Revisi UU Sisdiknas, JPPI: Pendidikan Harus Berkeadilan

Guru menyampaikan materi pelajaran kepada siswa dalam kegiatan belajar mengajar di SDN Pekunden, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (12/11/2024). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTAPendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara, bukan komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar. Itulah gagasan utama yang disuarakan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dalam revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

Dalam paparannya, Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menegaskan bahwa arah pendidikan Indonesia harus berpihak pada keadilan sosial. Pasalnya, selama sepuluh tahun terakhir (2014–2024), partisipasi sekolah mengalami stagnasi, terutama pada kelompok usia 13–15 tahun dan 16–18 tahun.

Bahkan, untuk usia 16–18 tahun, tingkat partisipasi sekolah nasional masih di bawah 80%. Ketimpangan antarwilayah juga mencolok. DI Yogyakarta mencapai angka partisipasi sekolah (APS) tertinggi yakni 90,36%, sementara daerah terendah hanya 47,65%.

Kondisi ini diperparah oleh daya tampung sekolah negeri yang tidak memadai. Di jenjang pendidikan dasar, SD hanya mampu menampung 87,7% siswa, sedangkan SMP hanya 54,6%.

“Pada tingkat menengah, kapasitas sekolah negeri hanya 39,6%, membuat banyak siswa terpaksa masuk sekolah swasta yang berbayar mahal,” paparnya.

JPPI mengingatkan bahwa program wajib belajar harus benar-benar dijamin oleh negara, baik dari segi biaya maupun infrastruktur. Negara tidak boleh hanya mewajibkan, tetapi juga wajib menyediakan sarana dan prasarana yang memungkinkan semua anak dapat mengakses pendidikan secara gratis.

Privatisasi pendidikan juga menuai sorotan tajam. Negara, kata Ubaid, telah lalai melindungi hak masyarakat dari praktik komersialisasi pendidikan, seperti pungutan liar di sekolah negeri, mahalnya biaya masuk, serta menjamurnya sekolah swasta elit yang hanya bisa diakses kelompok ekonomi menengah ke atas.

“Negara harus menutup celah privatisasi pendidikan. Pendidikan adalah hak konstitusional, bukan barang dagangan. Jangan biarkan sekolah berubah menjadi toko ijazah,” tegas Ubaid Matraji dalam paparannya.

Selain itu, revisi UU Sisdiknas diminta tetap mempertahankan prinsip satu sistem pendidikan nasional, tanggung jawab pemerintah terhadap wajib belajar, partisipasi masyarakat dalam dewan sekolah, akses pendidikan tanpa pungutan, desentralisasi kurikulum, dan evaluasi pendidikan yang menyeluruh.

Selain itu, sejumlah ketentuan dalam UU perlu diperbaiki. Misalnya, alokasi dana pendidikan yang perlu diperjelas penggunaannya, peninjauan ulang badan hukum pendidikan yang bersifat nirlaba, dan pembentukan badan khusus untuk mencegah komersialisasi layanan pendidikan.

“Perlindungan terhadap kesejahteraan guru dan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah juga menjadi poin penting yang harus ditata ulang,” jelasnya.

JPPI juga menyarankan agar proses revisi UU tidak dilakukan tergesa-gesa. DPR dan pemerintah diharapkan membuka ruang partisipasi publik secara luas, termasuk masyarakat sipil dan kelompok marginal.

“Transparansi dalam penyusunan naskah dan diskusi per topik akan membantu menghasilkan kebijakan pendidikan yang lebih adil, manusiawi, dan berpihak pada semua warga negara,” pungkasnya.

35 kali dilihat, 35 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *