Tragedi Muara Kate, Ternyata Bukan Cuma Mantimin

Aturan Diterabas, Nyawa Melayang di Muara Kate, Ternyata Bukan Hanya Mantimin

Hampir sebulan, belum ada tersangka tragedi pembunuhan di Muara Kate. Foto: Ist

apakabar.co.id, JAKARTA – Lalu lalang truk batu bara menjadi sumber konflik sosial dan kerusakan lingkungan.

Enam hari lagi, genap sebulan sudah tragedi pembunuhan di Muara Kate, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.

Belum ada tersangka pembunuh tetua adat, Russell (60). Anggota DPR RI asal Kaltim juga minim respons. Pun dengan Komnas HAM.

Pembunuhan Russell ini berkelindan dengan aksi protes warga ke angkutan batu bara. Serangan saat fajar yang menyasar posko penjagaan warga di perbatasan Kalimantan Timur-Kalimantan Selatan itu terjadi 15 November. Tak cuma Russel, warga lainnya, Anson (55) juga menjadi korban kebrutalan ini.

Kapolda Kaltim, Irjen Pol Nanang Avianto berkata kekuatan teknologi bahkan sudah dikerahkannya untuk menunjang penyelidikan. Nanang pun memohon doa masyarakat agar penyelidikan segera membuahkan hasil.

Bukan Cuma PT MCM

Teranyar, ada fakta baru. Rupanya bukan hanya PT Mantimin Coal Mining (MCM) saja yang ditengarai di balik aktivitas lalu lalang truk batu bara di perbatasan Kaltim-Kalsel (Kaltim-Sel).

Sekadar tahu, PT MCM adalah perusahaan batu bara pemegang izin khusus alias PKP2B. Konsensi raksasa tambang asal India ini mencapai lima ribu hektare. Mencakup dua kabupaten sekaligus, Balangan, dan Tabalong.

Lantaran tak memiliki jalan khusus atau hauling, truk-truk dari PT MCM nekat melintasi jalan raya untuk menuju ke Paser. Tepatnya di Desa Rangan.

Aktivitas lalu lalang truk batu bara ini lantas mengundang keresahan warga. Di Muara Kate, misalnya, akhir Oktober 2024, seorang pendeta bernama Veronika tewas setelah sebuah truk batu bara terguling.

Warga di Muara Kate pun bahu-membahu mendirikan posko penjagaan. Setiap angkutan batu bara yang melintas coba dihalau swadaya oleh warga.

“Saat ini sudah tidak ada lalu lalang. Tapi sempat ada hauling dari koridoran (tambang ilegal),” jelas seorang warga di Muara Kate, Senin (12/9).

Ternyata, tak hanya di Muara Kate saja. Di Rangan yang berjarak dua jam dari perbatasan Kalsel-Tim, masyarakat juga mendirikan posko untuk menghalau truk batu bara. Itu merespons meninggalnya pendeta Veronika.

Jarak antara Muara Kate dengan Rangan berkisar 121 kilometer. Rangan adalah sentra distribusi atau pelabuhan batu bara se-Kalsel-Tim. Ada dua jalur yang biasa dilewati truk batu bara. Pertama jalan masuk menuju Muara Sungai Tempayang. Dan kedua jalur menuju Muara Sungai Rangan.

“Untuk menuju ke pelabuhan-pelabuhan ini (sebelum masuk ke muara sungai) sama-sama melewati jalur jalan umum lintas provinsi,” kata seorang warga Rangan yang namanya sengaja dirahasiakan apakabar.co.id demi alasan keamanan, Senin (12/9).

Pernah beberapa kali aksi penyetopan oleh warga. Hanya saja pada akhirnya truk batu bara selalu bisa kembali melintasi jalan umum.

“Di situ kita tahu. Sebetulnya banyak juga truk batu bara yang berasal dari Kalimantan Timur itu sendiri,” kata dia.

Mengapa Rangan menjadi sentra distribusi batu bara? Apalagi kalau bukan lokasinya yang dinilai paling strategis.

“Selain itu pemerintah desanya juga punya banyak andil di lokasi beberapa pelabuhan tersebut,” kata dia.

Sudah sejak 2015 silam, gonta-ganti perusahaan batu bara mendistribusikan hasil tambang mereka ke Rangan.

“Mantinim sendiri baru tahun 2023,” jelas dia.

Peraturan daerah nomor 10 tahun 2012, nyatanya tak ampuh mengatur angkutan batu bara tidak boleh menggunakan jalan umum.

“Mereka semua yang ke Rangan gak punya jalan hauling, pakai jalan raya semua,” jelas dia.

Truk batu bara pun terus lalu lalang di jalan raya. Sampai akhirnya tragedi pendeta Veronika terjadi.

“Saat ini sudah tidak ada truk batu bara yang menuju Sungai Rangan. Entah kalau di Tempayang,” jelasnya.

Dampak yang Ditimbulkan

Tak main-main hilir-mudik distribusi batu bara diduga ilegal di Rangan. Di tahun 2017 sebetulnya hanya ada 3 pelabuhan di Rangan. Namun sekarang sudah ada 9. Lalu apa saja dampak yang ditimbulkan dari adanya praktik hauling dan stockpile di Rangan?

Yang pertama jelas ketidaknyamanan warga pengguna jalan umum. Bisa dibayangkan berapa puluh bahkan ratusan truk-truk pengangkut batu bara dari berbagai wilayah itu semuanya berkumpul di Rangan.

Kedua, lalu lalang truk ilegal ini menimbulkan gangguan pendengaran dan kesehatan udara. “Bising dan debu,” jelasnya.

Belum lagi bicara petaka kerusakan lingkungan. Aktivitas lalu lalu truk dan penyimpanan batu bara di sana telah menghancurkan hutan mangrove, hilangnya habitat bekantan, termasuk burung dan primata endemik Kalimantan.

“Di tahun 2020 lalu masyarakat telah mengajukan pengakuan masyarakat adat ke pemerintah Kabupaten. Tapi sampai saat ini pengakuan itu tidak kunjung diberikan oleh pemerintah,” jelas warga Rangan ini.

Dan keempat, kerentanan konflik sosial. Antara warga yang menolak. Maupun yang berpihak ke jalan hauling. Seperti halnya tragedi di Muara Kate.

Dan yang terakhir. Dugaan penyalahgunaan narkotika. Khususnya di lingkungan pekerja pelabuhan.

“Siang malam bekerja, awalnya untuk doping, tapi lama-lama kan candu,” jelasnya.

Sampai berita ini tayang, apakabar.co.id masih terus berupaya mengonfirmasi PT Mantimin.

Kaltim sendiri sejatinya memiliki delapan wakil rakyat di DPR RI. Namun tak satupun ada yang merespons.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah sejak pekan kemarin berjanji untuk merespons tragedi ini. Namun sampai berita ini tayang, nihil.

Kinerja polisi pun disorot. Pegiat hukum Herdiansyah Hamzah meminta aparat lebih serius bekerja.

“Yah beginilah aparat kepolisian kita. Kasus-kasus yang kontroversial sepert ini justru tidak diseriusi,” jelas ahli hukum Universitas Mulawarman ini, Senin (12/9) sore.

Jika polisi mau, Castro, sapaan karib Herdiansyah, amat yakin pelaku akan bisa segera ditangkap.

“Semua peralatan, teknologi, intelijen mereka punya. Tapi ini bukan persoalan kemampuan, ini soal willingness, ini soal kemauan,” sambung Castro.

Mengapa? Indikasinya polisi selalu terjebak konflik kepentingan jika berhadapan dengan pelaku bisnis.

“Apalagi ketika berhadapan dengan penambang, ya selalu seperti ini di Kalimantan Timur,” jelasnya.

Jika tak percaya. Tengok saja skandal Ismail Bolong. Mantan anggota Polresta Samarinda itu diduga menjadi pengepul hasil tambang ilegal ke petinggi Polri. Mabes Polri bahkan sempat mengamankan langsung Bolong, medio 2022 silam. Namun setelahnya kasusnya bak lenyap ditelan bumi.

357 kali dilihat, 157 kunjungan hari ini
Editor: Fariz Fadillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *