Memastikan Statistik Selaras dengan Realitas Ekonomi

Pembeli melakukan aktivitas ekonomi dengan melakukan transaksi pembelian kebutuhan bahan pokok di pasar tradisional. Foto: Antara

Oleh: Aswin Rivai*

Pada pertengahan 2025, komunitas statistik internasional memperkenalkan System of National Accounts (SNA) terbaru, yang merevolusi cara negara mengukur dan memahami aktivitas ekonomi.

Pembaruan ini bukan sekadar revisi teknis, melainkan langkah strategis untuk menyesuaikan pengukuran ekonomi dengan realitas abad ke-21, mulai dari digitalisasi, aset tak berwujud (intangible assets), hingga rantai produksi global yang semakin kompleks.

SNA terbaru ini diharapkan mampu memberi gambaran ekonomi yang lebih tajam, akurat, dan relevan, sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan berbasis data yang lebih tepat sasaran.

Bagi Indonesia, pembaruan SNA membuka peluang besar, sekaligus menimbulkan tantangan yang tidak kecil. Selama ini, data produk domestik bruto (PDB) dan indikator ekonomi lainnya masih cenderung berfokus pada sektor-sektor tradisional, sementara ekonomi digital, nilai merek, kekayaan intelektual, dan aset non-fisik lainnya belum sepenuhnya tercatat secara optimal.

Padahal, kontribusi ekonomi digital Indonesia pada 2023 telah mencapai sekitar 82 miliar dolar AS, setara lebih dari 5 persen PDB, dan diproyeksikan menembus 130 miliar dolar AS pada akhir 2025. Jika pengukuran aset digital dan intangible assets ini lebih presisi, pemerintah akan memiliki dasar yang lebih solid untuk merumuskan kebijakan pajak, investasi, dan inovasi.

Digitalisasi

Salah satu terobosan penting dalam SNA terbaru adalah pengakuan lebih luas terhadap ekonomi digital. Di Indonesia, e-commerce, layanan ride-hailing, fintech, hingga platform konten digital telah menjadi penggerak ekonomi baru.

Namun, dalam pencatatan PDB, sebagian besar aktivitas ini masih tercatat secara parsial, bahkan ada yang tidak terekam sama sekali, terutama transaksi antarindividu (peer-to-peer) atau bisnis kecil yang beroperasi di platform daring, tanpa badan hukum formal.

Implementasi SNA terbaru memungkinkan BPS dan kementerian terkait untuk mengembangkan metodologi pencatatan yang lebih akurat, misalnya pendapatan YouTuber, streamer, atau influencer yang menjual konten digital ke pasar internasional dapat masuk ke perhitungan ekspor jasa kreatif, bukan sekadar konsumsi domestik. Begitu pula aset digital, seperti perangkat lunak, hak cipta, dan paten akan lebih terlihat nilainya dalam neraca nasional.

Namun, ini membutuhkan penguatan kapasitas statistik dan kerja sama lintas lembaga. Kementerian Komunikasi dan Informatika, OJK, Bank Indonesia, hingga Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan perlu berbagi data dengan BPS secara terstruktur, sekaligus menjaga privasi dan keamanan informasi.

Nilai Tak Terlihat

SNA terbaru juga memberi bobot lebih pada aset tak berwujud, merek, paten, desain, goodwill, dan modal manusia (human capital). Di era industri berbasis pengetahuan, aset-aset inilah yang sering kali menentukan nilai perusahaan. Ambil contoh Gojek atau Tokopedia, yang valuasinya mencapai miliaran dolar AS, meski sebagian besar asetnya bukan berupa gedung atau mesin, melainkan teknologi, basis pengguna, dan reputasi merek.

Jika pencatatan ini diterapkan, Indonesia akan memiliki potret kekayaan nasional yang lebih lengkap. Hal ini dapat memperkuat posisi negara dalam negosiasi perdagangan internasional, menarik investor, dan merancang kebijakan industri kreatif yang lebih strategis.

Namun, tantangannya adalah mengembangkan metode valuasi yang tepat. Mengukur nilai merek atau algoritma kecerdasan buatan bukanlah perkara sederhana; memerlukan pendekatan multidisiplin antara statistik, akuntansi, dan ekonomi.

Baca juga: Di Balik Angka 5,12 Persen: Krisis Kredibilitas Statistik Nasional

Pembaruan SNA juga mengakomodasi kompleksitas rantai pasok global. Produk yang dibuat di satu negara bisa memuat komponen dari berbagai negara lain, dan nilainya tidak selalu tercermin secara akurat dalam statistik lama.

Contohnya, pabrik elektronik di Batam yang merakit komponen impor untuk diekspor kembali, selama ini mungkin hanya tercatat sebagai ekspor barang, tanpa memperhitungkan nilai tambah yang sebenarnya terjadi di Indonesia.

Dengan metodologi baru, Indonesia dapat mengukur secara lebih presisi berapa nilai tambah domestik dari aktivitas tersebut. Ini penting untuk memastikan strategi industrialisasi berjalan efektif dan tidak sekadar menjadi lokasi perakitan. Data yang lebih akurat juga dapat membantu merumuskan insentif untuk sektor yang benar-benar meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.

Tantangan Implementasi

Meski manfaatnya jelas, implementasi SNA terbaru di Indonesia tidak bisa instan, karena ada sejumlah tantangan besar. Pertama, kesiapan infrastruktur statistik.
BPS harus memperkuat infrastruktur digitalnya, termasuk sistem pengumpulan, pengolahan, dan analisis data. Pendekatan big data analytics dan pemanfaatan data dari platform digital perlu diintegrasikan ke dalam sistem statistik resmi.

Kedua, kapasitas SDM. Pengukuran ekonomi digital dan aset tak berwujud memerlukan keterampilan baru di bidang statistik, ekonomi, dan teknologi informasi. Pelatihan intensif bagi tenaga statistik menjadi kebutuhan mendesak.

Ketiga, koordinasi lintas lembaga. Implementasi SNA membutuhkan sinergi antara BPS, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan sektor swasta. Tanpa koordinasi, data yang dihasilkan bisa tumpang tindih atau tidak konsisten.

Keempat, regulasi dan perlindungan data. Pengumpulan data dari sektor digital harus mematuhi prinsip perlindungan privasi. Pemerintah perlu menyiapkan kerangka hukum yang jelas agar kerja sama data tidak menimbulkan risiko kebocoran atau penyalahgunaan.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh Indonesia? Pertama, pemerintah perlu menetapkan roadmap implementasi SNA terbaru, dengan target waktu yang realistis, namun ambisius, misalnya uji coba di sektor tertentu, seperti ekonomi kreatif dan manufaktur berbasis ekspor pada 2026, sebelum implementasi penuh pada 2028.

Baca juga: Realisme Pertumbuhan 5,12 Persen

Baca juga: Hati-Hati Payment ID Berbasis NIK

Kedua, memperkuat kerja sama internasional. Indonesia dapat belajar dari negara yang sudah maju dalam pengukuran ekonomi digital, seperti Estonia, Korea Selatan, dan Singapura. Pertukaran pengetahuan dan pelatihan teknis akan mempercepat adaptasi.

Ketiga, melibatkan sektor swasta dan akademisi. Perusahaan teknologi, asosiasi industri, dan universitas dapat menjadi mitra dalam menyediakan data, metode valuasi, dan riset pendukung.

Keempat, memastikan pemanfaatan hasil pengukuran dalam kebijakan. Data yang lebih presisi tidak akan berguna jika tidak diterjemahkan menjadi strategi nyata, mulai dari insentif pajak untuk riset dan inovasi, kebijakan perdagangan berbasis nilai tambah, hingga program pendidikan yang memperkuat human capital.

Pembaruan SNA adalah kesempatan emas bagi Indonesia untuk melompat ke era pengukuran ekonomi yang lebih modern. Dengan data yang lebih akurat tentang ekonomi digital, aset tak berwujud, dan rantai pasok global, pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang benar-benar berbasis realitas lapangan. Namun, ini hanya akan terwujud jika ada komitmen politik, investasi pada infrastruktur statistik, dan sinergi lintas sektor.

Dalam dunia yang bergerak cepat dan semakin terhubung, data is the new oil bukan lagi sekadar slogan. Bagi Indonesia, pembaruan SNA adalah kunci untuk memastikan bahwa “minyak baru” ini diolah menjadi energi kebijakan yang mendorong pertumbuhan inklusif, menciptakan lapangan kerja berkualitas, dan meningkatkan daya saing bangsa di pasar global.

*) Pemerhati ekonomi dan dosen FEB UPN Veteran Jakarta

6 kali dilihat, 6 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *