Oleh: Ramdan Nugraha*
Masyarakat yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, secara positif mempengaruhi kualitas sebuah Negara. Hal ini seharusnya disadari sejak awal oleh bangsa Indonesia bahkan sejak Budi Utomo pada 20 Mei 1908, lahir sebagai gerakan nasional pertama di Indonesia, yang bertujuan untuk menguatkan tiga pilar penting dalam upaya merebut kemerdekaan. Tiga pilar tersebut adalah pendidikan, kebudayaan dan politik.
Pendidikan menjadi basis gerakan Budi Utomo kala itu, dimana para pendirinya, adalah representasi kelompok intelektual yang mendapat akses terhadap pengetahuan. Salah satu puncak gerakan ini adalah lahirnya peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, sebuah gagasan visioner dan fundamental, tentang cita-cita persatuan seluruh rakyat yang dimotori oleh kelompok intelektual muda Indonesia.
Dalam konteks Indonesia merdeka hari ini, tidak naif harus kita akui bahwa tata kelola pendidikan Indonesia secara konsisten menjauh dari semangat perubahan dan transformasi kualitas sumber daya manusianya. “Ganti menteri ganti aturan” menjadi semacam budaya gimik yang tidak produktif. Padahal, bila kita lihat latar belakang kualitas para menteri pendidikan di republik ini dalam satu dekade terakhir, adalah orang-orang yang sudah tepat, pakar dan ahli dalam pendidikan, bahkan cukup revolusioner.
Mengutip dari (detiknews: Mengejar Jumlah dan Kualitas Lulusan S2 dan S3, Selasa, 30 Jan 2024 14:15 WIB), jumlah lulusan Magister dan Doktor di Indonesia masih terkategori rendah. Salah satu penyebab terjadinya kondisi ini, salah satunya disebabkan oleh proses pendidikan dasar dan menengah.
Kualitas pendidikan dasar dan menengah dapat mempengaruhi kesiapan dan motivasi siswa untuk melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi. Kurangnya persiapan ini dapat mempersulit mahasiswa untuk berhasil menyelesaikan program S2 dan S3.
Baca juga: Hari Buruh: Sebuah Refleksi
Dalam pandangan penulis, salah satu hal yang berkontribusi pada stagnansi pendidikan Indonesia adalah masih berlakunya pandangan kuantitatif untuk menilai kualitas pendidikan kita, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Organisasi dan individu berlomba mendirikan sekolah dan lembaga pendidikan, namun sebatas memperbanyak jumlah, tidak berfokus pada tujuan utamanya (baca: mencerdaskan kehidupan bangsa).
Adanya realitas bantuan pemerintah terhadap sekolah-sekolah seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang dalam banyak kasus dijadikan bancakan oleh para oknum lembaga pendidikan, menggiring sekolah-sekolah berlomba-lomba untuk memperbanyak jumlah siswa. Semakin banyak jumlah siswa, semakin besar dana BOS yang berpotensi diberikan pemerintah.
Tes seleksi masuk sekolah semakin minim karena hanya bertumpu pada nilai rapor siswa, yang dalam banyak kondisi, dilakukan manipulasi nilai agar lancar masuk ke sekolah favorit lanjutan. Fakta ini juga diungkap oleh Putri, dkk (2023) dalam riset yang berjudul “Pentingnya Evaluasi Dalam Pembelajaran dan Akibat Memanipulasinya”. Dalam pembahasan temuan risetnya, salah satu kenyataan yang terjadi dalam praktik pendidikan adalah melakukan kecurangan dengan memanipulasi nilai rapor siswa, tujuannya untuk mendapatkan predikat sekolah berkualitas baik.
Praktik keliru di atas, sebetulnya masih bisa ditanggulangi ketika siswa yang diterima pada jenjang sekolah berikutnya, diberikan asesmen awal untuk melihat kualitas capaian akademiknya. Dalam kurikulum merdeka pada era Nadiem Makariem, diagnostic test menjadi salah satu unsur penting agar sekolah dan guru-guru bisa memiliki peta yang jelas terkait kualitas anak didiknya, sehingga bisa mendesain pola dan pendekatan dalam proses pembelajaran yang akan memiliki output yang maksimal.
Selain itu, segelintir pejabat di kementerian memiliki kebiasaan comparative-study yang bias. Misalnya, kunjungan studi banding yang lebih sering diarahkan pada keputusan-keputusan pendek dan minus riset, Negara dengan kualitas pendidikan yang berada pada top-tier dunia, secara sporadis, program dan kurikulum mereka ditiru tanpa penyesuaian yang tepat.
Baca juga: Tarif dan Bullying Ekonomi: Dunia Diam, Xi Jinping Menantang!
Dalam beberapa surat kabar baru-baru ini, ada banyak siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang gagal menguasai fondasi dasar pengetahuan seperti membaca dan berhitung. Sebuah fenomena menyedihkan. Namun dalam hal isu-isu viral, banyak siswa bertanya kepada gurunya terkait permasalahan yang mereka lihat dan baca dari media sosial.
Semacam ada fokus yang gagal dan menciptakan fenomena yang disebut brain-rot, kondisi seseorang yang tidak bisa memiliki fokus karena terlalu banyak mengonsumsi informasi dan konten tidak berbobot di media sosial.
Dalam beberapa kondisi, siswa akan sangat antusias ketika diajak bergosip tentang isu dan peristiwa viral, namun ketika diajak untuk berdiskusi tentang tema-tema penting yang berdampak pada kehidupan banyak manusia, dinamika kelasnya akan cenderung satu arah. Hal ini disebabkan latar belakang pengetahuan dan wawasan siswa yang tertinggal, meski setiap hari membuka ponsel pintarnya.
Siswa datang tepat waktu ke sekolah bukan karena kesadaran takut tertinggal penjelasan materi dari guru, namun karena takut diberikan hukuman dan pembinaan dari bidang kesiswaan. Siswa meminta perbaikan nilai bukan karena dorongan sadar atas kemampuannya yang belum maksimal menguasai materi pelajaran, namun karena nilai angka di rapor akan sangat berpengaruh pada proses pendaftaran di jenjang pendidikan berikutnya.
Baca juga: Kalau Framing Bisa Dipenjara, Siapa Lagi yang Bisa Bicara?
Semua pada akhirnya masih tentang dan hanya sebatas angka yang tidak bisa menjawab tantangan realitas peradaban hari ini. Sehingga, keputusan-keputusan hidup mereka tidak bisa dibantu oleh angka-angka yang membanggakan dan tercantum di rapor. Akibatnya, judi online, seks bebas, tawuran, bullying, masih menjadi pemandangan umum yang bisa kita lihat sebagai permasalahan dunia pendidikan kita saat ini.
Karena yang dibentuk dari siswa bukan karakter manusianya, namun hanya sebatas atribut administrasi pendidikan yang menjadi validasi guru, orang tua, bahkan lembaga pendidikan lanjutannya. Lebih parah, assessment yang dilakukan untuk mengukur kualitas siswa, dilakukan oleh lembaga yang memberikan proses pembelajaran itu sendiri, sehingga sangat rentan dengan adanya conflict of interest.
Banyak sekolah berpotensi berlomba-lomba memberikan siswanya nilai paling tinggi dalam rangka menyenangkan orang tua, menyenangkan pimpinan lembaga, dinas, hingga menyenangkan divisi kementerian yang bertugas melakukan evaluasi kinerja sekolah, lagi-lagi, hanya dengan melihat angka.
Ini momentum berbenah secara serius untuk dunia pendidikan Indonesia. Perlu ada tim khusus di kementerian pendidikan yang bertugas untuk secara konsisten melakukan riset terhadap permasalahan Negara, baik yang bersifat mikro maupun makro, lalu ditetapkan kebutuhan atas keterampilan standar yang wajib dimiliki siswa sebagai lulusan sekolah, paling minimal adalah untuk membekali diri mereka tentang keterampilan bertahan hidup yang paling dasar, seperti kreativitas produktif dalam menghasilkan kekuatan finansial secara mandiri.
Baca juga: Kisruh Program MBG: Tekor Asal Kesohor
Antrian pelamar kerja yang banyak diberitakan di ruang media sosial kita, menunjukkan bahwa betapa banyak lulusan lembaga pendidikan yang tidak terserap dunia kerja secara optimal. Ada hal yang tidak kawin, antara kebutuhan industri kerja, dengan keterampilan lulusan. Solusi sederhanya adalah perlu adanya ilmu-ilmu terapan yang masuk kurikulum, berkaitan dengan skill kreatif dasar untuk bertahan hidup.
Sehingga, narasi tentang penguatan UMKM tidak perlu secara dramatis digembar-gemborkan oleh pemerintah, ketika dominasi lulusan lembaga pendidikan sudah memiliki kesadaran penuh untuk bisa bertahan hidup dengan keterampilan kreatif yang sudah mereka pahami dan kuasai. Fitrah kehidupan itu adalah perubahan, begitu juga pengetahuan yang akan terus mengalami perkembangan.
Generasi yang bisa beradaptasi cepat dengan keniscayaan perubahan, adalah generasi yang akan hidup dan berpotensi melakukan keberlanjutan hidup yang lebih baik pada generasi-generasi berikutnya. Unsur utama yang bisa menjadi penunjang terpenuhinya kondisi ideal tersebut adalah dengan pendidikan yang mengajarkan tentang permasalahan kontekstual, yang terus merangsang munculnya inovasi kreatif sebagai solusi untuk tiap generasi yang akan memenangkan peradaban.
Semua harapan tentang kualitas sumber daya manusia di atas itu, tidak akan pernah terjadi jika tidak ada sebuah kehendak politik yang bisa memproduksi kebijakan yang tepat, terarah, dan terukur. Selamat hari pendidikan nasional, masih ada waktu untuk berbenah, sebelum terlambat sama sekali!
*) Inisiator Civil Alliance for A Stable and Established Democracy (CASED)