RUU TikTok di AS, China: Bukti Persaingan Tidak Sehat

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Kamis (14/03/2024) Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Lolosnya Rancangan Undang-undang (RUU) yang dapat melarang penggunaan media sosial TikTok di Amerika Serikat (AS) menjadi kekhawatiran tersendiri bagi China.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menyebut hal itu sebagai bentuk persaingan bisnis tidak sehat.

“RUU yang disahkan oleh DPR AS itu menunjukkan tindakan AS bertentangan dengan prinsip persaingan yang sehat dan aturan perdagangan internasional,” ujar Wang Wenbin saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Kamis (14/3).

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat telah meloloskan rancangan undang-undang (RUU) untuk memblokir TikTok di negara itu melalui pemungutan suara dengan hasil 325 banding 65 pada Rabu (13/3). Setelah diloloskan di DPR AS, RUU dengan nama ‘Perlindungan Orang Amerika dari Aplikasi yang Dikendalikan Musuh Asing’ itu akan bergulir ke Senat AS.

“Jika apa yang disebut sebagai ‘keamanan nasional’ adalah upaya untuk menjatuhkan perusahaan-perusahaan kompetitif di negara lain, maka tidak akan ada keadilan yang bisa dibicarakan,” kata Wang Wenbin.

Ia menambahkan, “Adalah logika perampok untuk mencoba segala cara untuk merampas semua hal baik yang mereka miliki dari orang lain.”

Sikap AS terhadap TikTok, menurut Wang Wengbin, menunjukkan kepada dunia apa yang disebut ‘aturan’ dan ‘ketertiban’ bagi AS adalah yang bermanfaat bagi AS sendiri. Bahkan pemerintah China memberikan perlindungan privasi dan keamanan data.

“Kami tidak pernah meminta dan tidak akan pernah meminta perusahaan atau individu untuk mengumpulkan atau memberikan data di negara lain kepada Pemerintah China dengan melanggar hukum setempat,” tegas Wenbin.

Menurut Wang, meski AS tidak pernah menemukan bukti bahwa TikTok mengancam keamanan nasionalnya, tapi negara itu tetap menggunakan kekuasaannya dan menyalahgunakan istilah keamanan nasional sebagai alasan untuk menekan TikTok.

“Kami juga menyambut berbagai ‘platform’ dan layanan asing ke pasar China dengan syarat mereka mematuhi hukum dan peraturan China. Hal ini sangat berbeda dengan sikap AS atas TikTok yang jelas-jelas merupakan tindakan ‘bullying’ dan logika perampok,” ungkap Wang Wenbin.

Berdasarkan RUU itu, perusahaan pemilik Tiktok, ByteDance, punya waktu enam bulan untuk menjual sebagian sahamnya kepada pihak di luar China, tapi bila tidak bisa melakukannya, maka kios aplikasi yang dioperasikan oleh Apple, Google dan layanan lain secara resmi tidak boleh menawarkan TikTok atau menyediakan layanan hosting web untuk TikTok.

RUU itu juga memberikan wewenang kepada presiden untuk menetapkan aplikasi lain sebagai ancaman keamanan nasional jika aplikasi tersebut berada di bawah kendali negara yang dianggap bermusuhan dengan AS.

CEO TikTok Shou Zi Chew saat berada di Washington berupaya menghentikan RUU tersebut. Pihak TikTok menilai rancangan undang-undang itu tidak konstitusional dan berpotensi dapat keberlangsungan para kreator konten dan pelaku bisnis yang bertumpu kepada media sosial tersebut.

Perusahaan itu juga menyangkal adanya hubungan dengan Pemerintah China dan telah merestrukturisasi perusahaan agar data pengguna AS tetap berada di negara tersebut dengan pengawasan independen. Hanya saja, sejumlah politisi AS menganggap TikTok sebagai ancaman bagi keamanan nasional karena dimiliki oleh ByteDance, perusahaan berbasis di China. Mereka khawatir data penggunanya akan diberikan kepada Pemerintah China.

Pengguna TikTok di AS sendiri saat ini telah mencapai 170 juta orang. RUU soal TikTok itu bahkan didukung baik oleh Partai Demokrat maupun Partai Republik.

1,151 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *