1446
1446

Bank Indonesia Kecanduan Narasi ‘Beda dari 1998’

Inflasi Periode Ramadan Tembus 3,05 Persen, Beras dan Telur Ayam jadi Biang Kerok - apakabar.co.id
Inflasi periode Ramadan tembus 3,05 persen, beras dan telur ayam jadi biang kerok. Foto: dok. BI

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

Bank Indonesia (BI) kembali mengulang narasi klasik: “Fundamental ekonomi kuat, berbeda dari 1998.” Meski rupiah menyentuh Rp16.562/USD pada 27 Maret 2025—level terendah sejak krisis moneter—BI bersikeras bahwa Indonesia tidak akan mengalami krisis seperti 26 tahun lalu. Terlalu PD!

Ilusi Fundamental Kuat: Mengulang Kesalahan Retorika 1998

Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, berargumen bahwa cadangan devisa kini lebih besar (USD154,5 miliar), mekanisme mitigasi lebih canggih, dan defisit transaksi berjalan terkendali (-0,32% PDB).

Namun, retorika ini mengabaikan fakta bahwa rupiah tetap menjadi mata uang terlemah di Asia Tenggara pada 2025, dengan depresiasi 12% YoY, lebih buruk daripada peso Filipina (-7%) dan ringgit Malaysia (-6%).

Perbandingan dengan 1998 juga cacat logika. BI menyoroti perbedaan nominal kurs (Rp2.800 vs Rp16.000), tetapi lupa bahwa daya beli rupiah 2025 jauh lebih rendah.

Jika diukur berdasarkan real effective exchange rate (REER), rupiah telah terdepresiasi 35% sejak 2020, sementara ringgit Malaysia hanya 18%.

Artinya, kepercayaan terhadap rupiah sebagai penyimpan nilai terus merosot—indikator yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan “sentimen sementara”.

Kenapa BI sembunyikan fakta ini?

Intervensi Likuiditas BI 2025: Solusi Semu yang Memperpanjang Krisis

BI mengklaim telah “menambah likuiditas” untuk menjaga stabilitas pasar.

Namun, kebijakan ini justru kontraproduktif. Pada Maret 2025, BI meningkatkan likuiditas rupiah dengan membeli surat utang pemerintah (SBN) senilai Rp120 triliun, sementara di sisi lain, mereka menjual USD1,6 miliar untuk intervensi kurs.

Hasilnya, suplai rupiah di pasar melonjak, memperburuk tekanan depresiasi. Mekanisme ini mirip dengan kebijakan sterilized intervention era 1997, yang justru memicu double deficit (defisit fiskal dan neraca berjalan) karena BI mencetak uang baru untuk membeli dolar AS.

Di Malaysia, Bank Negara Malaysia (BNM) menghindari jebakan ini dengan mengoptimalkan reverse repo dan foreign exchange swaps untuk menyerap likuiditas berlebih tanpa memperbesar suplai ringgit.

Alhasil, inflasi Malaysia terjaga di 2,8% (2025), sementara Indonesia meski inflasi rendah (1,57%), daya beli rupiah tergerus lebih cepat. BI senang melakukan intervensi berbiaya mahal seperti saat ini.

Utang Korporasi: Bom Waktu yang Diabaikan BI

BI mengklaim telah belajar dari krisis 1998 dengan memperkuat pengawasan perbankan.

Namun, mereka lalai mengawasi utang korporasi luar negeri. Per Februari 2025, utang jangka pendek korporasi Indonesia mencapai USD48 miliar (31% dari cadev), dengan 65% di antaranya tidak di-hedging.

Padahal, pada 1998, krisis diawali oleh gagal bayar utang korporasi yang tidak terlindungi.

Bank Sentral Thailand (BOT) sejak 2023 mewajibkan perusahaan dengan utang valas di atas USD10 juta untuk melakukan hedging minimal 50%.

Di Indonesia, aturan serupa hanya bersifat voluntary, sehingga hanya 30% korporasi yang mematuhi. Akibatnya, ketika rupiah melemah ke Rp16.000/USD, perusahaan-perusahaan terpaksa membeli dolar AS secara panik—memperparah tekanan pada cadev dan kurs. BI terlalu memanjakan korporasi untuk meminjam valas

Kurs Rp16.000/USD: Bukan Hanya Soal Eksternal, Tapi Kegagalan Mitigasi BI

BI terus menyalahkan faktor eksternal: kenaikan suku bunga The Fed, konflik Iran-Israel, dan perlambatan ekonomi Tiongkok.

Namun, Vietnam—yang 35% ekspornya bergantung pada Tiongkok—berhasil menjaga dong hanya terdepresiasi 4% pada 2025.

Rahasianya terletak pada dual intervention strategy: State Bank of Vietnam (SBV) aktif membeli dolar AS saat ekspor kuat (akumulasi cadev) dan menjualnya saat tekanan kurs tinggi, sambil membatasi spekulasi melalui aturan spot market yang ketat. Sementara itu, BI terjebak dalam intervensi reaktif.

Pada Q1 2025, BI menghabiskan USD4,2 miliar untuk intervensi langsung, tetapi rupiah tetap melemah 8%. Ini adalah intervensi berbiaya mahal.

Sebaliknya, Bank Sentral Filipina (BSP) hanya menggunakan USD1,1 miliar untuk intervensi tidak langsung (non-deliverable forwards), menjaga peso stabil di kisaran 56-57/USD (lihat laporan triwulan BSP).

Krisis 1998 vs 2025: Kemiripan yang Ditutup-tutupi

BI bersikukuh bahwa situasi 2025 tidak mirip 1998 karena “tidak ada krisis politik” dan “utang pemerintah terkendali”. Namun, ada tiga paralel berbahaya yang diabaikan:

Pertama, Ketergantungan pada Modal Asing Jangka Pendek: Portofolio asing di pasar saham Indonesia mencapai 42% (2025), lebih tinggi daripada 1997 (35%). Ketika The Fed menaikkan suku bunga Maret 2025, aliran modal keluar dari Indonesia mencapai USD2,8 miliar—terbesar di ASEAN.

Kedua, Defisit Transaksi Berjalan yang Artifisial: Defisit Indonesia (-0,32% PDB) terlihat kecil hanya karena impor melemah (pertumbuhan impor 2025: 1,8%), bukan karena ekspor menguat. Ini mirip dengan 1997, di mana defisit neraca berjalan “terkontrol” karena resesi impor.

Ketiga, Overconfidence Bank Sentral alias terlalu PD. Gubernur BI Sudrajat Djiwandono pada 1997 juga berseru: “Fundamental ekonomi kuat.”

Kini, BI mengulangi narasi serupa sambil menutup mata pada rasio utang korporasi/PDB yang membengkak dari 28% (2020) ke 35% (2025).

Audit Kinerja BI: Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban Sebelum Rupiah Kolaps

Untuk mencegah krisis yang diprediksi analis (rupiah ke Rp17.000/USD pada Q2 2025), audit kinerja independen terhadap BI harus mencakup:

Pertama, Efisiensi Penggunaan Cadangan Devisa: 60% cadev Indonesia diinvestasikan dalam surat utang AS jangka panjang dengan imbal hasil 2,5-3%, sementara Bank Sentral India menempatkan 70% cadev dalam emas dan treasury bills AS yang likuid. BI harus dipertanyakan mengabaikan prinsip liquidity over return dalam krisis.

Kedua, Kebijakan Intervensi yang Tidak Kompetitif: BI masih mengandalkan intervensi spot market (biaya tinggi), sementara bank sentral lain beralih ke currency swaps dengan mitra global. Meski katanya sudah dilalukan double intervetion dan menggunakan NDF namun sizenya masih tidak signifikan.

Misalnya, Bank of Korea (BOK) memiliki swap lines senilai USD90 miliar dengan The Fed dan Bank of Japan—jalur darurat yang tidak dimiliki BI.

Ketiga, Koordinasi dengan Pemerintah yang Lemah: BI gagal mendorong Kementerian Keuangan mengonversi utang valas pemerintah ke dalam rupiah, padahal Filipina berhasil mengurangi beban utang dengan menerbitkan global bonds berbasis peso.

BI Tidak Boleh Menjadi Tawanan Nostalgia ‘Kelebihan 1998’

BI terus bersembunyi di balik narasi “kita sudah belajar dari 1998”, tetapi tidak mau mengakui bahwa kebijakan mereka terjebak dalam zaman yang berbeda.

Krisis 2025 bukan tentang angka Rp16.000/USD, melainkan hilangnya kredibilitas bank sentral dalam mengantisipasi risiko sistemik.

Jika BI tidak segera berfikir out of the box—dengan audit transparan dan pergantian cara berfikir dari ADG BI yang lebih visioner—Indonesia akan menjadi korban berikutnya dari sikap too little, too late yang sama seperti 1998.

14 kali dilihat, 14 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *