1446
1446

Menjaga Rating, Menjaga Negeri

Ilustrasi kredit. Foto: Shutterstock

Oleh: Syafruddin Karimi*

Peringkat kredit bukan sekadar skor. Ia adalah cermin kepercayaan pasar global terhadap kapasitas dan komitmen suatu negara dalam mengelola keuangan publik. Bagi Indonesia, menjaga rating kredit bukan hanya soal bunga utang yang lebih rendah, tapi juga tentang menjaga martabat dan kredibilitas sebagai negara berkembang yang ingin tumbuh berkelanjutan.

Dalam konteks 2025, laporan terbaru dari lembaga pemeringkat seperti Moody’s, S&P, dan Fitch memberikan sinyal penting: Indonesia masih berada di zona investment grade, tapi hanya satu langkah dari tepi jurang downgrade.

Target pemerintah untuk menaikkan rasio penerimaan negara hingga 23% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan menaikkan rasio penerimaan pajak ke level 18%, adalah ambisi besar yang patut diapresiasi. Namun, pasar tidak menilai target — pasar menilai implementasi dan kredibilitas kebijakan.

Dalam situasi global yang tidak pasti, kebijakan fiskal dan moneter Indonesia harus berbicara dalam satu suara. Tanpa harmoni, persepsi risiko akan meningkat, dan rating pun bisa melorot.

Kita bisa melihat bahwa seluruh lembaga pemeringkat utama masih menempatkan Indonesia di level investment grade. Namun, posisi kita berada di ambang batas terendah dalam kategori ini. Bila pemerintah gagal mengelola persepsi risiko—melalui kebijakan fiskal yang ekspansif tapi tidak kredibel—downgrade bisa menjadi kenyataan.

Program-program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan hilirisasi industri membutuhkan dana besar. Dalam jangka panjang, program ini bisa menjadi katalis pertumbuhan. Namun dalam jangka pendek, pasar akan bertanya: dari mana sumber dananya? Apakah melalui pajak yang meningkat? Atau melalui utang yang makin menumpuk?

Jawabannya harus jelas dan terukur. Pemerintah harus menunjukkan roadmap fiskal yang bisa diverifikasi pasar. Bila tax ratio ingin dinaikkan ke 18% dari PDB, maka strategi peningkatan penerimaan harus transparan. Ini berarti: memperluas basis pajak secara adil, menertibkan sektor informal yang telah mapan, dan memangkas tax expenditure yang tidak efektif. Digitalisasi perpajakan melalui core tax system harus dipercepat.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) tidak bisa hanya menjadi penjaga inflasi dan nilai tukar. BI harus berperan sebagai mitra fiskal strategis tanpa mengorbankan independensinya.

Koordinasi fiskal-moneter adalah syarat mutlak dalam menjaga kepercayaan pasar. Ketika fiskal ekspansif, moneter tidak boleh kontradiktif. Harmonisasi keduanya menunjukkan adanya satu narasi kebijakan yang utuh.

Moody’s dan lembaga pemeringkat lainnya tidak melihat Indonesia hanya dari angka defisit atau utang. Mereka menilai: apakah pemerintah mampu menyampaikan kebijakan yang kredibel, terukur, dan dapat dieksekusi.

Mereka juga melihat apakah belanja pemerintah produktif, tepat sasaran, dan efisien. Oleh karena itu, program-program besar tidak cukup hanya diumumkan, tetapi harus diiringi dengan evaluasi kinerja dan tata kelola yang kuat.

Kita juga perlu menyadari bahwa dalam era suku bunga tinggi global, ketergantungan terhadap pembiayaan utang akan membawa konsekuensi berat. Yield Surat Berharga Negara (SBN) bisa naik drastis jika rating turun.

Investor institusi akan mulai mempertimbangkan ulang eksposurnya di Indonesia. Dan pada titik tertentu, pelemahan nilai tukar akan berdampak langsung ke harga pangan dan daya beli masyarakat.

Pemerintah tidak bisa hanya berharap pada retorika dan optimisme. Yang dibutuhkan pasar adalah sinyal nyata: bahwa setiap kebijakan didukung oleh data, asumsi fiskal yang realistis, dan kemampuan eksekusi birokrasi. Tanpa itu, risiko meningkat, premi risiko naik, dan rating bisa menurun meski target APBN tercapai.

Sebaliknya, jika pemerintah berhasil mengomunikasikan arah kebijakan secara transparan, membangun kepercayaan pasar, dan menunjukkan bahwa belanja negara menghasilkan dampak ekonomi nyata, maka rating bisa dipertahankan—bahkan ditingkatkan. Dan ketika rating naik, seluruh instrumen fiskal menjadi lebih ringan: bunga utang lebih murah, minat investor naik, dan belanja sosial bisa diperluas secara berkelanjutan.

Rating bukan tujuan akhir. Tapi ia adalah alat ukur yang memengaruhi seluruh struktur ekonomi. Menjaga rating berarti menjaga kepercayaan. Dan menjaga kepercayaan berarti menjaga masa depan negeri.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas

7 kali dilihat, 7 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *