China Hadapi Perang Dagang: Perlihatkan Kesabaran, Sembunyikan Kepanikan

Presiden China Xi Jinping. Foto: Bloomberg

Oleh: Syafruddin Karimi*

Di tengah tekanan perang dagang dengan Amerika Serikat, China mengambil langkah yang penuh perhitungan: memperlihatkan kesabaran dan menyembunyikan kepanikan. Pilihan ini tampak jelas saat Politbiro memutuskan tidak mengumumkan stimulus tambahan, meskipun tarif tinggi dari AS mulai menekan kinerja ekspor. Dengan langkah ini, Beijing menegaskan bahwa ketenangan dan manajemen ekspektasi lebih penting daripada reaksi terburu-buru dalam menghadapi gejolak global.

China berusaha mempertahankan kepercayaan terhadap fondasi ekonominya. Seperti dilaporkan Yao (2025), pertemuan Politbiro akhir April 2025 menghasilkan keputusan untuk mendukung perusahaan dan pekerja yang terkena dampak, tanpa membuka ruang defisit baru. Ini mencerminkan strategi yang lebih luas: mempertahankan posisi tawar, menjaga cadangan fiskal, dan mengelola psikologi pasar global.

Menurut Larry Hu dari Macquarie, Beijing sangat berhati-hati karena lebih mudah bagi Trump untuk mencabut ancaman tarif daripada bagi China untuk membatalkan stimulus besar yang telah diumumkan (Yao, 2025). Dengan menahan pengumuman stimulus, China menjaga fleksibilitas untuk beradaptasi terhadap perubahan situasi, sambil memperlihatkan keteguhan kepada dunia.

Pilihan ini memang mengakibatkan kekecewaan sementara di pasar modal. Saham real estat China anjlok tiga persen, mencerminkan harapan yang tidak terpenuhi atas stimulus tambahan. Meski demikian, Beijing tetap mempercepat pelaksanaan stimulus 2025 yang sudah direncanakan. Belanja pemerintah meningkat 4,2 persen pada kuartal pertama, dan penerbitan obligasi daerah melonjak hampir 60 persen (Yao, 2025). Ini memperlihatkan bahwa dukungan terhadap ekonomi tetap berjalan, meski dikemas dalam narasi ketenangan.

Baca juga: Menjaga Kedaulatan RI di Tengah Pusaran AS-China

Di sisi moneter, langkah-langkah dukungan terhadap pasar keuangan terus bergulir. Bank Sentral China meningkatkan kredit kepada lembaga-lembaga negara, mendorong pertumbuhan total pembiayaan sosial hingga 8,4 persen pada Maret 2025 — angka tertinggi dalam sepuluh bulan terakhir (Yao, 2025). Pendekatan ini mengindikasikan bahwa Beijing ingin memperkuat fondasi ekonomi domestik sembari menjaga ketenangan di mata internasional.

Strategi ini berakar pada konsep “perang stamina” yang menuntut daya tahan lebih dari sekadar reaksi cepat. Menurut Dan Wang dari Eurasia Group, China menggunakan strategi ini untuk memperkuat dukungan dalam negeri sambil menyadari bahwa risiko perlambatan pertumbuhan tetap ada (Yao, 2025). Wang menambahkan bahwa tambahan stimulus hingga dua triliun yuan mungkin diperlukan untuk mencegah pertumbuhan ekonomi turun di bawah empat persen.

Ting Lu dari Nomura juga menegaskan bahwa mengumumkan stimulus sekarang bisa diartikan sebagai sinyal kegugupan, yang akan melemahkan posisi negosiasi China (Yao, 2025). Oleh sebab itu, Beijing memilih untuk memperlihatkan kesabaran strategis. Dengan begitu, China tetap mempertahankan citra negara yang stabil dan siap menghadapi tantangan tanpa kepanikan.

Memang ada konsekuensi dari pendekatan ini. Alicia Garcia-Herrero dari Natixis memperingatkan bahwa tanpa stimulus tambahan dalam jangka pendek, China berisiko mengalami perlambatan pertumbuhan yang lebih dalam dan pemulihan ekonomi yang lebih mahal (Yao, 2025). Risiko ini dihitung dengan matang oleh para perencana ekonomi Beijing, yang meyakini bahwa stabilitas internal lebih penting untuk jangka panjang daripada popularitas kebijakan sesaat.

Dalam menghadapi risiko tersebut, China menyiapkan berbagai rencana kontingensi. Penasihat kebijakan pemerintah mengungkapkan bahwa stimulus tambahan dapat segera diluncurkan jika diperlukan, termasuk melalui pelonggaran moneter seperti pemangkasan suku bunga dan rasio cadangan wajib bank (Yao, 2025). Dengan tetap menjaga ruang kebijakan terbuka, Beijing menghindari jebakan kehabisan amunisi terlalu dini.

Baca juga: Tarif dan Bullying Ekonomi: Dunia Diam, Xi Jinping Menantang!

Sikap Beijing juga mempertimbangkan dinamika politik di Amerika Serikat. Sinyal dari Washington menunjukkan bahwa beban tarif semakin terasa, dan AS mulai membuka opsi untuk de-eskalasi (Yao, 2025). Dengan mempertahankan sikap tenang, China berharap tekanan internal di AS akan memaksa perubahan pendekatan tanpa perlu konfrontasi langsung.

Dalam dunia global yang penuh ketidakpastian, strategi China menunjukkan bahwa stabilitas internal dan kesabaran strategis lebih efektif dalam mempertahankan posisi kekuatan daripada respons cepat berbasis ketakutan. China memahami bahwa persepsi kekuatan sering kali menentukan hasil perundingan dan arah hubungan internasional.

Pilihan untuk memperlihatkan kesabaran dan menyembunyikan kepanikan memperlihatkan kedewasaan strategis dalam menghadapi tekanan global. Beijing membuktikan bahwa kekuatan sejati dalam perang ekonomi bukan diukur dari seberapa cepat suatu negara bereaksi, melainkan dari seberapa lama negara itu bisa bertahan dengan strategi yang konsisten dan terkontrol.

Melalui pendekatan ini, China mengirimkan pesan tegas: ia siap menghadapi tantangan jangka panjang, mempertahankan kedaulatan ekonominya, dan tetap berpegang pada prinsip bahwa dalam perang ekonomi, ketenangan adalah kekuatan.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas

6 kali dilihat, 6 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *