Oleh: Syafruddin Karimi*
Pernyataan Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth dalam forum Shangri-La Dialogue 2025 di Singapura telah membangkitkan gelombang respons tajam dari publik dan elite Asia. Nada bicara yang menggurui, ajakan untuk meningkatkan belanja militer, dan retorika tentang ancaman China disampaikan dalam gaya yang tidak hanya arogan, tetapi juga tidak menghormati dinamika politik dan sosial kawasan.
Di balik semua itu, publik Asia makin sadar bahwa konflik bukanlah tentang keamanan, tetapi tentang bisnis. Dan dalam bisnis senjata, yang menang adalah pabrik-pabrik senjata, bukan kemanusiaan.
Kesadaran Baru Asia: Perang adalah Bisnis, Bukan Solusi
Asia telah belajar dari sejarah panjangnya. Dari Perang Korea hingga Perang Vietnam, dari krisis Laut China Selatan hingga konflik perbatasan, setiap ketegangan menyisakan satu pola yang berulang: rakyat menderita, tetapi perusahaan senjata di luar kawasan justru meraup keuntungan besar. Kini, kesadaran itu makin menyebar. Masyarakat Asia mulai mempertanyakan: untuk siapa semua ini?
Seruan Hegseth agar negara-negara Asia menaikkan belanja militer hingga meniru NATO yang mengalokasikan hingga 5% dari PDB untuk pertahanan dianggap tidak sensitif terhadap kenyataan lokal. Banyak negara Asia masih bergulat dengan persoalan kemiskinan, infrastruktur dasar, dan ketimpangan sosial.
Mengalihkan anggaran negara ke sektor militer atas nama ancaman yang belum tentu nyata justru menghambat pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, industri pertahanan Amerika tetap memanen laba dari setiap ketakutan yang ditebar melalui forum-forum internasional.
Industri Senjata Tidak Butuh Perdamaian
Dalam logika pasar, permintaan menciptakan keuntungan. Dan dalam industri senjata, permintaan berarti konflik. Semakin dunia dicekam ketegangan, semakin tinggi laba yang dinikmati oleh segelintir korporasi raksasa di bidang pertahanan.
Bagi mereka, perdamaian bukanlah harapan—ia adalah ancaman terhadap bisnis. Maka, tak heran jika narasi ancaman terus direproduksi, baik melalui media, lembaga think tank, hingga pidato-pidato resmi seperti yang disampaikan oleh Hegseth.
Yang menyedihkan, narasi ini menumpang pada tubuh diplomasi dan memperalat solidaritas sekutu sebagai alat legitimasi. Padahal, rakyat di Asia tidak memerlukan lebih banyak senjata.
Mereka membutuhkan lebih banyak sekolah, rumah sakit, air bersih, dan sistem jaminan sosial yang layak. Bukan tank atau jet tempur yang menjamin masa depan, tetapi pendidikan dan ekonomi yang inklusif.
China: Penyeimbang Bukan Ancaman
China memang bukan tanpa cela. Klaim-klaimnya atas Taiwan dan kawasan maritim kerap memicu ketegangan. Tetapi bagi banyak negara Asia, hubungan dengan China adalah soal ekonomi, perdagangan, dan pragmatisme.
Tidak semua negara di Asia melihat China sebagai ancaman eksistensial sebagaimana narasi yang sering dibangun Washington. Justru, di tengah tekanan geopolitik yang tak jarang bernada superioritas, kehadiran China bisa berfungsi sebagai penyeimbang terhadap dominasi sepihak Amerika Serikat.
Dengan absennya Menteri Pertahanan China dalam forum Shangri-La tahun ini, dan hanya mengirimkan delegasi akademik, Beijing mungkin sedang mengirim sinyal: mereka tidak ingin terjebak dalam pertarungan retorika. Di saat Hegseth menebar ancaman verbal, Tiongkok memilih diam. Strategi ini, bagi publik Asia, bisa dibaca bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai kedewasaan diplomatik.
Saatnya Amerika Serikat Berintrospeksi
Asia bukanlah kawasan yang bisa dikendalikan dengan doktrin dan tekanan seperti era Perang Dingin. Publik Asia hari ini jauh lebih kritis, lebih terinformasi, dan lebih berani dalam menyuarakan otonomi regional. Mereka tahu bahwa belanja militer yang membengkak bukan solusi jangka panjang, melainkan jalan pintas menuju instabilitas.
Amerika Serikat harus mulai melihat Asia bukan sebagai ladang pengaruh atau pasar senjata, tetapi sebagai mitra setara dalam membangun perdamaian yang berkeadilan. Itu berarti menghormati konteks lokal, tidak memaksakan agenda, dan yang paling penting: meninggalkan gaya komunikasi yang arogan.
Dunia tidak butuh lagi ceramah dari negara adidaya tentang siapa musuh dan siapa teman. Dunia butuh solidaritas sejati yang tidak dibangun di atas rasa takut, tetapi di atas penghormatan bersama.
Menuju Asia yang Merdeka secara Strategis
Jika Asia ingin maju, ia harus membangun kemandirian strategis. Itu tidak berarti menutup diri dari kemitraan internasional, tetapi menolak dikendalikan oleh kepentingan eksternal. Asia tidak boleh menjadi pion dalam perebutan pengaruh antara kekuatan besar. Ia harus menjadi aktor utama yang menentukan nasibnya sendiri.
Untuk itu, para pemimpin Asia perlu bersatu membangun ekosistem keamanan kawasan yang tidak tergantung pada tekanan luar. ASEAN, misalnya, harus berani memperkuat platform regional seperti ADMM+ dan memperluas kerja sama sipil-militer yang berbasis pada kepercayaan, bukan pada dominasi kekuatan besar.
Di saat yang sama, masyarakat sipil, media, dan akademisi perlu terus mengkritisi narasi-narasi militeristik yang hanya menguntungkan industri perang.
Perdamaian yang Bermartabat
Dunia sedang berada di persimpangan jalan: melanjutkan politik senjata, atau membangun peradaban damai yang adil. Asia telah cukup lama menjadi saksi—bahkan korban—dari kepentingan kekuatan luar.
Kini saatnya bersuara. Saatnya menolak dikte perang. Saatnya menyatakan bahwa perdamaian adalah hak setiap bangsa, bukan hadiah dari mereka yang paling kuat.
Jika Amerika Serikat ingin tetap relevan dan dihormati di Asia, mereka harus berhenti bersikap seperti guru yang menggurui dan mulai bersikap seperti mitra yang sejajar. Dunia telah berubah. Dan Asia pun demikian.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas