Oleh: Ahmad Hanafi*
Mengapa profesi politik seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa memperoleh gaji Rp230 juta sebulan atau Rp2,7 miliar setahun, sedangkan sejumlah profesi sektor publik lainnya bahkan tidak sampai sepersepuluhnya?
Apakah profesi di bidang politik lebih unggul jika dibandingkan dengan profesi sektor publik lainnya?
Kewenangan DPR untuk menentukan tunjangan bagi diri mereka sendiri menempatkan mereka dalam pusaran konflik kepentingan yang rawan penyalahgunaan. Sementara itu, publik menilai kinerja DPR tidak sebanding dengan tunjangan yang mereka terima; publik merasakan ketidakadilan sosial.
Profesionalisasi legislatif berkembang sejak 1971 di Inggris, seperti dalam laporan Top Salaries Review Body (TSRB: 1971), ketika anggota parlemen kesulitan untuk menghadiri rapat-rapat dan persidangan karena double job untuk memenuhi penghidupan mereka.
Pada awalnya anggota parlemen Inggris hanya menerima tunjangan 2 poundsterling per hari. Untuk meningkatkan kinerja ditetapkan kebijakan gaji yang ditanggung negara untuk memastikan setiap anggota parlemen dapat bekerja penuh waktu.
Meskipun telah ada pemisahan gaji dan pengeluaran untuk “bisnis parlemen”, kenyataannya wakil daerah pemilihan yang jauh dari ibukota membutuhkan anggaran yang lebih tinggi sehingga uang yang tersisa di saku mereka semakin kecil.
Lalu munculah kebijakan untuk memisahkan antara gaji dan pengeluaran “bisnis parlemen” dalam bentuk tunjangan kendaraan, kesekretariatan dan dana Daerah Pemilihan (Dapil) yang sifatnya dinamis.
Baca juga: Vox Populi Vox Dei: Suara Rakyat Jadi Penentu Arah Bangsa
Profesionalisme legislator terjadi jika semua pekerjaan telah terstandarkan dengan baik. Tidak hanya terkait undang-undang yang dihasilkan, tetapi proses untuk menghasilkannya juga bagian dari standarisasi profesi seperti penyerapan aspirasi, transparansi dokumen, pertanggungjawaban terhadap aspirasi yang telah diserap sebagai pertimbangan kebijakan, serta laporan pertanggungjawaban yang terstruktur dan menyeluruh.
Pergerakan anggota parlemen untuk memperjuangkan aspirasi konstituen membutuhkan kehadiran penuh di persidangan sehingga negara harus menjamin penghidupan mereka. Dalam pelaksanaan konstituensi, anggota parlemen memperoleh dukungan komunikasi yang baik, pengelolaan data, penataan aspirasi dan kemampuan argumentasi di persidangan. Untuk membangun profesionalisme setiap anggota parlemen didukung dengan sekelompok staf, kantor di Dapil dan serangkaian pekerjaan rumit untuk menjadi kebijakan.
Atas pekerjaan-pekerjaan tersebut anggota parlemen menerima remunerasi yang dihitung berdasarkan standar profesional bidang kerja, mulai dari tingkat kehadiran, keaktifan di ruang sidang, transparansi dokumen, penyerapan aspirasi, akuntabilitas dalam mempertimbangkan aspirasi dan laporan-laporannya.
Di Indonesia, bibit untuk membangun profesionalisme itu sudah ada pada era DPR Gotong Royong (DPR-GR). Pada 1961, ketentuan gaji dan tunjangan ketua, wakil ketua dan anggota DPR-GR diberlakukan beserta syarat untuk memperolehnya sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 209 Tahun 1961 sebagai implementasi UU Nomor 81 Tahun 1958.
Di masa harga beras Rp5 per liter, Ketua DPR memperoleh gaji pokok sebesar Rp6.000, Wakil Ketua Rp4.500, dan Anggota DPR Rp3.500 ditambah dengan sejumlah tunjangan lainnya.
Menariknya, PP tersebut mengatur persyaratan kehadiran anggota DPR-GR untuk memperoleh gaji dan tunjangannya. Anggota DPR-GR yang tidak menghadiri rapat sama sekali tidak akan memperoleh gaji dan tunjangan. Gaji dan tunjangan penuh diberikan bagi mereka yang kehadirannya di atas 50 persen.
Inisiatif profesionalisasi ini tidak mendapatkan porsi pembahasan pada masa-masa berikutnya. Sejumlah regulasi terkait hak keuangan dan administratif DPR pada 1974 (PP Nomor 15/1974), tahun 2000 (PP Nomor 7/2000), tahun 2003 (Keppres Nomor 59 dan 60/2003), dan tahun 2015 (SK Kemenkeu S-520/MK.02/2015), tak lagi mencantumkan kehadiran sebagai prasyarat Anggota DPR untuk memperoleh gaji dan tunjangannya.
Baca juga: Noel, Alarm Bahaya bagi Prabowo
Semenjak Reformasi 1998 secara perlahan muncul kesadaran baru bagi DPR untuk lebih mandiri dalam menentukan anggaran bagi dirinya sendiri. Pengaturan gaji DPR oleh pemerintah dianggap sebagai bentuk “cawe-cawe”.
Karena itu, DPR bermaksud mengatur kemandirian hak keuangan dan administratif-nya sebagaimana tertuang dalam UU MD3 pada 2009 dan 2014, bahwa hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPR disusun oleh Pimpinan DPR.
Saat Kemenkeu mengeluarkan SK S-520/MK.02/2015 tentang batas maksimal anggaran yang bisa digunakan oleh DPR dalam menaikkan tunjangannya, Badan Anggaran DPR mempermasalahkannya meskipun pada akhirnya disetujui oleh pemerintah.
Hak keuangan dan administratif ketua, wakil dan Anggota DPR ini semakin tampak seksi di mata para anggota DPR seiring dengan dinamisnya percaturan antara koalisi partai-partai pendukung pemerintah versus koalisi partai-partai non pemerintah.
Presiden perlu dukungan dari koalisi untuk melancarkan program-programnya dalam APBN. Sementara DPR berupaya bernegosiasi dengan kenaikan tunjangan, kenaikan dana reses, dan alokasi program pemerintah untuk DPR.
Namun satu hal yang dilupakan, bahwa ada dua tuntutan publik yang belum terjawab oleh DPR. Pertama, remunerasi yang tinggi menuntut profesionalisme yang tinggi pula. DPR dianggap profesional, tidak hanya diukur dari jumlah undang-undang yang disahkan, tetapi sejauh mana representasi publik dapat terakomodir dalam kebijakan.
Itu pun tidak cukup, DPR harus mampu menerjemahkannya dengan publikasi rapat-rapat, perubahan pasal dalam undangan-undang berbasis aspirasi publik, laporan reses, revisi anggaran berbasis aspirasi, dan seterusnya.
Kedua, DPR tidak mampu menunjukkan basis penentuan gaji dan tunjangan yang mereka terima. Mana yang digunakan untuk menunjang kebutuhan dasar untuk hidup, mana yang dipergunakan untuk menunjang tugas-tugas kedewanan. Pun tak ada publikasi penggunaan anggaran publik tersebut.
Maka tak heran muncul ketidakpercayaan publik bahwa pengadaan tunjangan itu hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok. Jamak diketahui setiap anggota DPR diwajibkan oleh partai politik untuk “setoran” dan biaya kampanye politik Caleg Pemilu 2024 juga cukup tinggi.
Panel Independen
Dalam rangka menghindari konflik kepentingan dalam penentuan gaji, tunjangan, dan biaya kedewanan lainnya, serta untuk memenuhi aspek profesionalisasi legislatif, diperlukan terobosan baru bagi DPR untuk memastikan proporsionalitas.
Salah satunya adalah dengan pembentukan panel independen untuk mereview dan merekomendasikan standar profesionalisme parlemen, termasuk gaji, tunjangan, dan biaya untuk bisnis parlemen.
Panel independen bukan hal baru. Di Parlemen Inggris, investigasi terhadap administrasi biaya bisnis anggota parlemen yang dilakukan setelah investigasi Daily Telegraph pada 2009, mengungkap kerentanan inti dalam administrasi kepegawaian dan biaya bisnis anggota parlemen sehingga terjadi penyalahgunaan.
Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) dibentuk untuk mengatasi persoalan kerentanan tersebut dengan sistem baru berdasarkan prinsip transparansi, regulasi, dan independensi.
Di Selandia Baru terdapat Remuneration Authority yang bertugas menetapkan gaji dan tunjangan parlemen berdasarkan Undang-Undang Anggota Parlemen Selandia Baru dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti perbandingan yang adil dengan peran lain, persyaratan pekerjaan, dan keadilan bagi Anggota Parlemen maupun wajib pajak.
Baca juga: Narasi Berbahaya Ambil Alih Paksa BCA
Pembentukan badan baru di luar DPR untuk mengurusi DPR di Indonesia sebagaimana di Inggris dan Selandia Baru tampaknya tidak lazim. Opsi pembentukan panel khusus lebih masuk akal. Tugasnya untuk menerjemahkan prinsip proporsionalitas, standar biaya yang rasional, standar kerja, transparansi dan partisipasi dalam penentuan gaji dan tunjangan anggota DPR.
Di zaman yang serba terbuka ini, sudah tidak tabu lagi membuka informasi berapa gaji, tunjangan dan dana-dana lain untuk anggota legislatif, termasuk laporan penggunaan biaya itu. Sebagai contoh, parlemen Kanada dengan jelas mempublikasi laporan penggunaan biaya setiap anggotanya. Ini yang dapat dijadikan rujukan oleh otoritas independen tersebut.
Di tengah desakan publik yang semakin memanas akhir-akhir ini, tampaknya pilihan membentuk panel dapat menjadi opsi yang bijak bagi DPR untuk membangun kembali kepercayaan publik dan menepis kecurigaan.
Penjarahan sejumlah rumah Anggota DPR belakangan ini memang telah menimbulkan keprihatinan, tetapi ada pelajaran yang kita ambil darinya: kepercayaan publik tidak bisa dibangun dengan janji, tapi dengan langkah strategis, salah satunya dengan pilihan kebijakan pembentukan panel independen.
*) Direktur Indonesian Parliamentary Centre