut barang antarprovinsi, bus yang menghubungkan kota, angkot yang setia melayani rute perkotaan, hingga taksi dan travel Hiace atau Elf.
Jumlah mereka besar, tetapi gaungnya jarang terdengar. Suara mereka lebih sering tenggelam dalam hiruk-pikuk isu lain, seakan kiprah panjang itu kalah pamor dibanding fenomena baru bernama ojol.
Pertanyaannya, mengapa ojol bisa begitu cepat menjelma menjadi kekuatan sosial sekaligus politik, sementara pengemudi konvensional yang lebih dulu ada justru kerap luput dari perhatian?
Seragam Ojol dan Kekuatan Simbolik di Ruang Publik
Kunci pertama ada pada identitas. Ojol tampil dengan seragam khas: jaket dan helm hijau dengan logo aplikasi mencolok. Dari kejauhan, masyarakat langsung tahu, “itu pengemudi ojol.” Identitas visual ini bukan sekadar pakaian kerja, melainkan simbol kebersamaan sekaligus tanda solidaritas yang membuat mereka mudah dikenali sebagai satu kelompok.
Pengemudi konvensional sebaliknya tidak memiliki identitas nasional. Seragam mereka berbeda-beda. Pengemudi angkot—atau mikrolet dan KWK di Jakarta—berbeda dengan yang ada di Surabaya. Pengemudi bus antarkota mengenakan seragam perusahaan masing-masing.
Pengemudi truk umumnya hanya berkaos seadanya. Identitas yang terpisah-pisah ini membuat pengemudi konvensional sulit tampak sebagai satu kekuatan bersama di mata publik.
Solidaritas Ojol di Era Digital
Solidaritas ojol berakar pada kesamaan nasib. Mereka sama-sama berhadapan dengan tarif rendah, potongan aplikasi tinggi, dan perlindungan hukum yang lemah. Rasa sepenanggungan inilah yang membuat mereka merasa berada dalam satu perahu. Era digital kemudian menjadi katalis yang memperkuat ikatan itu.
Melalui WhatsApp, Telegram, dan media sosial, informasi cepat menyebar dan aksi bisa terkoordinasi hanya dalam hitungan jam. Untuk urusan kecil, seperti mengumpulkan dana bagi rekan yang terkena musibah, mereka bisa segera bergerak. Apalagi ketika menyangkut persoalan besar, protes serentak mudah muncul di berbagai kota.
Baca juga: Hak Budget DPR dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Baca juga: Pelajaran Demokrasi dari ‘Tuntutan 17+8’
Pengemudi konvensional berada dalam situasi sebaliknya. Selama ini mereka lebih banyak berada di bawah kendali organisasi pengusaha angkutan, seperti Organda, yang mewakili kepentingan pemilik armada. Pengemudinya sendiri jarang memiliki organisasi yang benar-benar mewakili kepentingan mereka di tingkat nasional. Kalaupun ada, biasanya hanya berbentuk paguyuban lokal atau serikat kecil, seperti pengemudi truk pelabuhan, pengemudi bus malam, atau koperasi pengemudi angkot.
Persoalan ini diperparah oleh beragamnya kepentingan: ada yang berkonflik dengan pemilik armada, ada yang terlibat gesekan antar-pengemudi karena rebutan penumpang atau muatan. Di sisi lain, banyak pengemudi juga terikat pada aturan perusahaan yang membatasi ruang gerak mereka. Akibatnya, suara mereka terdengar lemah, sulit kompak, dan hampir mustahil membangun agenda bersama di tingkat nasional.
Ketimpangan Sorotan Media
Ojol begitu sering menghiasi pemberitaan. Kisah mereka mudah diangkat media: perjuangan mencari nafkah di jalan, kecelakaan kerja, pengemudi yang menolong orang, hingga protes soal tarif. Gambaran “ojol sebagai simbol ketangguhan masyarakat kota” cepat tumbuh karena media menyajikan cerita keseharian yang menyentuh dan dekat dengan pembaca.
Sebaliknya, pengemudi konvensional jarang mendapat sorotan serupa. Mereka baru menjadi berita ketika terjadi kecelakaan besar, muncul isu truk ODOL (Over Dimension OverLoad), atau kemacetan akibat angkot yang ngetem. Jarang ada media yang menyorot keseharian pengemudi truk yang tidur berhari-hari di kabin truk demi memastikan barang sampai tujuan, atau pengemudi bus malam yang tetap terjaga agar penumpang bisa mudik dengan selamat.
Padahal, tanpa mereka, roda transportasi Indonesia akan lumpuh. Minimnya pemberitaan yang membangun membuat pengemudi konvensional sering tersisih dari sorotan publik dibanding ojol.
Ojol sebagai Segmen Politik
Politisi melihat ojol sebagai segmen pemilih yang strategis. Jumlah mereka besar, tersebar di kota-kota, dan dianggap punya pengaruh suara terhadap keluarga serta lingkungannya. Ojol kerap diposisikan sebagai swing voters perkotaan yang penting untuk dirangkul. Dengan sekali kunjungan ke basecamp ojol, seorang politisi bisa mendapat liputan media luas sekaligus membangun citra dekat dengan rakyat.
Sebaliknya, pengemudi konvensional tidak memiliki kekuatan massa yang seragam dan mudah digerakkan. Struktur hubungan kerja yang formal dengan pemilik armada membuat aspirasi mereka lebih sering disalurkan lewat mekanisme resmi—rapat atau negosiasi antara pengusaha dan pemerintah—bukan melalui aksi massa. Karena itu, politisi jarang melihat mereka sebagai kelompok pemilih yang strategis untuk didekati.
Langkah Strategis untuk Pengemudi Konvensional
Fenomena kontras antara kekompakan ojol dan lemahnya posisi pengemudi konvensional tidak seharusnya dibiarkan melebar. Ada sejumlah langkah strategis yang bisa ditempuh untuk memperbaiki keadaan.
Pertama, perlu didorong pembentukan organisasi pengemudi konvensional yang mandiri lintas moda—truk, bus, angkot, hingga taksi. Organisasi ini harus benar-benar melibatkan pengemudi secara aktif dan mampu merespons persoalan mereka dengan cepat, bukan sekadar mengikuti kepentingan asosiasi pengusaha.
Kedua, membangun identitas kolektif yang kuat bagi pengemudi konvensional. Jika ojol punya jaket dan helm hijau, pengemudi konvensional pun bisa memiliki simbol pemersatu. Misalnya, rompi oranye terang dengan strip reflektif yang berlaku nasional dan dilengkapi emblem “Pengemudi Indonesia”. Selain mudah dikenali sebagai tanda kebersamaan, rompi ini juga berfungsi meningkatkan keselamatan di jalan.
Baca juga: Vox Populi Vox Dei: Suara Rakyat Jadi Penentu Arah Bangsa
Baca juga: Noel, Alarm Bahaya bagi Prabowo
Ketiga, memperluas perlindungan sosial bagi semua pengemudi. Baik ojol maupun pengemudi konvensional harus dijamin aksesnya pada BPJS Ketenagakerjaan, jaminan kesehatan, hingga skema pensiun—program jaminan hari tua agar tetap ada penghasilan ketika mereka tidak lagi bisa bekerja. Bagi ojol, regulasi tarif perlu ditata lebih adil. Sementara bagi pengemudi konvensional, pola setoran dan kontrak kerja harus dibuat lebih transparan dan manusiawi.
Keempat, secara aktif membangun narasi positif di media. Sama seperti kisah inspiratif ojol yang sering viral, perlu digencarkan liputan tentang pengemudi konvensional. Misalnya kisah Nanang, pengemudi bus AKAP yang menolong penumpang tak berduit; Deden, pengemudi bus malam yang rela tidak libur demi mengantar pemudik saat Lebaran; atau Edi Susanto, pengemudi truk ekspedisi yang pernah tersesat di hutan tetapi tetap melanjutkan tugasnya. Kisah-kisah semacam ini mencerminkan ketangguhan dan empati pengemudi konvensional yang jarang mendapat sorotan publik.
Menuju Transportasi yang Berimbang
Ojol telah membuktikan bahwa identitas yang kuat—seperti jaket dan helm hijau yang begitu mencolok—ditambah jaringan digital yang sangat luas serta narasi media yang senantiasa positif, mampu memperkuat posisi tawar mereka dalam waktu relatif singkat.
Namun, jangan dilupakan bahwa pengemudi konvensional tetap menjadi tulang punggung kokoh transportasi Indonesia: truk yang sabar mengangkut barang lintas pulau, bus yang setia menyambungkan kota, angkot yang tekun melayani jalur perkotaan, hingga taksi dan travel yang rajin menjangkau antar wilayah. Tanpa mereka, denyut transportasi nasional tentu akan terhenti.
Tantangan besar ke depan adalah menghadirkan keseimbangan nyata dalam hal narasi, perlindungan hukum, jaminan sosial, hingga kepastian ekonomi bagi seluruh pengemudi—baik ojol maupun konvensional. Ojol perlu terus diperkuat agar tidak sekadar diposisikan sebagai “tenaga murah aplikasi”, melainkan benar-benar tumbuh sebagai profesi yang bermartabat.
Sementara itu, pengemudi konvensional mesti direvitalisasi dengan pembaruan sistem kerja yang lebih manusiawi, identitas kolektif yang lebih kuat, dan organisasi yang jauh lebih solid agar tetap relevan di tengah derasnya arus digitalisasi.
Pada akhirnya, wajah transportasi Indonesia harus ditampilkan secara lebih adil dan berimbang: hijau jaket ojol yang telah menjadi ikon era digital berdampingan dengan oranye rompi pengemudi konvensional—sebuah simbol persatuan dan kebanggaan profesi pengemudi transportasi. Keduanya sama-sama memastikan distribusi barang dan pergerakan manusia tetap terjaga dengan baik, sehingga roda pembangunan bangsa terus berputar dengan lancar, kokoh, dan berkesinambungan.
*) Pengamat Transportasi