Banner Iklan

Program Ekonomi Perawatan, Kemen PPPA: Pengumpulan Data Masih Bersifat Parsial

Kemen PPPA mengamini ketersediaan dan aksesibilitas data terkait kerja-kerja perawatan masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Untuk mengatasinya, diperlukan kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, serta organisasi masyarakat guna menyusun sistem data yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Foto: apakabar.co.id/ Jekson S

apakabar.co.id, JAKARTA – Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Eko Novi Ariyanti Rahayu Damayanti menjelaskan tantangan dalam memperoleh data terkait ekonomi perawatan.

Saat ini, kata Novi, masih terdapat berbagai kendala dalam mendapatkan data yang akurat dan terpilah, baik di tingkat kementerian/lembaga maupun di tingkat masyarakat.

“Ya, ini kemarin kami diskusi dengan teman-teman ILO, terkait dengan data. FGD dengan beberapa kementerian/ lembaga dan juga lembaga dan beberapa masyarakat terkait dengan data,” ujar Novi dalam workshop jurnalis ‘Ekonomi Perawatan dari Persektif Media’ yang diadakan AJI Jakarta di Jakarta, 11 Januari 2025.

Selama ini, papar Novi, terdapat kesulitan dalam mengakses dan ketersediaan data. Beberapa sumber data yang tersedia saat ini, ternyata belum sepenuhnya mencakup informasi yang dibutuhkan.

Akibat keterbatasan itu, Kemen PPPA masih bergantung dari data keluarga BKKBN yang sudah berbasis by name by address. Namun data tersebut belum mencakup informasi spesifik mengenai jumlah lansia dalam keluarga, misalnya.

“Memang tidak mudah mendapatkan data. Kalau kita berbasis data keluarga yang ada di BKPBN, misalnya. Itu kan, by name by address datanya sudah ada. Tetapi kita tidak bisa mendapatkan data, berapa sih di dalam keluarga jumlah lansia. Itu kan mungkin agak mengalami kesulitan,” papar Novi.

Selain itu, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) juga kerap digunakan. Hanya saja, data tersebut juga tidak memberikan detail jumlah lansia yang berada dalam sebuah rumah tangga.

“Data DTKS juga misalnya, kan tidak mencakup terkait berapa jumlah lansia yang ada,” ujarnya.

Bahkan data dari Kementerian/Lembaga (KL), ternyata akses dan keterpaduan data yang dimiliki masih menjadi tantangan.

“Ini memang menjadi PR kita bersama terkait data, karena kalau kita berbasis hanya pada kementerian lembaga data itu agak susah,” terang Novi.

Kebutuhan data yang lebih komprehensif, menurut Novi, seharusnya tidak hanya bersumber dari kementerian dan lembaga, namun juga berasal dari pemerintah daerah serta organisasi masyarakat.

Beberapa data spesifik yang masih sulit diperoleh, meliputi jumlah lansia dalam keluarga yang membutuhkan perawatan, atau jumlah anak yang terlibat dalam kerja perawatan, khususnya di daerah dengan banyak pekerja migran.

“Karena memang selama ini belum ada data yang signifikan menyebutkan di dalam keluarga tersebut, ada berapa lansia yang terkait dengan kerja perawatan,” kata Novi.

Ia menambahkan, “Atau, ada berapa lansia yang diasuh di dalam rumah tangga tersebut. Ada berapa anak kerja, misalnya di daerah kampung migran.”

Termasuk data penerima manfaat program berdasarkan jenis kelamin dan kelompok masyarakat juga belum bisa didapatkan. Padahal, negara bertanggungjawab dalam menyediakan data agar bisa digunakan dalam perumusan program pembangunan yang lebih tepat sasaran.

Data ini tidak hanya kita dapatkan dari negara, tapi juga kita bisa berbasis pada pemerintah daerah atau lembaga masyarakat yang ada di daerah,”  katanya.

Novi menegaskan, “Dan ini menjadi PR kami sebetulnya untuk mendapatkan data tersebut, karena kalau kita berbasis pada KL ada kesulitan.”

Selama ini, upaya dan tantangan dalam pengumpulan data masih bersifat parsial. Pemerintah sendiri masih mengandalkan sumber data seperti Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) dari BPS, serta data dari komunitas dan organisasi masyarakat.

“Nah mungkin kita bisa melalui teman-teman dari lembaga masyarakat yang ada di pemerintah daerah. Itu tingkat kesulitannya seperti itu,” ujar Novi.

Menurut Novi, tantangan tetap ada, terutama dalam memperoleh data terpilah dan memperkuat koordinasi antar-pemangku kepentingan.

“Satu contoh saja, ketika kami menginginkan ada data terpilah terkait program kegiatan atau penerima manfaat pada kelompok masyarakat yang jenis kelaminnya laki-laki dan perempuan, itu saja bukan hal yang mudah,” tegasnya.

Karena itu, Novi mengamini bahwa ketersediaan dan aksesibilitas data terkait ekonomi perawatan masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Untuk mengatasinya, diperlukan kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, serta organisasi masyarakat guna menyusun sistem data yang lebih komprehensif dan terintegrasi.

“Nah paling kami bisa mendapatkan data berbasis dari Susenas, data dari BPS, atau data dari komunitas yang bisa kami dapatkan. Itu kesulitan-kesulitan kami seperti itu,” tandasnya.

144 kali dilihat, 148 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *