Oleh: Syafruddin Karimi*
Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan (BI-Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% pada 21 Mei 2025. Langkah ini dianggap sebagai sinyal kuat bahwa otoritas moneter mulai berani mendorong pemulihan ekonomi melalui jalur ekspansi.
Kebijakan tersebut munculkan satu pertanyaan penting: apakah pemangkasan suku bunga akan cukup efektif jika rasio kredit terhadap PDB Indonesia stagnan di angka 36%? Angka ini bukan hanya rendah secara historis, tapi juga tertinggal jauh dibanding negara-negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Maka wajar jika publik bertanya: bagaimana mungkin ekonomi bisa tumbuh cepat jika bahan bakarnya, yaitu kredit, tetap seret?
Kredit adalah urat nadi pembangunan. Ia memungkinkan investasi bergerak, konsumsi meningkat, dan produktivitas melonjak. Semakin tinggi rasio kredit terhadap PDB, semakin kuat kontribusi sektor keuangan terhadap ekspansi sektor riil. Bank Dunia (2023) mencatat bahwa rasio kredit terhadap PDB di Vietnam menembus 140%, Malaysia 130%, Thailand 150%, bahkan China di atas 180%. Indonesia? Masih di bawah 40%. Ini bukan hanya jarak, tetapi jurang kelembagaan.
Mengapa Kredit Tidak Mengalir?
Masalahnya bukan pada kekurangan likuiditas, tapi pada struktur dan prioritas sistem keuangan nasional. Pertama, kredit dimonopoli korporasi besar. Sekitar 80% kredit nasional dikucurkan kepada usaha besar dan kelompok elit ekonomi. Sementara UMKM, yang mencakup lebih dari 99% total pelaku usaha, hanya menikmati kurang dari 20% kredit bank (Kemenkop UKM, 2023). Struktur ini mencerminkan betapa skema pembiayaan masih bias terhadap pelaku usaha yang sudah mapan, bukan yang baru tumbuh.
Kedua, perbankan terlalu hati-hati. Jangankan menyalurkan kredit ke sektor produktif, bank lebih nyaman menempatkan dana pada surat utang negara. Ini memang aman, tapi tidak menciptakan pertumbuhan. Orientasi kehati-hatian yang berlebihan justru membuat fungsi intermediasi mandek.
Ketiga, sistem penjaminan lemah. Negara seperti Korea Selatan, Vietnam, dan Thailand memiliki skema penjaminan kredit yang aktif dan progresif. Indonesia memang punya Jamkrindo dan Askrindo, tapi cakupannya masih terbatas dan mekanismenya birokratis. Akibatnya, bank enggan mengambil risiko kredit UMKM atau sektor informal.
Keempat, literasi dan inklusi keuangan yang masih rendah. OJK (2023) mencatat tingkat literasi keuangan nasional hanya 49,6%. Ini berarti hampir separuh penduduk Indonesia tidak memiliki pemahaman dasar soal produk keuangan. Tanpa literasi, permintaan kredit produktif sulit meningkat. Tanpa permintaan, pasar kredit tak akan berkembang.
Selain itu, penurunan suku bunga acuan oleh BI merupakan langkah awal yang baik. Tapi jika transmisi suku bunga tidak lancar, maka pelaku usaha tidak merasakan manfaatnya. Apalagi dalam sistem perbankan yang masih cenderung kaku dalam menurunkan bunga kredit komersial. Di banyak kasus, bunga pinjaman UMKM tetap bertahan di kisaran 9–12%, bahkan setelah BI menurunkan suku bunga berkali-kali.
Sinkronisasi dengan Target Pertumbuhan
Pemerintah melalui Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) menargetkan laju pertumbuhan ekonomi 5,2%–5,8% pada tahun 2026. Target ini ambisius dan menuntut kerja sama erat antara kebijakan moneter dan fiskal.
Pemangkasan suku bunga oleh BI seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat dukungan terhadap sektor riil. Tapi itu tidak akan terjadi jika rasio kredit tidak dinaikkan secara signifikan dan terdistribusi merata.
Belajar dari Vietnam: Kredit Sebagai Amunisi Pertumbuhan
Vietnam tidak ajaib. Negara itu hanya bekerja lebih keras dan disiplin dalam menyalurkan kredit ke sektor produktif. Pemerintah Vietnam secara langsung mengarahkan bank-bank milik negara untuk mendanai sektor strategis: pertanian, industri ekspor, dan startup teknologi.
Mereka tidak menunggu pasar bekerja sendiri, tapi mengintervensi dengan arah yang jelas. Hasilnya? Rasio kredit tinggi, pertumbuhan berkelanjutan, dan ekspor melonjak.
Indonesia seharusnya bisa lebih dari itu. Tapi selama sistem keuangan tetap melayani elite dan menjauhi akar produktivitas, selama itu pula pertumbuhan ekonomi akan berat dan tertinggal dari negara tetangga.
Langkah Strategis yang Harus Didorong
Pertama, reformasi insentif kredit produktif. BI dan OJK harus berani mendesain ulang insentif dan disinsentif kredit. Bank yang agresif menyalurkan kredit UMKM dan sektor prioritas harus mendapat likuiditas tambahan atau potongan GWM.
Kedua, perluas skema penjaminan pemerintah. Perlu memperbesar cakupan dan efisiensi penjaminan kredit melalui digitalisasi dan integrasi dengan sistem perbankan.
Ketiga, dorong kredit digital dan fintech. Fintech lending yang kredibel dan teregulasi bisa menjadi pelengkap untuk menjangkau sektor informal yang selama ini tak tersentuh bank.
Keempat, kuatkan literasi keuangan dan informasi debitur. Literasi keuangan harus menjadi program prioritas nasional yang terintegrasi dengan pendidikan formal dan layanan publik.
Tanpa Kredit, Target Tinggal Target
Target pertumbuhan ekonomi 5,8% pada 2026 hanya akan tercapai jika mesin pertumbuhan diberi bahan bakar yang cukup. Dalam hal ini, kredit adalah salah satu bahan bakar utama. Maka, pemangkasan suku bunga oleh BI tidak boleh berhenti sebagai simbol. Ia harus diikuti oleh reformasi struktural agar kredit tidak seret, dan ekonomi tidak berat.
Negara yang ingin tumbuh cepat, harus berani mengalirkan kredit secara luas, adil, dan produktif. Karena dalam ekonomi modern, pembangunan bukan hanya soal niat, tapi soal pembiayaan.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas