Langkah Politik: Tidak Ada Lagi Teori Ekonomi

Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Foto: Bloomberg

Oleh: Didik J Rachbini*

Sejatinya 80 persen atau lebih dari ekonomi adalah politik. Sebaliknya, dua pertiga atau lebih dari politik adalah ekonomi. Karena itu, analisa teori ekonomi dari pendirinya Adam Smith adalah analisa ekonomi politik, yakni bagaimana kekayaan diciptakan, didistribusikan dan dipengaruhi secara politik dan ekonomi antara pelaku ekonomi individu, pasar dan pemerintah.

Sekarang dalam situasi terguncang-guncang dan gonjang ganjing karena ulah satu orang yang berkuasa (langkah politik) yang berlaku bukan lagi teori ekonomi tetapi politik. Menurut Adam Smith kesejateraan bisa terwujud karena interaksi pelaku individu, pasar dan pemerintah.

Sistem Merkantilisme yang mengutamakan proteksi dan intervensi negara tidak akan menciptakan kesejahteraan masyarakat sehingga perdagangan antar negara juga semestinya berlaku atas asas keuntungan komparatif dan kompetitif masing-masing negara sehingga keduanya dapat saling mengambil keuntungan secara sendiri masing-masing dan secara bersama.

Namun demikian, teori ini tidak berlaku lagi pada masa sekarang dimana politik adalah panglima yang menentukan kebijakan ekonomi, meskipun menabrak asas hukum ekonomi yang seharusnya berlaku. Jadi betul Menteri Keuangan ketika berbicara di hadapan ekonom, anggota ISEI dan asosiasi. Pengusaha bahwa asas, hukum dan teori ekonomi tidak bisa dipakai lagi. Kebijakan ekonomi tidak lagi memadai atau bahkan bisa lagi diandalkan untuk menghadapi lengkah politik presiden Amerika Serikat ini.

Baca juga: Membaca Peluang RI di Tengah Badai Tarif Trump

Lalu untuk apa kita membuat kebijakan ekonomi terhadap masalah ekonomi, yang akarnya adalah politik dan terjadi di dalam sistem dan proses politik? Karena itu, respons kebijakan kita adalah menukik ke akar masalahnya yakni politik. Karena itu, mari kita beranjak masuk ke siklus kebijakan politik untuk merepons masalah-masalah ekonomi yang terjadi karena praktek kebijakan politik yang tidak berbasis asas dan hukum ekonomi.

Pertama adalah antisipasi politik dan kebijakan pada level kesadaran (cognitive) kita dan para pengambil keputusan, dunia usaha dan masyarakan luas. Kita harus menyadari dan menerima kenyataan pahit dan rasa campur aduk bahwa proses politik dan demokrasi bisa mendadak menghasilkan orang aneh seperti Donald Trump.

Produk turunannya adalah politik juga, yang tiba-tiba membuat kebijakan yang tidak masuk nalar teori dan asas hukum ekonomi. Seluruh tatanan ekonomi dan perdagangan dunia yang didasarkan pada asas dan hukum ekonomi sudah dengan sendirinya roboh dan ambruk karena politik dan secara politik sah di negara demokrasi seperti Amerika Serikat.

Setelah menyadari masalah ini, pemerintah dalam hal ini presiden harus mengambil jalan politik juga karena akar masalah dari masalah ini adalah politik. Akibat dan dampak dari tarif Trump ini sudah pasti terjadi. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sekitar 11-13 persen dari total ekspor ke seluruh dunia, bagian ini yang akan terkena dampak langsung.

Baca juga: Mimpi Trump: Fair Trade atau Fear Trade?

Andaikan ke depan ekspor ke AS ini terkena dampak penurunan sekitar 30 persen, maka dampaknya terhadap total ekspor Indonesia sekitar 3-4 persen. Porsi inilah yang harus segera digantikan dengan pasar baru dan kesepakatan baru dengan negara-negara lain, yang juga terkena dampaknya.

Karena itu, Indonesia sebagai negara besar perlu melakukan konsolidasi politik membuat poros ketiga bersama: 1) ASEAN, 2) Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan), 4) India, 5) Amerika Latin (Brazil, Meksiko). Sejatinya dan secara politik kesintingan Trump ini adalah head to head dengan Cina, kita tidak perlu masuk ke dalam kutub tersebut.

Posisi politik seperti ini mengingatkan kita seperti Presiden Soekarno dalam semangat Bandung, yang gegap gempita. Itu berpengaruh luar besar secara politik. Presiden Prabowo memiliki postur, karakter dan semangat yang menyerupai semangat Soekarno.

Penampilan dan langkah politik, diplomasi, diplomasi ekonomi dalam situasi ekonomi terguncang seperti ini perlu dilakukan mengingat akar masalah dari tarif Trump yang muncul di hadapan kita tidak lain adalah langkah politik murni. Jadi, sangat naif jika kita hanya merespons dengan kebijakan ekonomi dimana menurut Menteri Keuangan asas hukum dan teori ekonomi sudah tidak berlaku lagi.

Baca juga: America First: Strategi Negara Dagang

Politik luar negeri ini juga mutlak harus ditumpangi dengan politik perdagangan, yang berorientasi di luar Amerika Serikat dimana ada 88 persen ekspor kita. Diplomasi politik ke kawasan-kawasan Asean, Asia Timur, India, Amerika latin adalah peluang baru dalam era baru ketika AS sudah kalah bersaing dengan Cina. Kepanikan Trump hanyalah krisis transisi sejarah dimana kekuatan ekonomi yang bergeser dari Atlantik ke Pasifik.

Meskipun demikian, untuk kita sendiri di dalam negeri harus menata kebijakan ekonomi dengan menjaga ketenangan makro ekonomi, menjaga tingkat inflasi agar kesejahteraan rakyat tidak tergerus, menjaga nilai tukar yang menjadi tanggung jawab BI agar tidak merosot. Rencana industrialisasi dan hilirisasi tetap dijalankan sesuai rencana untuk memperkuat ekonomi dalam negeri.

*) Guru Besar Ilmu Ekonomi, Rektor Universitas Paramadina

27 kali dilihat, 27 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *