Membaca Peluang RI di Tengah Badai Tarif Trump

Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Foto: Bloomberg

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

Dalam hiruk-pikuk reaksi atas kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) yang baru, ada satu narasi yang dominan: kebijakan ini dianggap sebagai bentuk kesewenang-wenangan yang tidak berdasar.

Namun, sedikit yang menyadari bahwa di balik keputusan kontroversial ini, tersimpan logika ekonomi yang justru patut menjadi pelajaran bagi Indonesia.

Gelombang Proteksionisme yang Tidak Sepenuhnya Keliru

Amerika Serikat dengan defisit perdagangan barang mencapai US$1,2 triliun, sebenarnya sedang mencoba memperbaiki ketimpangan struktural yang selama ini diabaikan.

Memang benar bahwa defisit ini sebagian besar bersumber dari kebiasaan konsumsi masyarakat AS dan kebijakan fiskal mereka sendiri.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tarif asimetris yang diterapkan banyak negara—termasuk Indonesia dengan rata-rata tarif 8,6% terhadap produk AS—turut berkontribusi pada persoalan ini.

Yang menarik, metode penghitungan “tarif ekuivalen” yang digunakan AS, meskipun dikritik sebagai tidak konvensional, justru mengungkap sebuah realitas: dalam sistem perdagangan modern, hambatan non-tarif seperti persyaratan TKDN atau kebijakan DHE SDA sering kali lebih merusak dari sekadar bea masuk.

Ini adalah tamparan keras bagi kita semua yang selama ini bersembunyi di balik retorika perdagangan “adil”. Trump melihatnya bahwa perdagangan dunia saat ini tidak adil, pernyataan tersebut tidak sepenuhnya keliru.

Dampak Nyata: Bukan Kiamat bagi Ekspor Indonesia

Kepanikan yang melanda pelaku usaha saat ini berlebihan. Seperti ditulis oleh Mari Pangestu pada kompas (3/04) bahwa tarif AS sebagai “ancaman eksistensial” bagi ekspor Indonesia. Hal tersebut terlalu berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta terakhir.

Faktanya, ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang 12% dari total ekspor nasional—angka yang jauh lebih kecil dibandingkan ketergantungan Vietnam (28%) atau Meksiko (36%).

Sektor-sektor yang paling terdampak seperti tekstil dan alas kaki justru sudah lama sakit kronis akibat ketidakmampuan berinovasi dan ketergantungan berlebihan pada tenaga kerja murah.

Jadi sektor yang terdampak dari Tarif 32% trump yaitu TPT dan alas kaki tersebut sebenarnya sejak lama kehilangan daya saing akibat ketergantungan pada tenaga kerja murah, bukan semata karena tarif AS.

Baca juga: Mimpi Trump: Fair Trade atau Fear Trade?

Di balik ancaman, terselip peluang emas. Kebijakan Trump ini memaksa kita untuk melakukan lompatan besar di antaranya adalah:

Pertama, Industri elektronik bisa beralih dari sekadar perakitan menjadi penguasaan teknologi, mengikuti jejak Vietnam yang sukses menarik investasi semikonduktor.

Kedua, Sektor pertanian dan kelautan memiliki potensi besar di pasar Timur Tengah dan Afrika yang selama ini terabaikan.

Kenaikan tarif pada produk kayu justru bisa menjadi momentum untuk mengembangkan industri furnitur bernilai tambah tinggi, bukan sekadar ekspor kayu gelondongan.

Yang sering dilupakan banyak pihak adalah bahwa neraca perdagangan kita masih surplus—US$3,12 miliar pada Februari 2025.

Pelemahan rupiah lebih disebabkan faktor eksternal seperti kenaikan yield obligasi AS, bukan semata-mata oleh kebijakan tarif ini.

Diplomasi yang Lebih dari Sekadar Retorika

Saran untuk mengandalkan mekanisme TIFA dan solidaritas ASEAN terdengar mulia di atas kertas, tetapi sejarah membuktikan bahwa diplomasi perdagangan membutuhkan lebih dari sekadar pertemuan-pertemuan elitis.

Indonesia dan Negara ASEAN masih terjebak pada pertemuan elitis yang tidak membuahkan hasil signifikan. Di sisi lain AS di bawah kepemimpinan Trump saat ini jelas menganut pendekatan transaksional.

Mereka tidak akan menggugurkan tarif hanya karena protes atau janji-janji. Indonesia perlu menawarkan sesuatu yang konkret dan transaksional dalam melawan Trump.

Tawaran konkret Indonesia kepada Trump bisa dilakukan sebagai contoh berikut:

Pertama, Kemitraan strategis di bidang mineral kritikal, terutama nikel dan timah yang vital bagi industri teknologi AS.

Baca juga: America First: Strategi Negara Dagang

Baca juga: Tarif Sekunder AS: Tekanan atau Bumerang?

Penyederhanaan regulasi yang selama ini menjadi batu sandungan bagi investor AS, tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional harus dilakukan.

Kedua, Paket insentif khusus untuk perusahaan AS yang bersedia memindahkan basis produksi ke Indonesia.

Soal solidaritas ASEAN, kita harus jujur: selama ini ASEAN lebih sering menjadi forum diskusi daripada kekuatan nyata.

Ketika Vietnam justru mendapat keuntungan dari perang dagang AS-China dengan menarik relokasi pabrik, Indonesia malah sibuk berdebat tentang proteksionisme. Diplomasi ASEAN sungguh tidak dapat diandalkan.

Jalan Tengah yang Terlupakan

Ada tiga langkah strategis yang jarang disebut dalam debat publik diantaranya adalah

Pertama, Memperkuat posisi tawar melalui industrialisasi digital.

Daripada hanya fokus pada barang fisik yang rentan tarif, mengapa tidak menggenjot ekspor jasa digital seperti SaaS (Software as a Service) atau fintech yang tidak terkena bea masuk?

Kedua, Memanfaatkan kekuatan diaspora. Jutaan WNI di AS bisa menjadi duta dagang informal dan membantu membuka akses pasar.

Ketiga, Membentuk aliansi industri regional. Daripada sekadar berkoordinasi, Indonesia harus memimpin inisiatif seperti “ASEAN Industrial Alliance” untuk produksi bersama semikonduktor dan produk bernilai tambah tinggi.

Krisis sebagai Katalisator Perubahan

Badai tarif Trump bukanlah akhir dari dunia, melainkan ujian kedewasaan bagi ekonomi Indonesia.

Selama ini, kita terlalu nyaman dengan status quo—mengekspor komoditas mentah dan produk berbasis tenaga kerja murah sambil mengeluh tentang ketidakadilan sistem perdagangan global.

Kebijakan AS ini justru memberikan keuntungan tak terduga: ia memaksa kita untuk keluar dari zona nyaman. Masalahnya bukan terletak pada kebijakan Trump, tetapi pada kesiapan kita sendiri untuk berubah.

Baca juga: Menyelamatkan AS dari Kebangkrutan Walau Harus Membangkrutkan Dunia

Sejarah membuktikan bahwa negara-negara yang berhasil seperti Korea Selatan dan Taiwan justru bangkit setelah menghadapi tekanan perdagangan serupa.

Pertanyaannya: apakah Indonesia akan menjadi bangsa berikutnya yang bangkit dari tantangan, atau terus menjadi penonton dalam panggung ekonomi global?

Jawabannya ada di tangan kita semua. Untuk itu kita perlu tim negoisasi baru hebat bukan tim negosiasi yang gagal mengundang investor AS lalu.

*) Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

27 kali dilihat, 27 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *