TikTok, Trump dan China

Ilustrasi aplikasi TikTok. Foto: Reuters

Oleh: Syafruddin Karimi*

Presiden Donald Trump kembali memantik ketegangan geopolitik global ketika menyatakan bahwa perang tarif antara Amerika Serikat dan China mungkin segera berakhir. Di tengah pernyataan itu, Trump menegaskan bahwa kesepakatan atas masa depan TikTok masih tertahan.

TikTok tidak lagi sekadar aplikasi hiburan; platform ini telah menjadi simbol kekuatan teknologi baru dari Asia dan kini berubah menjadi alat tawar strategis dalam pertarungan ekonomi dua negara adidaya.

Trump tidak ingin tarif makin tinggi karena pada titik tertentu daya beli masyarakat Amerika akan tertekan. Pernyataan itu mencerminkan dilema utama proteksionisme: ketika instrumen ekonomi digunakan sebagai alat politik, masyarakat sendiri yang menanggung akibatnya.

AS telah menaikkan tarif atas barang-barang asal China hingga 145 persen, sementara Beijing membalas dengan tindakan serupa, termasuk menunda ekspor logam tanah jarang yang sangat vital bagi industri teknologi tinggi. Baik Washington maupun Beijing tidak memberi sinyal ingin mengalah.

Baca juga: Dari Trump ke RI: Pukulan Ganda ke Konsumen Indonesia

Baca juga: Tarif Ekstra Tinggi dalam Pikiran Trump

Trevor Hunnicutt (2025) mencatat bahwa negosiasi tingkat tinggi masih absen, meskipun komunikasi kedua negara tetap berlangsung. Trump mengatakan kesepakatan TikTok hanya bisa terjadi jika China setuju, dan bahwa penundaan itu bergantung pada bagaimana hasil akhir perang tarif. Kalimat ini menegaskan bahwa ekonomi digital menjadi bagian integral dari diplomasi dagang dan tidak bisa dilepaskan dari strategi politik lebih besar.

Dampak konflik dagang ini tidak hanya terasa di antara dua negara besar, tetapi juga menyebar ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketidakpastian perdagangan global bisa mendorong relokasi investasi dari China ke Asia Tenggara, yang berpotensi menguntungkan negara seperti Indonesia.

Namun, risiko tetap mengintai. Jika ketegangan tarif makin meluas, harga komoditas bisa tertekan, ekspor melemah, dan penerimaan negara terpangkas. Pemerintah Indonesia perlu merespons secara strategis. Penguatan ekosistem digital dalam negeri harus menjadi prioritas. Dengan ketergantungan global pada platform seperti TikTok, Indonesia memiliki insentif untuk mempercepat pengembangan alternatif lokal yang inovatif dan menjaga kedaulatan data nasional.

Pemerintah Indonesia juga harus memainkan peran aktif dalam diplomasi ekonomi. Ketika negara-negara besar saling berhadapan, negara berkembang memiliki peluang untuk menunjukkan ketegasan, kemandirian, dan kelincahan kebijakan.

Baca juga: Diplomasi Tarif di Era Trump: Ujian Awal Strategi Ekonomi RI

Baca juga: Langkah Politik: Tidak Ada Lagi Teori Ekonomi

Indonesia bisa menarik investasi baru dari perusahaan yang mencari stabilitas politik dan pasar yang berkembang, selama pemerintah menjaga konsistensi kebijakan dan kredibilitas fiskal. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Pemerintah perlu memperkuat institusi ekonomi, memanfaatkan momentum global, dan mendorong kolaborasi regional untuk menciptakan arsitektur perdagangan baru yang lebih adil dan stabil.

Pertarungan antara TikTok, Trump, dan China tidak berdiri sendiri. Ini mencerminkan transformasi besar dalam tatanan dunia pasca-globalisasi, di mana kekuatan teknologi dan kontrol atas informasi menjadi lebih strategis daripada kekuatan militer.

Dalam konteks ini, Indonesia harus mengambil sikap proaktif. Dengan memperkuat kemandirian digital dan memperluas diplomasi ekonomi, Indonesia bisa menavigasi ketegangan global dengan percaya diri dan meraih keuntungan strategis dari dinamika yang sedang berlangsung.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas

13 kali dilihat, 13 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *