Oleh: Awalil Rizky*
Berita tentang besarnya anggaran pendidikan yang tidak terealisasi pada APBN 2024 mengemuka di ruang publik beberapa hari lalu. Pemicunya, perdebatan Sri Mulyani Indrawati dengan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Frederic Palit tentang kinerja tersebut.
Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan agar anggaran pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasal 31 Ayat (4) menyebut “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenihi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional.”
Amanat konstitusi itu ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1).
Batas minimal 20% selama ini diartikan oleh Pemerintah dan DPR sebagai perhitungan dari nilai total belanja. Sebagai contoh, APBN 2025 yang merencanakan total belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun, dialokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp724,3 triliun. Telah memenuhi porsi 20% yang diwajibkan.
Meski yang menjadi basis perhitungan adalah nilai total Belanja Negara, namun upaya pemenuhan tidak hanya berupa pos belanja. Ditambahkan nilai pos Pembiayaan yang bersifat pengeluaran terkait pendidikan. Antara lain untuk Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan, Dana Abadi Penelitian, Dana Abadi Kebudayaan, Dana Abadi Perguruan Tinggi, dan lain sebagainya.
Baca juga: Serakahnomics dan Penguatan KPPU
Belanja sendiri terdiri atas Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dan Transfer ke Daerah (TKD). BPP dialokasikan ke berbagai Kementerian dan Lembaga, tidak hanya pada Kementerian Pendidikan. Pada APBN 2024 mencakup sekitar 24 Kementerian dan Lembaga. Dan ada yang melalui belanja Non K/L atau oleh Bendahara Umum Negara.
Perlu diketahui bahwa latar belakang perdebatan dalam rapat DPR yang diberitakan luas itu terkait realisasi APBN 2024.
Nilai anggaran pendidikan pada APBN 2024 sebesar Rp669,70 triliun. Alokasi itu mencapai 20% dari nilai total Belanja Negara yang ditetapkan sebesar Rp3.343,49 triliun.
Pemerintah mulai kesulitan memenuhi mandatory spending anggaran pendidikan, ketika kondisi fiskal memburuk. Tampak ada “rekayasa” alokasi pos-pos APBN untuk memenuhinya. Beberapa pos Belanja dan Pembiayaan diutak-atik agar termasuk kategori anggaran pendidikan.
Akibatnya, anggaran pendidikan dalam APBN tidak pernah terealisasi sepenuhnya sejak tahun 2021 sampai dengan 2024. Sebagai contoh, anggaran Pendidikan APBN 2024 di atas hanya terealisasi 85,10% atau sebesar Rp569,08 triliun.
Baca juga: RI Perlu Mengubah Strategi Negosiasi Perdagangan Internasional
Kecenderungan anggaran pendidikan tidak optimal direalisasikan berlangsung tiap tahun selama era Jokowi atau tahun 2015 sampai dengan 2024. Kondisinya makin buruk selama 4 tahun terakhir, yaitu: 2021 (87,20%), 2022 (77,30%), 2023 (82,23%) dan 2024 (85,10%).
Padahal, realisasi Belanja Negara sering mencapai atau melebihi rencana. Sebagai contoh, mencapai Rp3.359,76 triliun atau 100,49% dari yang dianggarkan pada APBN 2024. Akibatnya, diperhitungkan dari realisasinya, anggaran pendidikan hanya sebesar 16,94% dari total belanja. Tidak memenuhi batas mandatoris yang 20%.
Ketentuan mandatoris nyaris selalu dipenuhi dalam realisasi APBN selama 10 tahun era SBY. Masih berlanjut selama 5 tahun era Jokowi pertama. Namun, selanjutnya tidak lagi dipenuhi, yaitu: 2020 (18,25%), 2021 (17,21%), 2022 (15,51%), 2023 (16,45%), dan 2024 (16,94%).
Sebagai tambahan informasi, anggaran pendidikan APBN 2024 melalui Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp245,14 triliun hanya terealisasi sebesar Rp213,43 triliun atau 87,06%. Melalui Transfer Ke Daerah sebesar Rp346,56 triliun dan direaliasikan sebesar Rp340,65 triliun atau 98,29%. Sedangkan melalui Pembiayaan hanya terealisasi Rp15 triliun dari Rp77,00 triliun atau hanya 19,48%.
Pencermatan atas realisasi anggaran pendidikan selama era Jokowi, tampak yang melalui Belanja Pemerintah Pusat tidak pernah mencapai 100%. Kondisinya memburuk selama tiga tahun ini, yaitu: 2022 (83,86%), 2023 (75,21%), dan 2024 (87,06%).
Baca juga: Waspada Bahaya Populisme Program Kopdes Merah Putih
Realisasi Anggaran Pendidikan melalui Transfer Ke Daerah sering mendekati target, antara lain: 2022 (97,02%), 2023 (100,13%), dan 2024 (98,29%). Hal itu antara lain disebabkan alokasi pada relatif bersifat pembayaran yang cukup pasti. Contohnya: BOS, BOP Paud, dan Tunjangan Profesi Guru ASND.
Anggaran Pendidikan melalui Pembiayaan pada APBN 2024 sebesar Rp77 triliun. Sedangkan realisasi hanya Rp15 triliun atau 19,48%. Tingkat realisasi yang amat jauh di bawah rencana juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, antara lain: 2021 (43,67%), 2022 (17,04%), dan 2023 (28,78%).
Terdapat indikasi, alokasi melalui beberapa pos dalam pembiayaan memang hanya untuk mencukupi nilai mandatoris, dan sejak awal tidak bermaksud direalisasikan. Contoh pada APBN 2024 yang tidak direalisasikan antara lain: pos pembiayan pendidikan sebesar Rp52 triliun, Dana Abadi Penelitian sebesar Rp4 triliun, Dana Abadi Kebudayaan sebesar Rp2 triliun, dan Dana Abadi Perguruan Tinggi sebesar Rp4 triliun.
Dari uraian di atas, Pemerintah dan DPR mestinya menjelaskan kepada publik tentang pemenuhan atas mandatori anggaran pendidikan ini. Apalagi sempat ada wacana mengubah basis perhitungan, dari nilai belanja menjadi pendapatan. Terkesan sedang mencari cara agar sejak perencanaan bisa dikurangi lagi.
*) Ekonom Bright Institute