Tarif 32 Persen: Bukti Kegagalan Tim Negosiasi RI

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Foto: Antara

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk tetap mengenakan tarif impor 32 persen terhadap semua produk Indonesia mulai 1 Agustus 2025 menegaskan satu hal penting: Indonesia telah gagal menegosiasikan kepentingan nasionalnya.

Klaim pemerintah bahwa negosiasi berlangsung intensif tidak memiliki arti ketika hasil akhirnya nihil. Indonesia tetap dikenakan tarif tinggi, sementara negara tetangga seperti Thailand dan Kamboja berhasil menurunkan beban tarif mereka dari awalnya 36% dan 49% menjadi 10%.

Ini bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan kegagalan kepemimpinan Airlangga Hartarto dan Sri Mulyani Indrawati Cs dalam membela kepentingan strategis rakyat Indonesia. Tarif 32 persen ini seperti memasang batu besar di kaki atlet yang hendak berlari dalam perlombaan global.

Baca juga: Diplomasi Tarif di Era Trump: Ujian Awal Strategi Ekonomi RI

Produk-produk unggulan Indonesia seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan produk agro-manufaktur akan langsung kehilangan daya saing di pasar Amerika Serikat. Dalam perdagangan internasional, selisih margin lima persen saja bisa memindahkan kontrak pembelian ke negara lain.

Apalagi jika perbedaan tarif mencapai 32 persen. Ini ibarat atlet yang harus berlari melawan pelari lain dengan ransel penuh batu di punggungnya. Tidak peduli seberapa kuat atau cepat dia berlatih, beban itu akan menjatuhkannya sebelum garis finis.

Kegagalan ini terjadi karena tim negosiasi Indonesia tidak memiliki strategi yang terarah. Pemerintah hanya mengandalkan intensitas pertemuan formal tanpa menyusun peta jalan diplomasi dagang yang berbasis kepentingan nasional dan preferensi kebijakan Trump.

Kesalahan Negosiasi: Menunggu Belas Kasihan AS

Surat resmi Trump jelas menyebut bahwa tarif dapat berubah jika Indonesia melakukan penyesuaian kebijakan dagang dan membuka pasar nasional bagi produk Amerika.

Ini adalah diplomasi transaksional, strategi negosiasi yang lazim dalam hubungan dagang global. Namun pemerintah Indonesia tampak tidak menyiapkan counter-offer yang layak.

Mereka hanya menunggu belas kasihan AS tanpa menawarkan kebijakan timbal balik yang memberikan nilai strategis bagi Indonesia.

Kesalahan Negosiasi: Gagal Leveraging Hilirisasi Mineral Kritis Nikel

Kesalahan yang mencolok adalah kegagalan memanfaatkan modal tawar yang sangat strategis: hilirisasi mineral penting seperti nikel.

Indonesia memegang sekitar 34 persen cadangan nikel dunia, ini seharusnya menjadi bargaining chip kuat dan menjadi potensi tumpuan dalam negosiasi tarif.

Namun ironisnya, tim Indonesia tidak mampu merumuskan tawaran konkret—misalnya investasi hilirisasi atau konsesi teknis terkait mineral kritis—yang akan mendorong AS menurunkan tarif karena butuh pasokan bahan baku nikel bagi industri kendaraan listrik dan militer.

Baca juga: Langkah Politik: Tidak Ada Lagi Teori Ekonomi

Lebih jauh, masalah regulasi domestik—terutama birokrasi lambat, ketidakpastian hukum, dan hambatan Tingkat Komponen Dalam Negeri—juga menjadi beban yang membuat AS ragu menurunkan tarif.

Bayangkan kita mencoba membuka gerbang besar, tetapi kuncinya berkarat dan engselnya macet. Pemerintah menawarkan negosiasi, tetapi gerbang investasi dan kemitraan tertutup oleh birokrasi dan Non Tarif Measures (NTM) tak efisien.

Kesalahan Negosiasi: Minim Orkestrasi dan Transparansi Publik

Struktur tim negosiasi yang terfragmentasi juga menjadi penyebab utama kegagalan ini. Negosiasi yang dilakukan kemarin tidak memiliki orkestrasi dan koordinasi menyeluruh dari Airlangga, pimpinan kementerian lain seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Luar Negeri juga tidak diberikan cukup informasi apa saja yang dinegosiasikan, apalagi publik.

Analogi sederhana, ini seperti tim sepak bola yang masing-masing pemain bermain dengan strateginya sendiri tanpa pelatih. Mereka mungkin memiliki skill individu, tetapi tanpa koordinasi dan strategi tim, mereka tidak akan pernah mencetak gol kemenangan.

Kesalahan Negosiasi: 2 tahun Dibiarkan Dubes RI di AS kosong

Menambah beban strategi diplomasi kita, ternyata posisi Dubes RI untuk Amerika Serikat telah kosong hampir dua tahun, sejak Rosan Roeslani meninggalkan jabatannya pada 17 Juli 2023. Pemerintah saat ini belum menunjuk penggantinya, meskipun AS adalah mitra dagang dan strategis utama Indonesia.

Tanpa perwakilan resmi di Washington DC, suara Indonesia tidak terwakili secara optimal dalam diplomasi tarif negosiasi strategis menjadi lebih lemah dan kurang responsif, karena tidak ada seorang Dubes yang memiliki otoritas penuh untuk membuka akses dialog, mengajukan proposal konkret, atau menjembatani kepentingan hilirisasi nikel dan mineral kalau pun ada, tak ada continuity dalam diplomasi.

Kekosongan ini bukan sekadar kelalaian, melainkan menurunkan posisi tawar Indonesia di panggung global

Dampak Serius dari Kegagalan Negosiasi: PHK TPT Tidak Terhindari

Keputusan Trump ini menimbulkan kerugian strategis jangka panjang bagi ekonomi Indonesia. Industri tekstil dan alas kaki yang menyerap lebih dari 3,6 juta tenaga kerja akan terpukul keras.

Pembeli global akan memindahkan kontrak produksinya ke Thailand, Vietnam, atau Kamboja yang tarif ekspornya jauh lebih rendah.

Ini berarti ancaman pemutusan hubungan kerja massal yang akan meningkatkan pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat. Target surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar USD 40 miliar tahun 2025 juga akan buyar.

Pasar Amerika Serikat selama ini menyerap lebih dari 10 persen ekspor non-migas Indonesia. Kenaikan tarif ini akan menurunkan volume ekspor secara signifikan, menekan penerimaan devisa, dan pada akhirnya meningkatkan volatilitas nilai tukar rupiah.

Sementara itu, kebijakan hilirisasi yang digembar-gemborkan pemerintah akan kehilangan daya tariknya. Investor asing tidak akan tertarik menanamkan modal jika ekspor produknya ke pasar Amerika dikenakan tarif tinggi yang mereduksi keuntungan mereka.

Negoisasi Negara Lain Berhasil, Kenapa Indonesia Tidak?

Yang lebih memprihatinkan, kegagalan ini menempatkan Indonesia dalam posisi kalah dibanding negara tetangga. Thailand dan Kamboja berhasil menurunkan tarif mereka menjadi hanya 10%, sementara Malaysia meskipun tarifnya naik, tetap berada pada angka 25 persen, jauh lebih rendah dari Indonesia.

Ini menunjukkan bahwa kegagalan Indonesia bukan karena Trump terlalu keras, melainkan karena tim ekonominya terlalu lemah. Negara-negara tetangga mampu membaca dinamika kebijakan Trump dan menyusun strategi negosiasi yang cerdas, sementara Indonesia hanya menjadi penonton dalam pertarungan tarif global.

Kegagalan ini juga memperlihatkan lemahnya kepemimpinan Airlangga dan Sri Mulyani dalam mengelola diplomasi ekonomi dan memahami dinamika politik internasional.

Trump sejak periode pertama pemerintahannya telah menggunakan tarif sebagai senjata politik dan ekonomi. China pun pernah dipaksa bernegosiasi keras dan akhirnya menyiapkan paket konsesi kebijakan untuk mencapai kesepakatan.

Baca juga: Tarif dan Bullying Ekonomi: Dunia Diam, Xi Jinping Menantang!

Indonesia justru tidak menyiapkan proposal win-win. Pemerintah kita seolah berharap Trump berubah pikiran tanpa upaya negosiasi yang substantif dan strategis. Ini bukan diplomasi ekonomi, melainkan diplomasi pasrah yang membahayakan kepentingan nasional.

Kondisi ini menunjukkan perlunya evaluasi kemampuan tim ekonomi dalam meramu kebijakan ekonomi maupun dalam negosiasi hubungan ekonomi Indonesia.

Indonesia membutuhkan Tim Ekonomi Baru yang mamPu meramu kebijakan dan mampu bernegosiasi strategis di bawah Presiden. Rakyat Indonesia tidak boleh lagi menjadi korban kegagalan negosiasi yang mengancam jutaan lapangan kerja dan masa depan industri nasional.

Airlangga dan Sri Mulyani Cs harus bertanggung jawab atas kegagalan ini. Mereka tidak bisa berlindung di balik dalih “situasi global” karena justru pada saat kondisi global tidak bersahabat, kemampuan kepemimpinan ekonomi diuji.

Baca juga: China Hadapi Perang Dagang: Perlihatkan Kesabaran, Sembunyikan Kepanikan

Tarif 32 persen ini adalah harga mahal yang harus dibayar rakyat akibat absennya kepemimpinan ekonomi yang visioner dan strategi negosiasi berbasis kepentingan rakyat.

Jika pemerintah masih membiarkan pola negosiasi seperti ini, maka masa depan industri Indonesia akan terus terancam. Kita akan menjadi penonton di panggung perdagangan global, hanya mampu menjual di pasar dalam negeri tanpa kesempatan bersaing di luar.

Indonesia membutuhkan pemimpin ekonomi yang tidak hanya pintar di atas kertas, tetapi juga tangguh di meja perundingan global untuk membela kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam kompetisi global, hanya negara dengan kepemimpinan cerdas dan strategi negosiasi kuat yang akan memenangkan perlombaan. Indonesia harus memilih tim ekonomi handal yang fresh yang akan menjadi pemenang atau selamanya tertinggal di belakang.

*) Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

7 kali dilihat, 11 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *