Oleh: Achmad Nur Hidayat*
Kenapa anak-anak sekolah terus jatuh sakit setelah mengonsumsi Makanan Bergizi Gratis (MBG)? Pertanyaan ini memaksa kita melihat lebih jauh dari insiden teknis seperti kebersihan dapur atau kedaluwarsa bahan.
Yang terjadi di Garut, Lamongan, Banggai, dan laporan menu basi di Surabaya menunjukkan pola kegagalan yang sama: desain kebijakan yang dipercepat tanpa uji coba memadai, rantai distribusi yang panjang, dan pengawasan yang tidak konsisten di tingkat lokal.
Ketika program dirancang sebagai proyek skala besar tanpa landasan evaluasi bertahap, risiko teknis mudah berkembang menjadi krisis kesehatan publik.
Analogi sederhana membantu memahami situasi ini. Bayangkan sebuah obat baru langsung dibagikan luas tanpa uji klinis bertahap.
Efek samping yang mungkin ringan pada prototipe bisa menjadi fatal bila terjadi pada jutaan orang. MBG merupakan intervensi publik yang menyentuh jutaan anak; oleh karena itu tata kelola, standardisasi, dan mekanisme evaluasi harus lebih ketat daripada program kecil.
Praktik sentralisasi produksi di Sentra Penyediaan Pangan Gizi (SPPG) memperpanjang waktu antara proses masak dan konsumsi, membuka peluang kontaminasi dan menuntut sistem rantai dingin yang terkendali—kondisi yang belum tentu tersedia merata di seluruh daerah.
Baca juga: Pelajaran dari Maaf Pejabat
Keracunan berulang bukan hanya masalah operasional, tetapi juga struktural. Standar higienitas dan sertifikasi penyedia belum diterapkan secara konsisten; beberapa penyedia mematuhi standar, namun banyak yang tidak.
Kapasitas pengawasan daerah sangat beragam sehingga deteksi dini dan respons cepat tidak selalu tersedia. Ada pula risiko konflik kepentingan dalam penunjukan pemasok sehingga aspek teknis seperti kompetensi dan rantai dingin terkadang tersisih oleh pertimbangan non-teknis.
Ketika mekanisme kontrol lemah, insiden kecil mudah berubah menjadi krisis yang meluas. Mengapa keputusan perubahan tidak diambil lebih cepat, padahal bukti lapangan sudah kuat?
Sebagian jawabannya terletak pada politisasi program besar. Proyek yang terlihat besar sering diposisikan sebagai simbol capaian politik sehingga pengakuan adanya masalah dianggap berisiko.
Padahal menunda koreksi demi menjaga citra justru memperpanjang dampak negatif: legitimasi kebijakan rusak ketika anak-anak menjadi korban.
Keberanian mengubah desain program seharusnya dipandang sebagai wujud tanggung jawab, bukan pengakuan kegagalan.
Evaluasi yang perlu dilakukan pemerintah harus menyasar arsitektur program. Pemeriksaan menyeluruh terhadap relevansi model SPPG diperlukan: apakah logistik dan waktu tunggu membuat metode ini tidak layak?
Standar higienitas wajib diseragamkan, sertifikasi penyedia menjadi prasyarat, dan audit independen harus rutin dilakukan.
Baca juga: Penempatan Dana Rp200 T Melanggar Konstitusi dan 3 Undang-Undang
Sistem pelaporan cepat dan kapasitas respons kesehatan di sekolah wajib diperkuat agar setiap kasus dapat ditangani dan diinvestigasi secara transparan.
Penting juga menghapus celah konflik kepentingan dalam penunjukan penyedia agar akuntabilitas operasional dapat ditegakkan.
Solusi jangka menengah yang lebih berkelanjutan adalah meredesain MBG berbasis komunitas sekolah.
Kantin sekolah yang dikelola unit sekolah, koperasi orang tua, atau dapur sekolah berstandar higienis—dengan dukungan teknis dan subsidi dari pemerintah—menawarkan keuntungan nyata: produksi lebih dekat ke konsumen, waktu antara masak dan santap lebih singkat, pengawasan partisipatif oleh guru dan orang tua meningkat, dan peluang ekonomi lokal tumbuh melalui keterlibatan UKM katering setempat.
Model ini memerlukan fase pilot representatif, indikator evaluasi yang jelas, dan mekanisme skala bertahap berdasarkan bukti. Dampak ekonomi dari kegagalan program tidak boleh diremehkan.
Biaya layanan kesehatan, hilangnya jam sekolah, dan erosi kepercayaan publik adalah eksternalitas yang jauh lebih mahal dibandingkan investasi awal untuk standardisasi dan pelatihan.
Dari perspektif ekonomi publik, intervensi efektif harus mengurangi beban jangka panjang, bukan menimbulkan biaya tambahan yang signifikan.
Baca juga: Mengurai Jerat Kemiskinan dan Kerentanan Pangan
Sebagai langkah konkret, saya mengusulkan pilot terukur di minimal enam kabupaten dengan karakter berbeda—perkotaan, pesisir, dataran tinggi—dengan indikator evaluasi: angka kejadian keracunan, waktu dari masak ke santap, proporsi penyedia bersertifikat, dan kepuasan orang tua.
Dana dialokasikan untuk pelatihan higiene, subsidi pendingin transportasi, dan audit independen. DPR yang pernah mengusulkan pemanfaatan kantin sekolah sebaiknya mendorong model berbasis komunitas agar pelaksanaan lebih ramah lokal dan akuntabel.
MBG adalah janji sosial yang mulia. Namun niat baik tidak cukup; pelaksanaannya harus berbasis bukti, standar, dan tata kelola yang solid. Pemerintah harus berani menarik pelajaran dari kegagalan dan merombak model bila bukti menunjukkan risiko.
Dengan uji coba bertahap, sertifikasi, audit independen, dan pelibatan komunitas sekolah, MBG dapat kembali menjadi instrumen pembangunan manusia yang aman dan efektif, bukan proyek besar yang menyisakan risiko. Semoga Bermanfaat.
*) Ekonom & Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta