1446
1446

Surplus Neraca Dagang dan Paradoks Ekonomi Domestik

Ilustrasi aktivitas ekspor- impor. Foto: Freepik.com

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

Surplus neraca dagang 58 bulan berturut-turut sampai Februari 2025 terakhir adalah prestasi, namun pertanyaan kritis muncul: seberapa besar kontribusi ekspor ini terhadap perekonomian domestik, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak daya beli?

Paradoks Pertumbuhan di Tengah Ketidakseimbangan

Sejak Mei 2020, Indonesia terus mencatat surplus neraca dagang, dengan capaian terbaru pada Februari 2025 sebesar USD 3,12 miliar. Prestasi ini patut diapresiasi, mengingat terjadi dalam situasi global yang dinamis, mulai dari krisis energi hingga perlambatan ekonomi di sejumlah negara.

Namun, di balik angka-angka optimis ini, tersimpan paradoks yang mengganggu: surplus perdagangan justru beriringan dengan melemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Bagaimana dua fenomena ini bisa terjadi secara bersamaan? Apa yang sebenarnya terjadi di balik tren surplus 58 bulan berturut-turut ini?

Kekuatan Ekspor Nonmigas: Pendorong Utama Surplus

Surplus neraca dagang Indonesia selama lima tahun terakhir tak lepas dari kinerja ekspor nonmigas yang konsisten.

Pada Februari 2025, ekspor nonmigas menyumbang USD 21,98 miliar, naik 2,58% dari Januari 2025. Sektor ini didominasi oleh komoditas seperti logam mulia, batu bara, bijih besi, dan produk pertanian.

Negara tujuan utama seperti Amerika Serikat, India, Filipina, dan Vietnam menjadi pasar andalan, dengan pertumbuhan ekspor ke Pakistan (69,09%), Spanyol (67,98%), dan Kanada (48,78%) menunjukkan diversifikasi pasar yang mulai terbuka.

Peningkatan ekspor ini didukung oleh permintaan global yang stabil, terutama dari negara-negara yang sedang dalam fase pemulihan pascapandemi dan kebutuhan industri manufaktur global.

Misalnya, permintaan bijih nikel dan logam mulia dari Indonesia meningkat seiring dengan transisi energi di Eropa dan Amerika. Selain itu, kenaikan harga komoditas di pasar internasional turut memperkuat nilai ekspor.

Namun, pertanyaan kritis muncul: seberapa besar kontribusi ekspor ini terhadap perekonomian domestik, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak daya beli?

Impor Bahan Baku vs Barang Konsumsi: Cerminan Ketimpangan Pertumbuhan

Salah satu faktor kunci surplus neraca dagang adalah pola impor yang selektif.

Pada Februari 2025, impor Indonesia naik 5,18% secara bulanan, tetapi peningkatan ini didominasi oleh bahan baku (73,90%) dan barang modal (18,31%). Impor bahan baku seperti logam mulia, minyak mentah, dan gandum meningkat signifikan, sementara impor barang konsumsi justru turun 10,61%.

Penurunan impor barang konsumsi—seperti daging lembu beku, beras, dan buah-buahan—mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat, yang juga terkonfirmasi melalui penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari 127,2 ke 126,4.

Di sisi lain, tingginya impor bahan baku dan barang modal menunjukkan bahwa sektor manufaktur Indonesia sedang dalam fase ekspansi.

Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur yang mencapai 53,6 pada Februari 2025 mengindikasikan aktivitas industri yang meningkat. Namun, pertumbuhan ini belum sepenuhnya berdampak pada penyerapan tenaga kerja.

Banyak industri justru mengandalkan teknologi dan otomatisasi, sehingga ekspansi produksi tidak diikuti oleh penambahan karyawan. Akibatnya, PHK di sektor padat karya—seperti retail, pariwisata, dan UMKM—terus terjadi, sementara lapangan kerja baru di sektor manufaktur berteknologi tinggi terbatas.

Ekspor Komoditas vs Daya Saing Industri: Dilema Jangka Panjang

Surplus neraca dagang Indonesia selama ini sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah atau setengah jadi.

Komoditas seperti batu bara, nikel, dan minyak sawit masih menjadi andalan, sementara ekspor produk manufaktur bernilai tambah tinggi—seperti elektronik atau kendaraan—masih terbatas. Kondisi ini menciptakan kerentanan struktural.

Ketika harga komoditas global tinggi, surplus mudah tercapai, tetapi ketika harga turun, neraca dagang berpotensi defisit. Selain itu, ketergantungan pada ekspor komoditas kurang berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan pekerja.

Sektor pertambangan dan perkebunan, misalnya, memang menciptakan lapangan kerja, tetapi upah yang diberikan seringkali tidak sebanding dengan risiko kerja dan fluktuasi permintaan.

Di sisi lain, industri manufaktur yang membutuhkan keterampilan tinggi belum mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang digerakkan ekspor tidak serta-merta mengurangi pengangguran atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

PHK dan Daya Beli: Dampak dari Pertumbuhan yang Tidak Inklusif

Maraknya PHK dalam beberapa tahun terakhir—terutama di sektor ritel, tekstil, dan jasa—menjadi bukti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih timpang.

Sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik, seperti UMKM dan pariwisata, tertekan oleh daya beli masyarakat yang melemah.

Inflasi harga pangan dan energi, yang sempat melonjak pada 2023-2024, memperparah beban rumah tangga. Meski inflasi mulai terkendali, upah riil pekerja tidak mengalami kenaikan signifikan, sehingga konsumsi rumah tangga tetap lesu.

Situasi ini diperburuk oleh ketidakseimbangan dalam struktur ekonomi. Pertumbuhan yang digerakkan ekspor komoditas dan industri padat modal tidak menyentuh sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja.

Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, banyak perusahaan justru melakukan efisiensi melalui otomatisasi.

Dampaknya, angka pengangguran terbuka (TPT) tetap tinggi, terutama di kalangan pemuda dan lulusan baru. PHK di sektor formal juga mendorong pergeseran ke sektor informal, yang umumnya menawarkan upah rendah dan tidak ada jaminan sosial.

Kebijakan Pemerintah: Surplus Neraca Dagang, Ketimpangan Melebar

Pemerintah patut diacungi jempol atas keberhasilan menjaga surplus neraca dagang melalui kebijakan diversifikasi pasar ekspor dan insentif bagi industri nonmigas. Namun, fokus berlebihan pada pertumbuhan ekspor tanpa memperkuat fundamental ekonomi domestik berisiko memperlebar ketimpangan.

Program seperti hilirisasi mineral memang strategis, tetapi implementasinya perlu dipercepat agar nilai tambah benar-benar dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya korporasi besar. Di sisi lain, langkah untuk mendongkrak daya beli—seperti bantuan sosial dan subsidi energi—masih bersifat temporer.

Jika tidak diikuti oleh perbaikan sistemik, seperti peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran ketergantungan pada tenaga kerja murah dan ekspor bahan mentah.

Selain itu, pemerintah perlu merancang strategi industri yang memprioritaskan padat karya berbasis teknologi, sehingga ekspansi manufaktur bisa menyerap lebih banyak pekerja.

Menuju Keseimbangan Baru: Surplus Perdagangan Bukanlah Tujuan Akhir

Surplus neraca dagang 58 bulan berturut-turut adalah prestasi, tetapi bukan indikator utama kesejahteraan. Indonesia perlu belajar dari kesalahan masa lalu, di mana pertumbuhan ekonomi tinggi tidak diikuti oleh pemerataan.

Ke depan, kebijakan perdagangan harus sejalan dengan agenda penguatan domestik. Pemerintah perlu mendorong industrialisasi yang inklusif, di mana ekspor produk bernilai tambah tinggi berjalan beriringan dengan peningkatan kapasitas SDM dan perluasan lapangan kerja berkualitas.

Selain itu, stimulus fiskal harus diarahkan untuk membangkitkan konsumsi rumah tangga, seperti insentif bagi UMKM dan perlindungan sosial bagi pekerja rentan.

Tanpa upaya serius untuk memperbaiki daya beli dan mengurangi ketimpangan, surplus neraca dagang hanya akan menjadi angka statistik yang gagal mencerminkan realitas ekonomi riil masyarakat.

Pada akhirnya, keberhasilan ekonomi suatu bangsa tidak diukur dari seberapa besar surplus dagangnya, tetapi dari seberapa sejahtera dan berdaya saing rakyatnya.

*) Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *